قوة الرأي العام

Diposting oleh admin on Sabtu, 20 Februari 2010


(KEKUATAN OPINI PUBLIK)
بواسطة : Sulatri
  سوراكارتا  
 "لماذا نحن المدرجة في الاجتماعية (كلية العلوم الاجتماعية والسياسية)" وقال اصدقاء الكاتب عند بداية المحاضرات في دائرة علوم الاتصالات في المدينة نهر سولو. "وتريد منا ان يكون مراسلا ، مذيعة ، والمخرج ، وما إلى ذلك واضعي الإعلان لمعرفة المزيد عن السياسة على الرغم من ارتباط وثيق مع السلطة! ايمانغ يفعل ماذا؟ "، وعلامة الاستفهام في ذلك الوقت. أجاب أنه بدأت عندما كنا قد بدأ يجلس في فصول دراسية العالي في العديد من الموضوعات التي ينبغي أن نتبع إشارات عديدة للطلاب على أهمية وسائط الإعلام الجماهيري والسياسي في العالم. وسائل الإعلام هي واحدة من ركائز الديمقراطية التي يجب حاليا أن يلاحظ أيضا. في الواقع ، في بلده الجيوسياسية وسائل الإعلام أو الصحافة منذ فترة طويلة باعتبارها واحدا من العناصر التي من شأنها أن تؤثر على السلطة. بالإضافة إلى السلطات التنفيذية والتشريعية والقضائية وقادة المجتمعات المحلية ومنظمات المجتمع المدني ، وأصحاب رأس المال ، وهلم جرا. الرأي العام الصحافة هي عنصر واحد من النفوذ السياسي. لا سيما مع العصر من التقدم في مجال تكنولوجيا المعلومات اليوم. طوعا أو كرها في الحياة من حولنا قد اعتادوا على طبق متنوعة تخدم التي هي معبأة من قبل وسائل الاعلام مع وجهات نظر مختلفة. إذ أن الجمهور أننا أحيانا فقط لخدمة أكل صحن الذي خدم من قبل وسائل الإعلام من دون رعاية. هو صحفي ويرد حقا هي وفقا للمفاهيم إيجاد الأخبار أو فقط لمجرد مطاردة بالرصاص حيث تخدم خط عمق وحقيقة القصة أقل جدا. الجمهور بسهولة بقيادة المواضيع التي كان لا بد من تسليط الضوء. ونتيجة أيضا لجماهير لرد على أي عرض وسائل الاعلام وليس من المستغرب أنها في بعض الأحيان أيضا تجرأ على التشكيك في القضية مبررا لإعلان ما هو خطأ غير واضح. المرح مع وسائل الإعلام أدت إلى الرأي العام سوف يكون قصة الجارية التي قدمتها وسائل الاعلام. ماذا فعلا الرأي العام؟ من ويكيبيديا أوضح أن الرأي العام هو رأي فئات المجتمع أو تجميع الآراء والتي تم الحصول عليها من مناقشة الاجتماعية من الأحزاب التي تتمتع بصلات والمصالح. مجموع المواقف والمعتقدات وعادة ما تكون مشتركة بين السكان البالغين. في تحديد الرأي العام ، فإن الغالبية لا يحسب مجموع (الأغلبية العددية) ولكن الأغلبية هي فعالة (اعتبارا من الأغلبية). في حين أن الرأي العام هو موضوع قضية خلافية جديدة فيها عناصر من الرأي العام هو : بيان مثير للجدل ، حول مسألة متناقضة ، وكان أول رد فعل أو أفكار جديدة. لذلك نحن على دراية ، إذا كانت هناك قضية كمثال على احتجاز غير القيادة النشطة للجنة ، والبذور الذين أصبحوا على نحو متزايد الحصول على مزيد من الأضواء أجزاء من القصة ، في ما يتعلق الاهتمام المتزايد للمجتمع. الجماهير الحصول على مجموعة متنوعة من موضوعه تغطية الأخبار في القضية المقدمة من المراجع المختلفة. إعلان مثير للجدل بشكل متزايد اهتمام أكبر للانباء المجتمع المتلقي. الشعب والقضايا المتعلقة هي أيضا ليست خالية من اهتمام الرأي العام. لذلك لا عجب يحاولون حفر
الأخبار ويوفر أيضا للأشخاص المعنيين في أنها الشخص من الموارد اللازمة لعنصر التوازن للأنباء على البقاء مستيقظا والجمهور الانباء شعور الفضول الوفاء بها. الرأي العام يجب ألا ينظر إليها إلا عين واحدة. قضايا مختلفة هي جميلة مسبقة من الأضواء لا يمكن حلها إلا مجرد تعتمد فقط على المحاكم. يتم تجاهل هذا إذا كان من شأنها التأثير على العالم من حياتنا السياسية. إذا ، يقول إنفاذ القانون لديهم رأي سلبي في المجتمع. ذلك سؤال لن يكون لها أن تفعل ذلك عن طريق الرأي العام لا تزال تعتقد أن القضية ما زال مليئا بالظلم وفيه لا يلبي تطلعات المجتمع. إذا كان لدينا في الدولة من أصحاب السلطة لا تحصل على شرعيتها من الشعب ، ثم ماذا عن النظرة الدولية لجمهورية إندونيسيا الموحدة؟ ومن ثم تشكيل فريق لتقصي الحقائق (قوة الشرطة الانتقالية) هي في شكل الرئيس الذي يتوقع أن يكون أكثر استقلالا في تقصى الحقائق ، التي تستحق التهنئة. في التعامل مع المشاكل التي توجد فيها العديد من مؤسسات إنفاذ القانون ، ويمكن أن تعرض الجمهور للرئيس ومن المتوقع قريبا لاتخاذ السياسات من كثير من فريق يدخل المجتمع قد تم الاعتراف بها يتكون من الموظفين المؤهلين. الرأي العام ليس من المتوقع أن يكون مجرد تبرير لهذه القضية. في اندونيسيا باعتبارها دولة القانون وجود المؤسسات التي من المتوقع أن حل هذه القضية بطريقة شفافة وفقا للعدالة. ينبغي وجود الرأي العام المتنامي ضد القضية وسط المجتمع مرة أخرى يمكن استخدامها كمدخل لحرية الشعب لتحقيق دعائم الديمقراطية في اندونيسيا. المجتمعات هم أيضا الحق في التفكير والتحدث عن قضايا هذا البلد ليس فقط المسؤولين الذين لديهم مكاتب فقط. 


بواسطة : Sulatri
More aboutقوة الرأي العام

Budaya KKN dari Pejabat hingga ke Rakyat

Diposting oleh Sulatri

Budaya KKN dari Pejabat hingga ke Rakyat
Oleh Sulatri
 
Dalam sejarah perjuangan mengisi kemerdekaan ini tentu kita masih ingat dengan yang namanya gerakan reformasi sekitar tahun 1998.  Pada saat itu banyak sekali elemen masyarakat yang mendukung adanya reformasi. Dari kalangan akademisi, budayawan, ormas, LSM, elemen mahasiswa, buruh dll bersatu menyuarakan reformasi untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang saat itu dinilai amat sangat diktator. Sebagai akibatnya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) berkembang dengan suburnya. Terlebih dengan adanya pembrendelan terhadap dunia pers sehingga hal-hal yang seharusnya itu bisa transparan diketahui publik justru di peti es kan.
Sepuluh tahun lebih kita sudah melewati reformasi. Tapi apa yang terjadi hingga hari ini? Kita bisa menyaksikan bahwa menumpas yang namanya budaya KKN itu begitu amat sangat susahnya. Orang-orang yang dahulu mengobarkan reformasi justru ketika ia menjabat katakanlan menjadi politisi atau penguasa justru malah berlomba-lomba mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri pribadi dan golongannya.
Seseorang bisa lepas dari jeratan hukum dengan memberikan uang besar kepada pihak-pihak yang mengangani permasalahanya. Bahkan meski dia masuk bui ia bisa mendapatkan fasalitas istimewa layaknya tinggal di hotel seperti kasus Sidak di Rutan Pondok Bambu yang menemukan Artalita Suryani yang terlibat kasus suap justru dengan nikmatnya menempati Rutan tsb. Kemudian kita juga masih banyak menemui seorang pejabat yang mengangkat keluarga atau kelompokya untuk bisa menjadi pegawai dengan mudahnya tanpa tes seperti masyarakat umumnya, katakanlah untuk menjadi PNS misalnya.
Di sisi lain, seseorang warga negara yang mau mengurus administrasi di tingkat kelurahan seperti KTP baru dilayani ketika ia mau mengasih persenan untuk para petugas jika urusannya mau selesai. Padahal kita tahu bahwa petugas tersebut memang sudah tugasnya melayani warga. Ia sudah mendapatkan gaji/bengkok dari negara. Kenapa musti ia pasang tarif ketika melaksanakan tugas-tugasnya?
Fenomena tersebut menjadi biasa di pandangan kita karena kegiatan tersebut sudah membudaya sejak lama di sekitar kita. Kalau pada zaman dahulu orang kecil harus jalan nunduk-nunduk ketika ia berjalan melewati depan seorang pejabat atau penguasa. Kita bukannya tidak menghormati orang lain tapi disitu memperlihatkan bahwa seorang pejabat/penguasa itu lebih tinggi dari rakyat diterapkan dengan kakunya sehingga ketika berdiripun tidak bisa sejajar. Padahal derajat seseorang itu tidak akan turun jika kita juga bisa menghargai orang lain sebagai manusia biasa yang juga butuh dihargai. Dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Sementara budaya KKN di tengah rakyat biasa misalnya. Seorang pembantu ketika tetangga bosnya butuh pembantu ia menawarkan temannya. Giliran ketika temannya itu sudah menjadi pembantu ia minta persenan juga sama rekannya tersebut. Dan rekannya tersebut juga mengiyakan saja karena ia dapat kerja karena temannya maka ia wajib mengasih persenan untuk yang telah mencarikan kerja. Padahal kita tahu berapa sih pendapatan seorang pembantu dibandingkan dengan harga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saat ini. Hal semacam itu sudah lumrah terjadi di masyarakat. Tolong-menolong yang dahulu bersifat sukarela saat ini juga dijadikan nilai uang. Yah...itulah kenyataan yang ada hingga kini. Ternyata budaya KKN sangat sulit dihilangkan. Bukan hanya pejabat tapi rakyat juga terbiasa KKN.
More aboutBudaya KKN dari Pejabat hingga ke Rakyat

Kilas Balik Sejarah PMII

Diposting oleh admin on Jumat, 19 Februari 2010

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).
Sejarah

Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:

1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3. Pisahnya NU dari Masyumi.
4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.

Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.



Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.

Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:

1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada  alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.
More aboutKilas Balik Sejarah PMII

Elemen Solo ramaikan aksi 28 Januari

Diposting oleh Sulatri

Solopos, Edisi : Jum'at, 29 Januari 2010 , Hal.I


Solo (Espos) 
Warga maupun elemen masyarakat di Solo meramaikan aksi unjuk rasa 100 hari pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 28 Januari.


Mereka menggelar aksi di berbagai tempat di Solo, Kamis (28/1). Di Bundaran Gladak, Solo, setidaknya dua gelombang aksi unjuk rasa digelar oleh ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Warga Solo (Awas) maupun puluhan aktivis Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Solo.


Selain di Gladak, aksi 28 Januari juga digelar puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), di depan Griya Solopos, Jl Adisucipto.


Mayoritas aksi berjalan damai. Namun insiden sempat terjadi saat demo yang digelar Awas sekitar pukul 11.00 WIB. Berdasarkan pengamatan Espos, insiden bermula saat belasan personel pengendali massa (Dalmas) Poltabes Solo menyita ban bekas milik pendemo. Ketika itu, pengunjuk rasa tengah berniat membakar ban di dekat patung Slamet Riyadi, sebagai puncak aksi. Belum juga ban dibakar, belasan personel Dalmas bergerak cepat dan langsung membawa ban bekas ke Poslantas terdekat.
Sempat terjadi adu argumentasi antara polisi dengan petugas. Pengunjuk rasa berdalih pembakaran ban sebagai simbolisasi aksi protes yang dilakukan. Namun permintaan pendemo ditolak tegas Wakapoltabes Solo, AKBP A Marhaendra yang dikawal beberapa personel polisi. ”Saya minta kawan-kawan masuk barisan dan aparat menjauh lima meter dari barisan!” teriak perwakilan massa menggunakan alat pengeras suara yang disambut sorak sorai.


Beruntung aksi demo yang diikuti oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-UNS, BEM Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), BEM Staimus, BEM Universitas Kristen Surakarta (UKS), aktivis Universitas Veteran (Univet), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), KAMMI, PMII serta Masakhi itu, berlangsung relatif aman. Presiden BEM UNS, Bery Nur Arif di sela-sela aksi menilai merah 100 hari SBY.


Hal serupa juga disampaikan PMKRI. Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Adi Sumbogo menilai SBY sebagai antek neoliberal. Dari segi pemberantasan korupsi, kata Adi, SBY juga dinilai tebang pilih dan hanya melakukan lips service.. Kasus bail out Century juga dianggap sebagai bentuk perampokan uang rakyat.


Untuk menghindari terjadinya aksi anarkis, polisi juga menjaga ketat sejumlah objek vital di Boyolali seperti Bandara Adi Soemarmo maupun Depo Pertamina Teras Boyolali. Sedikitnya 60 personel Polres Boyolali dikerahkan menjaga dua objek vital itu. - Oleh : kur/asa/sry
More aboutElemen Solo ramaikan aksi 28 Januari

HISTORITAS PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

Diposting oleh admin on Senin, 15 Februari 2010

PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.

Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.

Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.

Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian dep[artemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. 

Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah(Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.

Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ).

Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ) , bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.

Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.

Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.

Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.

Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.

Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskanPancasila.

 Identitas dan citra diri PMII

APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata 'PMII', yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan dengan label 'Pergerakan' yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
(1) Bertaqwa kepada Allah swt
(2) Berbudi luhur
(3) Berilmu
(4) Cakap, dan
(5) Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)

Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna, yang kamil, yaitu mahluk Ulul Albab.

Kata 'Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia' jika diudar lebih lanjut adalah:
Pergerakan bisa didefinisikan sebagai 'lalu-lintas gerak', gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik dari ordinat A ke ordinat B. Jadi 'Pergerakan' melampaui 'gerak' itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan gawang dan …… Itu yang namanya pergerakan bola. Kesimpulannya, pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalaam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan.Kenapa 'Pergerakan' bukan 'Perhimpunan'?, kalau berhimpun terus kapan bergeraknya….. Artinya bahwa, 'pergerakan' bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu sendiri.
Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan yang melekat, mahasiswa sebagai 'wakil' rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijaakan penguasa dll
Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasam sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang berlandaskan agama. Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam ditambah dengan rujukan selanjutnya, sunnah nabi dan para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah waljama'ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja --dengan varian didalamnya-- sebagai landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata 'Indonesia' pada organisasi ini, tidak lain untuk menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.(kalo' mencari organisasi mahasiswa yang NASIONALIS dan AGAMIS maka pilihan itu jatuh pada PMII)

Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia, yang mendasarkan pada agama Islam dan sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung) juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/Indonesia, Islam Indonesia adalah Islam lokal --bukan Islam Arab secara persis--, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang 'bersinkretisme' dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan ajaran aswaja.

Kesimpulaan:
Identitas PMII adalah Keislaman dan Keindonesia (kebangsaan)
Kata Kunci: Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan Indonesia

 Seputar ideologi PMII

Pada paruh kedua abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual 'kiri' Eropa yang mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu seputar perannya sebagai 'wadah' atau 'tempat' kebenaraan atau bahkan sebagai 'sumber' kebenaran itu sendiri, yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggaab sebaagaai laandasan kebenaaran yang paling fundaamental (mendasar) makanya tidak terlalu salah bila ddisebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya kemudiaan ideologi ada tidak bebas dari kepentingan --prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/diadakan pasti punya maksud dan tujuan--, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada pengistemewaan/pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya, tujuaan 'hanya kekuasaan' misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan. 
Dibawa dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya --yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai identitas PMII-- yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam qonun azasi di PMII atau itu tadi yang disebut... Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, pengyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk pengyakinan itu terletak dari pola relasi/hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.

Jadi kesimpulaan yang bisa diambil adalah:
(1) Ideologi masih relevan dijadikan sebagai rujukan kebenaran
(2) Ideologi PMII terangkum (terwujud) dalam rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan sublimasi keislaman dan keindonesiaan

 Landasan Teologis dan Filosofis PMII

Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.

Namun, harus disadari bahwa sungguhpun Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.

Dua gambaran tentang Islam yang paradoks ----atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition--- menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.

Dari sini, mengharuskan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti, PMII menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan bahkan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.

Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap lingkungan besarnya, "Indonesia". Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevant, realistik, dan transformatik. 

Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaanya. 

Endingnya, proses yang runut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab. Citra diri yang tidak hanya semata-mata menampilkan diri secara personal sebagai manusia beriman yang normatif dan verbalis, melainkan juga sebagai believer kreatif dan membumi-kontekstual. Citra diri personal ini secara langsung akan mengujudkan PMII secara kelembagaan sebagai entitas besar yang juga ulil albab.

Kesimpulan:
Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya identitas personal dan kelembagaan yang ulil albab.


More aboutHISTORITAS PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

Islam Pasca Kolonial

Diposting oleh Perisai Jateng on Minggu, 14 Februari 2010

Oleh Ahmad Baso

[T]he West that is aggressive is sometimes inside; the earnest, self-declared native, too, is often an exogenous category, and the Hindu who announces himself so, is not that Hindu after all.
--- Ashis Nandy, The Intimate Enemy: 107 
Apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut. Sekalli lagi, kekuatan-kekuatan dunia sedang mencoba mempergunakan Islam untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Sekali lagi, mereka akan mengalami bahwa mereka pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kaum politisi Islam untuk mencapai tujuan-tujuan yng sangat berbeda adengan tujuan-tujuan kekuatan-kekuatan dunia itu sendiri.

--- W.F. Wertheim (1985[1958]: 10)

Perjumpaanku dengan (pos)kolonialisme berawal dari Ciputat. Saya bukanlah orang yang pernah mengalami era penjajahan atau era pembebasan dari penjajahan. Saya hidup justru di era masa kini. Suatu masa yang katanya era “mengisi kemerdekaan”, era “pembangunan”, dan juga – kini – era “reformasi”. Tetapi, di era inilah – kalau bisa dikatakan – “Islam” berhenti pada titik “menjadi universal”. Seakan sejarah Islam sudah berakhir di sini, tidak ingin lagi mundur ke belakang, tetapi ingin tetap menjadi universal dan akan tetap seperti itu hingga di akhir sejarahnya. Saya tidaklah berkelakar, seperti halnya tuduhan yang mengatakan orang-orang tradisionalis berpikiran jumud, dan masih mengusung pikiran-pikiran penghuni kuburan. Dan kelakar itu biasanya dihubungkan dengan buku menghebohkan yang bikin banyak orang geram, Agama Kolonial. Ditulis kawan saya, Umaruddin Masdar. Yang saya maksud, kolonialisme yang mengidentikkan dirinya dengan sebuah “universalisme” masih mengalir dengan derasnya dalam pikiran-pikiran, dalam benak, dalam kesadaran orang-orang yang berbicara, menghayati atau mengamalkan “universalisme” Islam.
Maaf, universalisme harus digarisbawahi dan dicoret pada saat bersamaan. Kalau ada sesuatu yang dikatakan universal, maka tentu ada yang dianggap tidak universal. Inilah resiko Islam telanjur diwacanakan, yang ditulis, diulang-tulis, sebagai “agama universal”. Dan, yang “mengganggu” pewacanaan ini adalah identitas Islam yang “tradisional”, “lokal”, dan juga yang berbau “etnik” dan “komunal”. Seperti halnya studi-studi tentang transisi demokrasi di Indonesia yang begitu gagap membaca faktor etnisitas dan kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan “kedaerahan”, wacana studi-studi “Islam universal” juga mengalami kebingungan membaca faktor-faktor lokal tersebut. Bahkan terkadang analisanya sangat miskin dalam membaca persoalan-persoalan identitas etnik serta hubungannya dengan militansi agama.

 Biasanya yang dibaca adalah soal potensi konflik dan disintegrasi identitas kesukuan dan kedaerahan itu, seperti terbaca dalam kumpulan tulisan tentang relasi konflik dan identitas lokal yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta bekerjasama dengan INIS Jakarta. Kebingungan itu malah menjadii “krisis”. Yakni, ketika solusi konflik bernuansa agama itu ditemukan melalui “local wisdom”, yakni kembali ke identitas budaya dan lokalitas, seperti pela gandong, baku-bae, dsb. Dan bukan malah melalui wacana “agama universal” atau “Islam universal”. Dengan kata lain, wacana Islam modern atau Islam universal tidak lagi punya arti dalam konteks kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan eprsilangan identitas agama dan etnik; “Islam universal” hanya bermakna terbatas dalam ruang kelas, dalam teks-teks akademik. 

Dan, dimanapun, setiap krisis selalu diupayakan untuk dijinakkan, meski dengan cara yang juga penuh distorsi dan ketidakjelasan arah (displacement). Seperti ditunjukkan oleh pengalaman kawan-kawan dalam aliansi menolak draft Rancangan Undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB), beberapa “pejabat tinggi” UIN Jakarta pun ikut mendukung Departemen Agama memberlakukan UU tentang kerukunan umat beragama untuk menjamin agar konflik bernuansa agama dan etnik itu tidak lagi terjadi. Apalagi, banyak kasus dimana “pejabat pengetahuan” di UIN Jakarta bersikap reaksioner terhadap segenap perkembangan pemikiran keislaman yang dianggap mengancam doktrin “Islam universal” itu. Seperti ditunjukkan belakangan ini dalam kasus buku Fiqih Lintas Agama dan hasil ijtihad counter legal draft Kompilasi Hukum Islam (KHI Baru). 

Dari Ciputat, hal serupa saya temukan di Leiden, Belanda, pusat studi Islam, pusat studi Indonesia. Awalnya adalah cerita tentang buku Edward Said, Orientalism (1979). Kabarnya, saking bencinya para sarjana Belanda terhadap buku ini, hingga kini belum ada satu pun versi terjemahan Belanda-nya. Pernah satu penerbit sudah mendapat izin copyrights untuk menerbitkannya dalam bahasa Belanda, tetapi salah seorang sarjana Belanada yang ahli sejarah Indonesia, memberi nasehat untuk tidak menerbitkannya. Nasehat ini yang bikin saya sesak. Ini, untuk kesekian kalinya, agama saya, dan juga sejarah negeri saya, masih menjadi bagian dari genggaman (neo)kolonialisme, minimal sebagai hasil dari reproduksi (neo)kolonial!!! 
Dan saya sempat bertanya-tanya, apa yang terjadi seandainya Edward Said masuk ke dalam lingkaran studi-studi Islam dan Indonesia di Universitas Leiden, mengubah dasar-dasar fondasi kajian para sarjana Belanda tentang Islam dan Indonesia? Mungkin sudah saatnya mereka harus merendah diri bahwa reproduksi mereka tentang Islam dan Indonesia adalah bagian dari wacana kolonialisme yang terbuka untuk dikoreksi, bukannya malah melahirkan fundamentalisme baru yang anti kritik. Inilah salah satu alasan mengapa saya menulis pengantar studi poskolonial ini dengan merujuk secara khusus ke akar-akar terbentuknya hukum dan pengawasan agama-agama sejak masa kolonial Hindia Belanda hingga di era pasca kolonial.

Apalagi, ada cerita dari mahasiswa Indonesia di Universitas Leiden. Kalau ingin menulis tesis atau disertasi tentang Indonesia kontemporer, maka diuslukan untuk meneliti sesuatu yang klasik, sesuatu tentang masa lalu. Sedangkan peristiwa kontemporer baru bisa ditulis, lanjut dosen itu, apabila sudah lewat 40 tahun. Dan itu artinya, sang mahasiwa akan ketinggalan zaman dan terasing dari negerinya sendiri selama 40 tahun pula. Baik di Ciputat maupun di Leiden, kemegahan rezim pengetahuan dan studi-studi tentang Islam hanya bisa terlihat pada masa lalu, dan bukan di masa kini, apalagi ke masa depan. Modernitas dalam studi-studi Islam berhenti pada era modern. Setelah itu adalah akhir sejarah – tetapi tetap modern. Yang tersisa kemudian adalah sejarah masa lalu hingga masa modern, yang dalam konteks Indonesia hanya sampai di era Orde Baru. Pasca Orde Baru, sejarah sudah berakhir. Hanya dianggap pengulangan sejarah belaka. Puncaknya ada di masa modern. 

Kasus 11 September 2001 menunjukkan bahwa proyek modernitas di kalangan umat Islam belum selesai, dan kesalahan, sekali lagi, ditimpakan kepada pikiran umat Islam yang belum selesai dan sempurna kemodernannya. Mereka dianggap masih terjebak pada pikiran masa lalu yang fundamentalis atau tradisionalis. Pengulang-ulangan kata “madrasah” atau “pesantren” di kalangan Muslim kota maupun di media massa internasional, yang disebut sebagai ajang kaderisasi kelompok-kelompok teroris, mendukung satu formasi diskursif bahwa modernisasi di kalangan umat Islam belum rampung, atau, bahwa umat siap belum siap memasuki dunia modern.

Dengan demikian, apa yang ingin saya katakan, “Islam universal” adalah cerminan atau pantulan-terbalik dari dinamika global akibat ekspansi ekonomi dan politik negara-negara Barat dalam bahasa “universalisasi”. Mulai dari universalisasi kapital, budaya hingga universalisasi demokrasi. Seperti halnya dikotomi lama “Islam vs. Barat”, seperti dalam tesis Huntington tentang “benturan peradaban”, “Islam universal” adalah “the other” dari “Self”-nya Barat universal. Barat berkepentingan dengan “yang lain” yang bisa mengukuhkan supremasinya; sementara pada saat yang sama “yang lain” itu menjadi bagian dari konstruk tentang diri Barat yang universal; tanpa “yang lain” itu Barat tidaklah bermakna sebagai “Barat”. Dari sini, Barat berkepentingan dengan Islam universal, seperti halnya berkepentingan dengan demokrasi yang juga (di)universal(kan).

Dengan demikian, kita bisa bertanya, mengapa Barat begitu terpesona dengan tumbangnya Orde Baru dan meruyaknya gerakan reformasi? Jawabannya jelas: yang membuat mata Barat terpesona adalah “re-invensi demokrasi”, ditemukannya kembali demokrasi. Di negara-negara Barat, demokrasi menunjukkan tanda-tanda kemunduran dan juga krisis, yang tenggelam dalam rutinitas birokrasi dan kampanye pemilu yang penuh publisitas. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan, demokrasi di Amerika menguatkan kembali konservatisme dan juga kekuatan fundamentalisme Kristen. Sementara di Indonesia demokrasi justru ditemukan lebih fresh dan baru, sebagaimana pengertian demokrasi yang dikehendaki oleh Barat – progresif, berwibawa, liberal, dan rasional. 

Dari sinilah kita menemukan banyaknya studi-studi tentang transisi demokrasi di Indonesia, yang menaruh perhatian pada proses-proses terciptanya kembali demokrasi di luar kampung halamannya di Barat. Dengan kata lain, dalam bahasa Lacan, pengalaman reformasi di Indonesia berfungsi sebagai “Ego-Ideal” Barat (seperti halnya “Islam universal” adalah “ego-ideal” dari Barat yang membahana dan universal). Yakni, satu bentuk formasi subyek dimana Barat menemukan dirinya serupa, yang sesuai dengan keinginan dan harapan, sebagai sesuatu yang pantas dicintai dan dirawat dengan baik. Reformasi bagaikan agalma, kekayaan yang tiada habisnya yang membuat antusiasme terhadap demokrasi begitu meluap-luap, yang dulunya kehilangan daya pikat; dan, lebih dari itu, masyarakat Barat sendiri hampir kehilangan selera dan nafsu terhadapnya. 
Tetapi, apa yang terjadi kemudian ketika di era reformasi ini, era transisi demokrasi, muncul distorsi yang mengganggu gambaran ideal tentang “penciptaan kembali demokrasi” itu? Misalnya kemunculan gerakan-gerakan yang membawa nama agama dan etnik atau etno-nasionalisme yang dianggap sempit itu?

“Mimpi Fasis”, “Master-Leader” dan Islam Pasca 11 September

“Mimpi fasis”, seperti dikatakan Slavoj Žižek, menginginkan kapitalisme tanpa ada “ekses-ekses”-nya, tanpa antagonisme, yang membuat ketidakseimbangan dalam struktur-strukturnya. Ini kemudian mengapa ada alasan untuk kembali kepada “Master-Leader” yang menjamin stabilitas dan keseimbangan tatanan sosial. Artinya, sesuatu yang bisa menyelamatkan “kita” dari ketidakseimbangan dalam masyarakat. Sementara pada sisi lain, alasan bagi adanya ketidakseimbangan tersebut diarahkan pada figur “yang lain”. Yang terakhir ini dilihat rakus dan tamak, dan dianggap penyebab antagonisme sosial itu. Inii misalnya tampak pada apa yang terjadi pasca 11 September 2001. 

Ketika Presiden Bush menggetarkan kesadaran nasionalistik warga AS tentang soal “mengapa mereka membenci kita”, sesuatu harus dibuat dan diciptakan untuk memuaskan hasrat nasionalistik itu. “Mereka bisa saja meruntuhkan gedung pencakar langit sekelas WTC, tetapi tidak akan bisa menggoyahkan dasar-dasar fondasi dari bangunan bangsa kita”, tegas Bush. Dan itulah yang terjadi, pemerintah Amerika menjadikan Islam dengan kedua sayapnya, yang fundamentalis maupun yang moderat-liberal, sebagai investasi untuk kepentingan sempit globalnya. Yang terlupakan adalah persilangan di antara keragaman identitas kelas, etnik, ras dan agama. Artinya, yang diabaikan kemudian adalah soal ketimpangan dan ketidakadilan global.

Pasca 11 September, dimana-mana kita mendengar seruan agar Islam menjadi moderat, agar mengembangkan penafsiran-penafsiran agama yang lebih liberal dan progresif. Menjadi moderat dan liberal berbeda antara pra dan pasca 11 September. Menjadi moderat dan liberal dengan berbagai spektrumnya, sudah berjalan sesuai dengan dinamikanya sendiri dalam lingkungan internal umat Islam. Tetapi pasca 11 September, semuanya mengarah ke dalam satu warna, serba tunggal, tergantung apa yang dikehendaki oleh desain pengetahuan di seberang sana. 

Dalam logika ini Islam dipersepsikan secara monolitik sebagai fundamentalis, anti-Barat dan “hatred of Americans”. Singkatnya, “either you’re with us or against us”! Dari sana kemudian kita tahu sejumlah orang-orang menyerukan agar umat Islam berpikiran terbuka, progresif dan liberal, dan itu diartikan oleh orang-orang yang sinis di sini sebagai pro-Amerika, pro-globalisasi, dst. Tentu yang dimaksud liberal bukan lagi seperti yang dulu, yang identik dengan menjadi modern, yang terkait dengan arus deras modernisasi, era perang dingin, yang dengan mudah bisa ditarik demarkasi antara yang liberal, modern, dengan yang komunis, merah, kiri, dst. 

Tetapi kini garis demarkasi itu justru dalam Islam sendiri, dan pusat orbitnya ada di Amerika, dimana makin dekat dengan pusat orbit itu berarti anda disebut progresif, kian liberal. Sementara makin jauh dari pusat orbit itu berarti Anda fundamentalis, hingga teroris.

Oposisi biner dalam Islam itu pada gilirannya sudah menciptakan realitasnya sendiri: makin besar ancaman dari apa yang disebut “bahaya terorisme”, maka makin besar pula tekanan Amerika -- minimal dalam wacana resmi -- untuk memonopoli definisi kita tentang arti menjadi liberal, progresif dan beradab. Sementara di lain pihak, makin besar tekanan Amerika, makin besar pula definisi kalangan “Islam garis keras” (biasa disebut “Islam fundamentalis”) tentang Islam yang terancam, tentang Islam yang dihadang dari segenap penjuru, tentang “bahaya musuh nomor wahid”. Padahal ada sesuatu yang berada di luar orbit, yang kini tertekan dalam wacana oposisi biner. Ada sesuatu yang memang diulang-ulang, yang lebih berarti sebuah kemunduran dan arus konservatisme baru, ketika pertarungan hanya terbatas antara perlunya umat Islam meliberalisasi diri atau menutup diri sehingga menjadi fundamentalis. 

Yang dimaksud liberal adalah meliberalkan diri dari kelompok fundamentalis; dan makna fundamentalis adalah menjauhkan diri dari kepentingan Amerika. Dalam arus konservatisme semacam ini, dalam Islam liberal maupun dalam Islam fundamentalis, tampak ada sesuatu yang menyesakkan, ketika yang muncul kemudian adalah “mimpi fasis” dan kehadiran “master-leader”, seperti disinggung di atas, masing-masing dengan logikanya sendiri, untuk membungkam antagonisme sosial dan juga untuk menertibkan tatanan sosial.

Ketika saya menghadiri seminar internasional tentang Islam dan politik di Kuala Lumpur, Juli 2002 lalu, tampak bahwa wacana Islam berhenti pada dikotomi tadi: Anda menjadi modern, yang mengapresiasi sains dan teknologi, demokrasi dan toleransi, atau Anda mundur ke belakang, ke masa lalu, masa Abad Pertengahan. Padahal kita tahu, kita berada dalam suasana dimana seorang Leader, seorang Muslim yang merepresentasikan dan menyampaikan sabda-sabda tanpa kritik dan kontestasi, suasana dimana menjadi Muslim adalah mengurus hal-hal seperti zakat, haji dan mesjid megah. Padahal di belahan negeri Malaysia lainnya ancaman sedang mengintai yang katanya berasal dari Islam berbaju Abad Pertengahan, yang membuat peradaban Malaysia mundur ke belakangan. Kita pula tahu, Leader ini yang mematikan segenap gerakan oposisi, gerakan pengimbang kekuasaan. 

Tetapi kita pun juga tahu bahwa Leader ini juga mengambil alih gerakan anti globalisasi, dengan menampik IMF dan menentang dengan keras kebijakan Amerika yang berstandar ganda. Tetapi tentu kita tidak menyebut Leader ini fundamentalis. Ia dengan cerdiknya mengambil alih di satu kaki gerakan umat Islam melawan globalisasi dan hegemoni Amerika, dan di kaki lainnya gerakan melawan fundamentalisme dan terorisme, dari sudut pijakan yang betul-betul otoritarian!

Permainan apakah ini? Lalu apa artinya berdiskusi tentang Islam dan politik dalam konteks seperti itu? Dimana sebetulnya kaki itu ketika Islam dipakai untuk berdiri dan di alas manakah ia dipijak? Pertanyaan-pertanyaan ini pun segera memburu lagi ketika Islam itu dibahas dalam kaitannya dengan politik. Sebelumnya kita pernah mengenal sebutan “Islam din wa daulah”, Islam agama dan negara; bahwa Islam bukan cuma mengurus masalah ibadah tetapi juga urusan sosial-politik. Apa yang dimaksud ungkapan ini? Tentu akan berbeda maknanya dalam pikiran Sang Leader maupun yang dipahami partai Islam misalnya PAS. 

Bagi yang terakhir ini, keterlibatan Islam dalam politik adalah mengambil alih kekuasaan dan mengislamkan pemerintahan. Namun, harap dimaklumi konferensi “Islam dan politik” ini adalah konferensi “resmi”, yang, sebagaimana halnya segala yang berbau resmi, tentu difasilitasi dan diarahkan oleh orang-orang pemerintahan. Juga dibuktikan dengan kehadiran Sang Leader dalam konferensi tersebut. Dari sini kita bisa memahami apa arti Islam dan politik serta pertemuan keduanya dalam arena pertemuan internasional itu. Dalam konteks ini, sejauh yang dipahami adalah Islam yang resmi, maka yang diresmikan itu adalah sesuatu yang difasilitasi, yang tidak boleh liar dan macam-macam. Dengan demikian, arti “Islam din wa daulah” dalam konteks ini adalah Islam yang masuk ke ruang publik dan menunjang program-program yang (di)resmi(kan) pula. 

Dan, ini dapat dimaklumi kemudian dalam segenap pembahasan dalam forum-forum konferensi. Seperti saya singgung tadi, bagaimana memberdayakan zakat, bagaimana mengurus pendidikan yang lebih baik, membangun basis-basis kekuatan ekonomi Islam, serta bagaimana membangun jaringan Islam yang – katanya – lebih moderat.


Islam (di)resmi(kan) serupa pernah kita jumpai di masa-masa akhir Orde Baru di Indonesia. Yang diresmikan adalah Islam model “cendekiawan”, sementara Islam model “kiai ketoprak” dianggap liar. Puncak pertarungan itu terjadi dalam Muktamar NU di Cipasung 1994. Yang liar dicoba untuk dibungkam untuk tidak terpilih lagi. Artinya, tidak diberi kuasa lagi, yang ditandai dengan insiden simbolik gagalnya salaman tangan antara yang liar (dan “gendut”) ini dengan Sang Leader. Di masa itu ada sejumlah deretan kelompok yang dianggap liar itu: kelompok kelompok kiri (ada “hantu” PRD, “hantu” OTB, Organisasi Tanpa Bentuk), pers bebas (dan terlalu bebas sehingga harus dibredel), dan aliran-aliran sempalan (Haur Koneng dan kelompok penghayat kepercayaan). 

Inilah yang kemudian dipelajari oleh elit muslim, tentang fungsi polisi dan efektifitas pengawasan terhadap kelompok kelompok yang bermasalah, yang dianggap kriminal, seperti yang ditunjukkan oleh negara model Orde Baru. Coba bandingkan kasus Haur Koneng dan pembredelan pers dengan bangkitnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) yang waktu itu merajai politik nasional. Dengan kata lain, ada paralelisasi antara kekuasaaan otoriter dan perkembangan keilmuan, antara kuasa untuk membredel berjalan seirama dengan gerakan pembaruan dalam Islam. Atau, dalam konteks kolonial seperti diungkap Pijper, salah seorang pejabat keagamaan Hindia Belanda, ada keakraban tersendiri antara pejabat kolonial dengan kelompok-kelompok Islam reformis. Dengan kata lain, relasi antara agama dan penguasa ibarat hubungan antara penemuan Digul dan penciptaan reformisme Islam. 
Dan seperti itulah di masa-masa akhir Orde Baru dulu. Sebagaimana yang saya alami sewaktu menjadi wartawan di suatu majalah Islam terkemuka di ibukota, kelompok Islam yang tergabung dalam kelompok ICMI mendambakan betul kedekatan dengan “Master-Leader”, dan tidak mau berbuat macam-macam. Mereka juga menolak segenap bentuk gerakan sosial seperti pada kasus 27 Juli 1996. Mereka khawatir dengan kekuatan Abdurrahman Wahid dan Megawati waktu itu yang dikatakan populis. Mereka menghendaki, kalau perlu, umat Islam menjalin hubungan baik dengan “Master-Leader”, karena ia sudah berbuat banyak kepada umat Islam, seperti UU Peradilan Agama, pembentukan ICMI, Festival Istiqlal, naik haji, dan pendirian Bank Muamalat. 

Pernah juga ada kepanikan ketika RUU tentang Anak diajukan yang katanya waktu itu membenarkan adopsi meski tidak seagama. Juga menjaga kedekatan dengan kalangan ABRI, dan juga, di saat bersamaan, dengan kelompok-kelompok demokratik dari sayap Islam modernis (tentu tidak semua kelompok demokratik akan dirangkul). Pernah juga muncul geger ketika Nurcholish Madjid ikut bergabung mendirikan KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), karena dianggap mengganggu suasana akomodasionis antara Islam sayap modern dan penguasa waktu itu. Suasana akomodasionis ini mengingatkan apa yang terjadi di masa dekade-dekade akhir kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Dan inilah yang akan dibahas dalam buku ini. 

Sudah banyak tulisan tentang sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia, dengan sekian tumpukan informasi, data-data dan dokumen sejarah yang dihasilkan dalam kurun waktu yang membentang sepanjang kehadiran kolonialisme itu sendiri. Belum lagi sejumlah kajian dan studi, yang sudah menghasilkan sekian ratus, bahkan ribuan judul buku, di tambah sekian ratus ribu artikel yang dihasilkan selama kurun waktu pasca kolonialisme itu sejak 1945. Kalau Anda mahasiswa(i) jurusan sejarah atau pernah kuliah di Universitas Indonesia atau di Universitas Leiden, tentu Anda akan paham bagaimana cara terbaik menulis tentang era kolonialisme itu. Tetapi, perhatian saya, bukanlah menulis sejarah per se, yang tertuju kepada dokumen masa lalu, yang membutuhkan ketekunan menelaah sejumlah besar himpunan data dan arsip. 

Makin banyak data-data yang diperoleh, maka makin besar pula nilainya untuk kepentingan studi sejarah bersangkutan – plus gelar kesarjanaan Anda akan peroleh kalau berhasil mengungkap data-data baru dari tumpukan arsip dan dokumen itu. Namun demikian, yang saya lakukan ini bukan menumpuk data-data, bukan pula mencari gelar kesarjanaan akademik. Yang saya kerjakan, alih-alih, adalah mengulang-tulis “sejarah masa kini”. Yang dipentingkan adalah “dokumen kekinian”.

Saya tidaklah terlibat jauh dalam mengotak-atik tumpukan naskah-naskah kuno atau kumpulan arsip-arsip lama. Saya tidak mencari nilai lebih untuk kepentingan masa lalu melalui penulisan sejarah ini. Saya tidak ingin mengungkap detil-detil fakta baru dalam sejarah masa lalu yang tidak ditemukan oleh studi-studi sebelumnya. Saya bergumul dengan masa kini, atau apa yang bisa dikatakan sebagai “momen-momen pasca-kolonial” di masa kini. Maka, menulis “dokumen kekinian” lebih mirip dengan merekam peristiwa yang masih berlangsung, yang masih hidup, seperti halnya saya merekam melalui kamera digital segenap kejadian. 

Kamera saya masih berjalan hingga kini memotret detil-detil peristiwa yang terjadi. Kamera saya misalnya merekam peristiwa pengadilan wartawan Tempo dimana sang hakim menggunakan hukum warisan kolonial, sementara sang terhukum ingin menggunakan argumen serupa dari masa kolonial; ada harapan baru terhadap presiden yang baru terpilih dalam Pemilu 2004 untuk menciptakan “ketenteraman dan keamanan yang kondusif” seperti halnya Belanda dulu menciptakan kondisi serupa dalam bahasa “rust en rode”; ada perdebatan tentang kodifikasi hukum Islam yang merujuk kepada pengalaman kolonial; ada “hantu” Piagam Jakarta dalam segenap diskusi tentang Departemen Agama, tentang penegakan syariat Islam di daerah-daerah, tentang kebangkitan ke-daerah-an ... dst. Dengan kata lain, makin panjang deretan peristiwa masa kini, makin relevan pula suatu tinjauan kritis atas masa lalu.

Buku ini awalnya ingin menfokuskan diri pada studi politik kemunculan UU No.1/PNPS/1965 dan UU Perkawinan tahun 1974. Tentu bukan teks-teks kebijakan itu yang dianalisa. Tetapi dampaknya dalam relasi politik, sosial dan budaya dalam konstruk negara-bangsa Indonesia. Kedua UU ini memunculkan problematik agama resmi dan yang tidak resmi, konstruk “mayoritas versus minoritas”, masalah “diskriminasi dan pengistimewaan” dalam soal yang ebrkaitan dengan hak-hak warga negara, serta masalah identitas, apakah itu agama, sub-agama, etnik, sub-etnik, ras atau sub-ras, atau perkara identitas bangsa, yang hingga kini masih terus berbenturan. 

Tetapi, yang cukup mengherankan, ternyata masalah-masalah ini tidak banyak terungkap, bahkan dianggap “tidak ada masalah”: tidak ada masalah dengan diskriminasi warga negara, tidak ada masalah dengan soal agama resmi dan tidak resmi, tidak ada problem mayoritas dan minoritas, dan juga tidak ada masalah dalam soal “SARA”, suku, agama, ras dan antar golongan – sebuah racikan ideal untuk “mengamankan situasi supaya tidak muncul masalah”. Dengan kata lain ada sesuatu yang dianggap sudah selesai, wajar dan alami, dan tidak perlu dipikirkan dalam relasi-relasi tersebut, seperti halnya dogma-dogma agama yang tidak perlu dikorek-korek lagi. 

Inilah perkara “sejarah masa kini” yang ingin diungkap buku ini sejak awal. Namun demikian, di sela-sela analisis buku ini, saya menemukan sejumlah hal yang ternyata mencengangkan dalam “sejarah kekinian” itu. Di balik pembungkaman itu, di balik naturalisasi relasi politik, sosial dan budaya itu, ada mekanisme kuasa yang beroperasi secara diam-diam, dan mungkin bisa dikatakan itu sebuah gerak di bawah permukaan yang tenang dan alami itu. Awalnya, mekanisme kuasa itu tampak samar-samar. Namun lambat-laun tampak jelas ketika muncul sejumlah kasus dimana otoritas negara dan pengetahuan resmi tampil telanjang bulat. 

Kasus yang paling dekat adalah terbitnya buku Fiqih Lintas Agama (2003) dan munculnya hasil ijtihad Counter Legal Draft KHI (Kompilasi Hukum Islam) Baru (2004) yang dirumuskan oleh satu tim non-kampus yang diketuai oleh Ibu Musdah Mulia. Sejumlah profesor, doktor dan sarjana terhormat dari Universitas Indonesia dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tampak gagap merespon kehadiran produk pemikiran alternatif itu. Bahkan ada yang meminta supaya Kejaksaan dan MUI melarang buku itu, dan ada pula yang meminta supaya Departemen Agama bertindak tegas mendiskualifikasi hasil-hasil ijtihad tim KHI Baru itu. Bisa dibayangkan, sebuah hasil ijithad diseret untuk diperhadapkan dengan kekuatan sensor negara, dan juga sensor agama. Sesuatu yang tidak terduga, tetapi dianggap wajar dan alami. Seperti sebutan bahwa buku Fiqih Lintas Agama dan KHI Baru “sesat-menyesatkan”, “mengingkari wahyu” dan juga “berani menentang UU Perkawinan yang merupakan hukum Tuhan”.

Ya, sensor itu, yang kemudian menarik perhatian analisis saya. Banyak hal yang tak terketahui dan tidak terpikirkan, seperti bagaimana sensor itu bekerja, dari mana asalnya, dan mengapa terkait dengan begitu banyak kekuatan: negara, agama, hingga kapital. Tidak mesti sensor itu membungkam, merepresi, tetapi justru bersifat produktif, menghasilkan sesuatu, seperti pengkaitan antara sensor negara dan sensor pengetahuan, sensor agama dan sensor akademik. Begitulah cara Foucault menganalisis mekanisme kuasa sensor seksualitas di kalangan masyarakat Eropa. Sejarah kekinian tentang sensor membuka tabir yang menutupi relasi antara pengetahuan dan kuasa, antara pengetahuan dan seksualitas, antara pengetahuan dan kapital, antara pengetahuan dan agama. 

Analisis berikut yang diungkap buku ini adalah soal produksi sensor maupun konsumsi sensor ini. Anda ibarat membeli barang yang sudah jadi, tinggal Anda gunakan untuk keperluan yang Anda inginkan. Seperti sebutan “sesat”, “mengingkari wahyu”, “hukum Tuhan”, dsb. Anda tidak perlu susah-susah mencari dalam kamus agama, apa arti sesat atau hukum Tuhan, apakah penilaian itu pas atau tidak, patut atau tidak. Cukup Anda temukan dalam pasar-bebas kata-kata dan wacana yang berseliweran di sana-sini dalam panggung retorika politik Indonesia. (Seperti halnya kata-kata “NKRI”, “stabilitas dan keamanan”, “KKN”, “provokator”, “aktor intelektual”, ... dst.). 

Maka, di saat itulah kata itu berguna dan berarti. Jangan heran, sebutan sesat bukan hanya milik kalangan agamawan atau akademisi yang gagap merespon KHI Baru. Tentara dan polisi pun juga ikut mengkonsumsi kata “sesat” untuk mengendalikan situasi dan keamanan. Seperti ditunjukkan dalam kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah di Aceh dan pemberangusan kelompok keagamaan Haur Koneng di Jawa Barat.

Kalau kata “sesat” saja mudah dikonsumsi dan efektif untuk kepentingan pengawasan, kontrol, pengendalian dan sekian macam sensor, -- dimana saja, kapan saja -- maka hal serupa bisa ditemukan dalam sekian kata-kata dan penanda berikut: SARA, minoritas, mayoritas, kerukunan umat, agama resmi, kepercayaan bukan agama, penegakan syariat, hukum Islam, dst. Jadi, kesimpulan saya, pembahasan tentang UU No. 1/PNPS/1965 dan UU Perkawinan tidak hanya terkait dengan peran Kejaksaan dan Departemen Agama, tetapi lebih dari itu: problem konstruk hukum, racikan tentang agama, tentang pengawasan dalam agama, konstruk kebudayaan sebagai pengawasan, dan penciptaan ideologi ketertiban dan keamanan. Mengapa misalnya negara berkepentingan dengan urusan agama, atau, tentara dan polisi berurusan dengan soal-soal sesat-menyesatkan?

Tentu, pertanyaan soal hubungan agama dan negara ini sudah klasik. Tetapi yang menarik bagi saya untuk dianalisis kemudian adalah soal mengapa negara tidak “berani” mengidentifikasi dengan jelas posisinya terhadap agama. Selama ini yang kita dengar adalah bahwa Indonesia bukan negara sekuler, bukan pula negara agama atau teokrasi. Apakah ada ketakutan untuk membuat identitasnya jelas dan spesifik? Malah, yang tampak, negara diuntungkan dengan ketidakjelasan “status kelaminnya” itu. 

Dan ketidakjelasan ini merupakan bagian dari produktifitas “wacana agama dan negara”. Soalnya, kalau diperjelas statusnya, misalnya mengatakan Indonesia adalah negara sekuler, atau negara agama, maka kekuatan produktif dari sensor, pengawasan dan bahkan legitimasi negara terancam, dan bahkan bisa buyar berantakan. Jadi, dengan kata lain, ketidakjelasan inilah yang mengefektifkan kerja-kerja sensor, kontrol dan pengawasan itu. Dan masalah ketidakjelasan ini menantang saya untuk mengeksplorasi lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, politik, hukum dan pengetahuan. Lebih khusus lagi, problem Islam sebagai agama pasca-kolonial, dalam kaitannya dengan sejumlah kekuatan di luar dirinya, mulai kolonialisme, tradisi Orientalisme, nasionalisme hingga negara modern model nation-state seperti Indonesia.

Buku ini adalah rintisan awal menulis(-ulang) sejarah masa kini, sejarah yang terbentuk bukan hanya karena konfigurasi kekuatan kekuatan masa kini, tetapi juga oleh konfigurasi kekuatan-kekuatan yang ada di masa lalu. Menulis sejarah masa kini adalah menulis faktor-faktor sejarah yang membentuk masa kini. Termasuk masalah ketidakjelasan identitas negara pasca-kolonial seperti Indonesia ini. Namun saya menulis sejarah kolonialisme tidak secara kronologis. Untuk ini sudah banyak ditulis. Tampak dalam buku ini penelusuran sejarah yang bolak-balik, maju-mundur. Model penulisan sejarah seperti ini (kalau memang masih bisa disebut sebagai metode historis dalam arti konvensional), pernah dilakukan oleh Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa. Kalau bisa dikatakan, studi ini adalah studi genealogi atau “sejarah kebenaran”. 

Genealogi menfokuskan perhatiannya pada persoalan kaitan antara kuasa, pengetahuan dan tubuh-jiwa, seperti tertuang dengan jelas dalam Discipline and Punish dan History of Sexuality, seperti yang ditulis Foucault. Dalam pendekatan semacam ini, yang diperhatikan adalah bagaimana sebuah pengetahuan atau wacana menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan menguasai (dalam bahasa Nietszchean the will to power) yang kemudian dari sana melahirkan “kehendak untuk benar” (the will to truth).

Yang ditelaah Foucault misalnya dalam Discipline and Punish adalah soal bagaimana keterlibatan pengetahuan psikiatri dalam mekanisme penghukuman legal terhadap sang individu yang dianggap mengalami gangguan mental. Mekanisme ini sangatlah dibutuhkan keputusannya untuk menentukan apakah individu tersangka pelaku kejahatan benar-benar normal dan tidak mengalami sakit jiwa, ke depan dianggap membahayakan masyarakat atau tidak, dan apakah dianggap layak untuk dihukum dan tidak. 

Itu berarti sang hakim membutuhkan “kebenaran” psikiatri atau kedokteran jiwa agar dianggap absah dalam menghukum dan menghakimi. Dan keseluruhan jaringan saintifiko-legal inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut Foucault “punitive reason” (nalar penghukuman). Dan “kekuasaan untuk menghukum” (the power to punish). Dalam konteks nalar inilah genealogi berupaya mencari “the present scientifico-legal complex from which the power to punish derives its bases, justification and rules, from which it extends its effects and by which it masks its exorbitant singularity”. 

Namun demikian, kekurangannya, metode Foucault tidak memperhatikan kondisi kolonial yang melahirkan sejumlah wacana tentang pengetahuan dan kontrol di belahan dunia jajahan. Padahal, pendekatan genealogisnya sangat relevan dalam konteks kolonialisme, seperti yang ditunjukkan dalam stui-studi poskolonial dalam bab berikut.

Ini adalah studi awal yang bertujuan untuk mengungkap kebangkitan elit dan hancurnya gerakan rakyat dalam sejarah Indonesia, yang saya sebut dengan kelompok subaltern, yang terpinggirkan. Penelitian penelitan berikutnya masih ditunggu tentang posisi subaltern di masa kolonialisme, di masa pergerakan nasional, dan juga di masa pasca kemerdekaan. Misalnya penemuan kata “rakyat”, yang sebetulnya berasal dari bahasa Arab yang kemudian ditransformasi untuk menggantikan kata-kata “kawulo”, “wong cilik”, “inlanders” yang digunakan pemerintah kolonial Belanda atau “boemipoetra” yang digunakan kalangan ansionalis. Namun, di sini, ada ambivalensi. 

Di satu sisi, kata rakyat menunjuk pada massa, seperti yang digunakan oleh kalangan komunis. Seperti buku Tan Malaka yang berjudul Massa-Aksi. Namun, kata rakyat juga dipakai untuk menunjuk kepada orang-orang yang perlu dituntun, seperti halnya gembalaan (yang sesuai dengan kata dari bahasa Arab itu). Kata massa kemudian menyusut, seiring dengan menguatnya ideologi “bangsa” yang mengidentikkan diri dengan “rakyat”. Massa kemudian identik dengan kelompok yang terpinggirkan, sementara rakyat mengisi arti bangsa dan menjadikannya identik. Terlebih lagi, ambivalensi itu lebih tampak ketika Soekarno lebih suka menggunakan kata “Marhaen” untuk laki-laki “rakyat” dan juga “Sarinah” untuk perempuan “rakyat”. 

Marhaen adalah massa, demikian pula Sarinah. Marhaen ditemukan oleh Soekarno sebagai seorang petani kecil, demikian pula Sarinah ditemukan oleh Soekarno sebagai seorang pembantu dan pengasuh anak. Tetapi Marhaen telah berubah menjadi “Marhaen”, dan Sarinah berwujud menjadi “Sarinah” dalam ideologi nasionalis yang merepresentasikan Rakyat dan Bangsa (dengan R dan B besar). 

Dan bukan sebaliknya, bangsa atau rakyat didefinisikan oleh orang-orang seperti Marhaen yang petani atau Sarinah yang pembantu. (Masalah ini yang sempat bikin gusar pejabat-pejabat kolonial bahwa kelompok nasionalis itu tidak punya akar, hanya kelompok minoritas dan tidak didukung oleh penduduk pribumi). 
Hal yang sama berlaku dalam “sejarah Islam” di negeri ini. Ideologi perang dan pemberantasan terhadap tarekat yang dianggap mistik, takhayul dan bid’ah, bersamaan dengan gerakan nasionalis Islam yang memerangi segenap mistik, takhayul dan bid’ah sebagai kerangka gerakan reformasi atau pembaruan Islamnya. Memang muncul pertanyaan, mengapa agenda gerakan reformasi Islam identik dengan memerangi bid’ah, sementara kolonialisme tidak pernah menjadi agenda untuk dibasmi. 

Penemuan hukum adat dan hukum Islam misalnya, merupakan jalan kontrol kolonialisme terhadap kehidupan subaltern, dan perempuan (dan terlebih lagi, perempuan subaltern). Di saat bersamaan kalangan nasionalis juga menemukan jalan masuk ke komunitas adat dan komunitas desa, dengan menjadikan “desa” sebagai “embrio republik”. Dari sini muncul pengidentifikasian lahirnya Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, sebagaimana kita kenal dalam Sumpah Pemuda, dengan “kembali ke masyarakat Indonesia yang asli”, yang kemudian menandai lahirnya Bangsa dan Rakyat.

Ini juga merupakan kontribusi terhadap studi-studi kolonialisme Belanda di Indonesia, yang belakangan ini hanya merupakan tumpukan data, dan bukan kekuatan analisis. Para peneliti dan penulis akademik tentang sejarah kolonialisme baik yang ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda maupun yang ditulis oleh orang-orang Indonesia, lebih mirip dengan tumpukan batu bata yang tidak pernah menghasilkan rumah. Tumpukan batu bata itu kian meninggi, tetapi tidak menghasilkan bangunan apapun, namun hanya berupa dinding yang kian meninggi. Itupun data-data yang berserakan, yang tidak ada hubungan antara satu sama lainnya. Apalagi benar-benar satu tumpukan dokumen masa lalu. Dan betul-betul masa lalu. 

Bagi penulis yang muncul belakangan yang bergelut dengan persoalan-persoalan kekinian, kerjanya kalau bukan melanjutkan pengumpulan dokumen masa lalu, atau memproyeksikan masalah-masalah masa kini ke masa lalu. Misalnya civil society masa kini dicari akar-akarnya dalam sejarah Islam atau dalam sejarah Nusantara. Jadi mirip keadaannya dengan mahasiswa Leiden. Mereka berkutat dengan studi-studi masa lalu, sehingga kalau mau menulis tentang “sejarah masa kini”, seperti gerakan mahasiswa era reformasi, maka dia dianjurkan untuk menunggu 30-40 tahun untuk kemudian baru bisa ditulis sebagai obyek kajian. Dan, itu artinya, mereka ketinggalan zaman 30-40 tahun dari sejarah kekinian negerinya sendiri.

Islam, Obyek Kajian: Orientalis sebagai Etnolog

Salah satu kontribusi penting Edward Said dalam studi Orientalisme adalah tesisnya bahwa “Barat” menciptakan Timur sebagai “yang lain”, yang berbeda dari dirinya. Sementara Timur, pada pihak lain, mencipta dirinya sebagai “yang lain” pula, sebagai “yang Timur”, yang berbeda dari “yang Barat”. Barat rasional, materialistik, dan maskulin; Timur spiritual-mistis, eksotik, dan feminin. Islam, sebagai sesuatu yang ditemukan di Timur, juga diidentifikasi seperti itu, spiritual-mistis, eksotik, dan juga feminin. “Sesuatu” ini perlu digarisbawahi. Karena Barat datang bukan untuk memeluk Islam sebagai agama mereka, tetapi untuk keperluan mengetahui Islam sebagaimana halnya mereka mengenal tumbuh-tumbuhan, binatang, alat-alat musik, dan penduduk yang ada di Timur. 

Tentu banyak kajian tentang Orientalisme dalam studi Islam. Namun ada beberapa hal yang luput dari sekian perbincangan di Tanah Air. Di antaranya, yang paling penting, adalah apa yang terjadi ketika Orientalisme, sebagai disiplin (pe)wacana(an), memperkenalkan “cara mengetahui” (to know) tentang Islam. Cara mengetahui seperti ini bukan hanya direproduksi menjadi wacana keilmuan yang bernama Orientalisme, tetapi juga menjadi pembenaran wacana kolonialisme. Mengapa demikian?

Pertama, soal apa arti mengetahui Islam. Mohammed Arkoun pernah menulis tentang “imagining Islam” sebagai persoalan relasi kuasa, dimana kekuatan dominan memonopoli tafsir dan pemaknaan tentang Islam, dan mensublimasikannya dari wacana politik ke wacana agama. Lalu, apa arti “mengetahui” Islam ketika orang seperti Voltaire dan Renan atau Napoleon dan Balfour datang dan berbicara tentang agama orang-orang yang dipeluk di dunia Timur? Menurut Said, berurusan dengan Timur berlangsung dengan cara “making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching it, setting it, ruling over it” (memberi pernyataan atasnya, mengabsahkan pandangan-pandangan tentang dirinya, melukiskannya, mengajarkannya, mengaturnya, serta menguasainya). 

Dan kerja “mengetahui”, to know, berarti “melacak, menyelidiki dan mendata suatu peradaban sejak dari awal kemunculannya, ke masa puncaknya, hingga ke masa kejatuhan dan keruntuhannya”. Artinya kemampuan untuk melakukan itu dan menunjukkannya bahwa Timur pernah mengenal masa awal, masa dewasa, dan juga masa kepunahan. Obyek yang disebut peradaban itu dinyatakan sebagai “fakta”, meski berubah dan mengalami transformasi. Fakta ini dinyatakan stabil, secara fundamental dan ontologis. 

Maksudnya, demikianlah ia pada kenyataannya sejak awal hingga akhir hayatnya. Memiliki pengetahuan tentang fakta itu berarti mendominasinya, berkuasa atau berotoritas atasnya. Otoritas itu menunjukkan kemampuan “kita” untuk mencabut (hak) otonomi atas “fakta” itu: Karena kita tahu, dan ia pun ada. Artinya, ia ada sebagaimana kita mengetahuinya. Aijaz Ahmad mengemukakan pengertian itu dalam kata “describing”. 

Kalau Anda men-describe sesuatu, maka Anda “mengkhususkan satu lokus makna, menentukan obyek pengetahuan, dan juga menghasilkan satu pengetahuan yang terikat dengan kegiatan konstruksi deskriptif ini”. Maka, mengetahui dan menemukan Islam berarti menempatkannya dalam lingkungan ia berada di Timur, membuatnya familiar dengan kondisi ke-timur-an-nya, serta membuatnya tetap terus bertahan dalam situasi ketimuran tersebut hingga akhir hayatnya. Dengan kata lain, di sinilah kegiatan konstruksi deskriptif terkait dengan wacana kolonisasi. 

Dengan menempatkannya dalam satu lokus pengetahuan dalam kondisi facticity-nya (“keberkenyataan”-nya), berarti menempatkannya sebagai obyek belaka dari sejarah. Mengetahui Islam, singkatnya, adalah membuatnya sebagai obyek sejarah, dan bukan sebagai subyek sejarah. Subyeknya adalah sang penemu itu, sang orientalis. Dialha yang membuat sejarah ke dalam Islam dan menempatkannya dalam hirarki sejarah dunia, dan juga dalam hirarki nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan.

Dengan demikian, mengetahui Islam, tiada lain, adalah soal mengukuhkan otoritas dan soal siapa yang bermain dengan otoritas itu. Mengukuhkan otoritas, karena Islam di sini hanya tampil sebagai obyek, fakta, yang dianalisis, diobyektifikasi, yang diurai unsur-unsurnya lalu dikukuhkan bahwa ada “esensi” yang dimilikinya (yang dikatakan “fundamental” dan “ontologis”), esensi yang stabil dan tidak berubah. 

Dan bentuk-bentuk pengetahuan itu tidak mesti rasional atau empiris. Bisa juga berupa fantasi-fantasi, yang merupakan tumpukan dari cerita-cerita, anekdot-anekdot, kekeliruan-kekeliruan, kebohongan-kebohongan, kisah-kisah erotis, dan juga lukisan-lukisan eksotik. Asalkan menusuk langsung ke esensi itu, maka di situlah ia punya otoritas, seperti halnya fantasi tentang Timur yang eksotik dan mengundang birahi. Inilah yang disebut Fanon sebagai “ketidaksadaran kolektif”, yang berupa kumpulan praduga, mitos, sikap-sikap kolektif dari kelompok tertentu. Ketidaksadaran kolektif ini diperoleh oleh individu melalui budaya. Seperti muatan-muatan rasis dari ketidaksadaran kolektif yang dipaksakan kepada individu berkulit-hitam oleh kebudayaan berkulit-putih. 

Dengan demikian, Fanon menempatkan psikoanalisa rasisme dalam konteks kulturalnya. Maka, orang-orang seperti Napoleon, Balfour, Renan atau Voltaire tidaklah datang mempelajari dan mengenal Islam untuk kemudian diamalkan dan dihayati, tetapi justru untuk “diobyektifikasi” dalam konteks budaya, dalam konteks ketimpangan rasial antara penjajah dan yang dijajah. Dan dalam konteks budaya ini pula, Islam adalah juga obyek yang “dibirahikan”. Islam bukan hanya obyek yang layak dikaji dan dianalisa, seperti halnya fakta-fakta “obyektif” yang ada dalam alam raya ini, seperti bulan, matahari, batu dan sebagainya. Tetapi juga obyek yang bisa dipuaskan secara seksual, seperti cerita dan fantasi Orientalis tentang tubuh Kuchuk Hanem seperti diungkap oleh Said dan seperti ditunjukkan pula dalam hubungan-hubungan seksual antara penjajah dan pribumi. 
Dari sini, mengenal dan mengetahui Islam beriringan dengan kekaguman orang-orang Eropa terhadap keunggulan metode positivisme yang dibuktikan dari kemajuan ilmu-ilmu alam di abad 17 dan 18. Dan, Islam beserta agama-agama yang ditemukan orang-orang kolonial pun diposisikan sebagai obyek yang diukur berdasarkan standar-standar saintisme yang mengedepankan rasio dan empirisme. Konsekuensinya, karena yang dominan di masa itu adalah bentuk pengetahuan Darwinisme, maka Islam dibaca berdasarkan perkembangan teori itu. Dan dalam posisi seperti inilah Islam masuk ke dalam wacana kolonialisme. Artinya, bagaimana cara mengetahui Islam direproduksikan menjadi wacana relasi antara yang superior dan yang inferior, dan juga bagaimana yang superior membenarkan misi pemberadaban terhadap yang inferior.

Kita baca kutipan terkenal dari Ernest Renan, filsuf “idealis” kelahiran Perancis, berikut: “the regeneration of the inferior or degenerate races by the superior races is part of the providential order of things for humanity” (Pelahiran kembali ras rendahan atau yang terbelakang oleh ras yang tinggi merupakan bagian dari tata-kehidupan yang penuh berkah terhadap kemanusiaan). Ucapan Renan ini sederhananya bisa dikatakan dipengaruhi oleh kolonialisme Perancis di beberapa belahan dunia, atau bisa juga ditujukan untuk membenarkan kolonialisme Perancis pada abad 19. 

Tetapi persoalannya jauh lebih kompleks. Renan, seperti diakui, adalah ilmuwan dan filolog, dan karya-karyanya banyak diakui. Terlebih lagi, ia adalah filsuf, yang pikirannya tidak banyak berurusan dengan tetek-bengek politik. Ketika ia berbicara dengan pongah tentang “pelahiran kelahiran ras atau kelompok manusia yang rendahan atau hampir punah oleh ras yang lebih unggul”, tidak jauh berbeda ketika ia mengatakan dengan sangat arogan bahwa disiplin filologi yang ia geluti adalah sumber semua ilmu. 

Artinya, pandangannya ini lebih didorong oleh pandangan dominan yang berlaku di masanya yang menaruh harapan optimisme terhadap kemajuan akal, sains dan teknologi. Dan keunggulan satu ras manusia ditunjukkan dari penguasaannya atas dunia sains dan teknologi. Dan punahnya satu ras tergantung dari sejauhmana penguasaannya atas dunia tersebut. Maka, mengenal Islam, selain untuk dianalisa dan diobyektifikasi, juga untuk ditentukan apakah Islam pernah mengenal dan menguasai dunia sains dan teknologi. 

Dan kalau ia tidak mengenal, maka kolonialisme merupakan pintu menuju kemajuan, yang agar Islam tidak punah dan tenggelam ditelan bumi! Artinya, dalam wacana Orientalisme ini, Islam perlu dilahirkan kembali. Dan wacana seperti inilah yang kemudian mengundang respon di kalangan orang-orang Arab dalam bahasa “nahdlah” (kebangkitan). Ini mirip dengan seruan Jeremy Bentam dan John Stuart Mill, “mbah”-nya kaum liberal, tentang perlunya kolonialisme untuk memperkenalkan nilai-nilai modern dan liberalisme untuk membentuk masyarakat baru. Atau pandangan Karl Marx tentang perlunya kolonialisme sebagai pintu untuk meninggalkan feodalisme, menuju kepada satu bentuk masyarakat baru, masyarakat kapitalis sebagai transisi menuju tatanan sosialisme. 
Dengan demikian, Orientalisme tidaklah berhenti misalnya menjelek-jelekkan Islam sebagai simbol kemunduran bangsa Timur, yang distereotifkan sebagai produk ras yang inferior, primitif, penuh takhayul, dan barbar. Tetapi berkehendak membuatnya menjadi “lebih baik”, sebagai kelanjutan dari “citra-diri” ideal yang ingin dikukuhkannya dalam relasi antara Barat dan Timur. Dalam rangka “regenerasi Islam” ini Orientalisme mengangkat Islam sebagai obyek kajian dari berbagai displin keilmuan yang muncul di Eropa. Islam pun menjadi bagian dari wacana etnologi, sosiologi, psikologi, dan sekian displin pengetahuan lainnya. 

Dan produk pengetahuan ini pada gilirannya menjadi “self-image” (citra-diri) orang-orang Eropa tentang dirinya; dan selanjutnya, juga merupakan citra-diri orang-orang Islam tentang dirinya pula. Strategi ganda ini, atau “double vision” dalam istilah Bhabha, pada gilirannya menentukan sejauhmana dinamika interaksi antara penjajah dan yang dijajah yang tidak mudah ditarik garis tegas dan “hitam-putih” antara keduanya. 
Citra-diri ibarat orang yang sedang bercermin tentang dirinya, memposisikan dirinya sesuai dengan gambaran yang ada dalam cermin, dan bahkan jatuh cinta dengan dirinya dalam cermin itu, dan berjuang mati-matian untuk tetap melihat postur idealnya sebagaimana gambaran yang ditunjukkan dalam cermin. Citra-diri ini tidak muncul dari dalam diri umat Islam, bukan juga suatu proses yang sadar-diri, yang dilakukan dari dalam lingkungan mereka secara eksklusif. 

Citra diri ini, seperti dingkap dalam perspektif Lacanian tentang pembentukan subyektifitas, adalah fenomena sosial. Dan dalam konteks kolonialisme, hal itu muncul setelah orang-orang Islam (yang kebanyakan tidak sadar-diri itu, unconciously) bersentuhan dengan kolonialisme di negerinya (yang sadar-diri, conciously). Dalam sentuhan kolonial inilah mereka pun jadi sadar diri, dan mulai mengidentikkan dirinya sebagai “orang-orang Islam”, dan segala yang berbau Islam pun diidentikkan sebagai agama. Seperti halnya orang yang bercermin baru sadar bahwa dirinya cantik dan menarik nanti setelah melihat postur tubuhnya dalam cermin yang dilihatnya berbeda dari tampilan yang “asli”. 

Dalam cermin itu, ia melihat dalam dirinya nuansa-nuasa keindahan dan aura yang mempesona dalam gambaran yang dipantulkan. Tetapi kadang juga dalam citra-diri itu, ada sedikit paranoid. Ini ibarat Sang Diri yang melihat dalam cermin ada bintik-bintik jerawat, ada sedikit kerutan di wajah. Maka dilakukan sejumlah langkah, beli krim pelembut kulit misalnya, untuk menghapus bintik-bintik dan kerutan tersebut. Dan kerutan di wajah itu biasanya bernama “murtad” atau “perkawinan campuran yang melibatkan Muslimah”. Dalam konteks seperti inilah, citra-diri, seperti ditunjukkan dalam bab sebelumnya, terjadi proses “othering” the self, yakni ketika the self menjadi the other.

Demikian pula, “self-image” (citra-diri) orang-orang Eropa tentang dirinya. Dalam Islam, mereka menemukan “pantulan terbalik” dari kesadaran dan subyektifitas mereka. Semakin dipandang, semakin sadar bahwa apa yang ada dalam Islam bukanlah bagian dari kehidupan dan peradaban mereka. Sesuatu yang jauh di sana. Karena ia di sana, maka ia diberi jarak, fisik maupun mental, sebagai tanda untuk dijinakkan, mempesona, dan juga karena kekhawatiran akan potensi bahayanya. Konsep tentang jarak dan penjarakan (distance, distancing) ini menjadi penting dalam studi-studi poskolonial. 

Jarak identik dengan harapan untuk tahu dan menguasainya, namun pada saat yang sama, juga berarti sebuah keterasingan, kekhawatiran. Seperti ditulis Edward Said, wacana Orientalis selalu berputar-putar di antara harapan untuk tahu dan menjinakkan keterasingan, dan kekhawatiran akan sesuatu yang baru namun tak terketahui. Kalau makin dekat, atau terlalu dekat, ia bukan lagi tidak terasing, tetapi tampak lebih sebagai “menacing gaze”, tatapan menakutkan, mengancam. 

Selain harapan untuk menemukan dan menangkap makna, ada pula kekhawatiran makna tersebut lepas, tak terketahui. Seperti halnya keberadaan menara pengawas dalam lingkungan penjara tidak perlu menghadirkan seorang penjaga. Tetapi keberadaan bangunan menara itu sudah cukup untuk mengamati dan mengontrol segenap gerak-gerik para pesakitan. Tetapi kadang pula, perbedaan itu tampil sebagai keangkuhan. Bukan lagi dilihat dan dipandang tetapi balik memandang. 

Hal inilah yang akan ditujukkan dalam bab-bab berikut buku ini. Dengan demikian, kontradiksi dan ambivalensi ini, dalam citra-diri tentang Islam maupun citra-diri tentang Barat, seperti ditunjukkan nanti, melahirkan respon yang juga ambigu dan kontradiktif. Coba perhatikan, satu sisi dicitrakan sebagai “sebuah agama”, sementara yang lain dicitrakan sebagai “sebuah peradaban”. Dalam situasi ambivalensi itulah, dalam citra-diri kalangan Islam maupun citra-diri orang-orang Barat, letak dinamika relasi antara penjajah dan yang dijajah. 
Citra-diri yang ambivalen dan kontradiktif itu berawal ketika tradisi Pencerahan di Eropa dihantam oleh gerakan Romantisisme yang mengangkat wacana emosi, perasaan dan kepekaan emosional, serta kejayaan tradisi masa lalu. Dalam perkembangan ini keunggulan rasio, akal atau kemajuan sains dan teknologi, ditampik. Citra-diri yang kemudian muncul pun juga bersitegang dengan citra-diri sebelumnya. Kalau sebelumnya citranya adalah bagaimana “melahirkan-kembali” Islam untuk menjadi baru, maka dalam pengaruh Romantisisme, Islam dibiarkan tetap seperti apa adanya sebagai wacana emosi dan perasaan. gambarannya lebih mengundang empati, kepekaan dan kedekatan emosional. 

Ini misalnya ditunjukkan dari banyaknya studi-studi Orientalisme tentang Islam spiritual atau spiritualisme Islam (yang diangkat sebagai imbangan terhadap Barat yang materialistis, hedonistis dan rasionalis). Juga ditandai dengan maraknya studi-studi etnologis dan etnografis yang menekankan wajah yang serba eksotik dan unik dalam Islam. Kalau pada yang pertama, ada pengakuan bahwa Islam adalah agama rasional, yang mengenal kemajuan sains dan teknologi, bahwa sistem sosial dan politik umat Islam sudah modern, dan bahkan, katanya, “terlalu modern”. 

Dari sini kemudian muncul sebutan “Islam sebagai doktrin dan peradaban”, “Islam sebagai dogma dan sistem politik” seperti diangkat H.A.R. Gibb. Namun pada yang terakhir, bisa diduga, muncul sebagai reaksi atas “universalisasi” Islam itu. Seperti keberadaan karya etnografis Account of Manners and Customs of the Modern Egyptians (1836) buah tangan Edward William Lane (1801-1876). Buku ini merupakan karya pionir studi tentang “Islam yang lokal”, yang menelusuri adat dan istiadatnya dalam konteks masyarakat tertentu. Karya Lane ini kemudian mempengaruhi karya-karya dalam tahap selanjutnya tradisi Orientalisme pada paruh akhir abad 19. Mereka bukan lagi berkepentingan dengan teks-teks “mati”, tetapi dengan segala yang dianggap “hidup”: desa, petani, keluarga, lembaga-lembaga kemasyarakatan dan hukum. 

Tradisi ini mempengaruhi C. Snouck Hurgronje, yang memang sangat influential di Indonesia kolonial dan pasca-kolonial, yang mencari sesuatu yang punya “ciri-khas”. Yakni, unsur-unsur yang mengidentikkan pribumi itu berbeda dan unik. Sebagai etnolog, perhatian utama Snouck adalah pada Islam dalam “ciri etnologisnya”, yakni “Islam yang berbeda antara teori dan praktik”, antara “yang universal” dan “yang lokal”. 
Apakah kedua perkembangan historis ini “milik” umat Islam, yang lahir dari dalam dinamika historisnya, sehingga dengan mudah bisa memilih antara yang satu di samping yang lainnya, antara tradisi Pencerahan dan tradisi Romantisisme? Sekali lagi, dalam konteks penemuan dan pengetahuan tentang Islam ini, Islam hanyalah obyek dalam sejarah, dan bukan sebagai subyek dalam sejarah. Seperti halnya penemuan hukum adat, seperti ditulis Van Vollenhoven, berawal ketika orang-orang Eropa melabuhkan kapalnya di pantai-pantai Hindia, dan bukan ketika adat itu sendiri mulai berbicara. Maka, perkembangan dan dinamika apapun yang terjadi di Eropa, dan meluber hingga ke dunia Timur, tidak lebih seperti halnya relasi produsen dan konsumen. Dan Timur hanya menjadi – meminjam Gauri Viswanathan – “situs tes” bagi satu formasi budaya kolonial. 

Dengan kata lain, hal itu sebatas masalah citra-diri belaka, dengan segenap ambivalensi dan kontradiksinya. Citra-diri itu bisa saja muncul bahwa Islam itu doktrin dan peradaban, bahwa Islam mengenal juga kemajuan sains dan teknologi. Bahwa Islam adalah agama spiritual. Atau, bisa juga dicitrakan bahwa Islam mengenal sosialisme, dan hingga kini demokrasi dan civil-society. Singkatnya, semuanya berlalu tanpa “kaki” sejarah yang menggerakkannya; semuanya ibarat mimpi yang tidak mengenal tapal-tapal batas historis. Dan semuanya bisa hidup berdampingan, tumpang tindih dan bahkan bisa juga berdamai tergantung gambaran yang muncul dalam cermin itu.

Inilah satu proses dimana umat Islam menjadi sadar diri, dan kemudian mengikuti gambaran yang sudah diberikan oleh kolonialisme dan Orientalisme (dalam kolonialisme). Seperti halnya orang bercermin dan mengikuti gambaran yang disediakan oleh cermin itu. Ini semua adalah proses kolonialisme. Karena kolonialisme tidak hanya memperkenalkan Timur sebagai the other, tetapi juga the other sebagai kepanjangan dari Barat yang sadar-diri. The other ada sejauh Barat juga ada, dan sejauh Barat ada maka apa yang disebut Timur pun juga akan tetap selalu ada. 

Bukankah Timur diketahui dan saat itulah ia ada dan menjadi “Timur”? Dan itulah proses othering, proses penciptaan Barat menciptakan “yang lain”-nya (its others). Barat pertama-tama memasang dirinya sebagai “Yang-Lain-Yang-Besar” (the [Big] Other), yang merupakan obyek hasrat (desire) dan kuasa (power). Lalu menundukkan subyek kolonial dengan menyebut “yang-lain-yang kecil” (others). Other (yang kecil ini) bukan hanya ditundukkan dan dimarjinalisasi, tetapi juga diusahakan bagaimana menjadi subyek yang berpikir, berimajinasi dan bertindak berdasarkan kerangka yang sudah disediakan oleh the Big Other sebagai obyek hasrat dan mencari kuasanya. Maksudnya, dalam proses othering, bagaimana pun hebat dan heroiknya Timur ditampilkan, tetapi itu hanyalah dalam konteks dirinya sebagai “yang lain”, seperti gambaran dalam cermin. 

Subyek jadi teralienasi, terutama ketika melihat gambaran dirinya berbeda dari yang ada di cermin, mengusahakan semaksimal mungkin bagaimana menyempurnakan diri se-seratus-persen mungkin seperti yang ada dalam cermin. Ini yang mungkin bisa disebut subyek yang terbelah (splitted). Splitting atau keterbelahan diri ini, dimaksudkan untuk melindungi kewarasan diri dan untuk menjamin kelangsungan hidup, menjadikan subyek sebagai obyek buat dirinya, dan memotong kaitan kekerasan dan penghinaan yang ia alami dari “faktor pembentuk esensial” dirinya, yakni kekuatan kolonialisme itu. Diri ini yang pernah ditulis oleh Ashis Nandy “the intimate enemy” atau oleh Goenawan Mohamad yang menulis tentang “the absentee enemy”. 

Musuh, dalam arti kolonialisme, tidak pernah dipersoalkan, digugat dan disingkirkan dalam kesadaran-diri subyek-subyek kolonial; musuh selalu tidak hadir, absen (seperti dalam novel (kolonial) Siti Nurbaya karya Marah Rusli, musuh itu hadir tetapi bukan kuasa kolonialisme tetapi berwujud Datuk Maringgi). Ia malah, lebih dari itu, menjadi bagian (kawan) yang intim dari si subyek. Selain itu, seperti ditulis Ashis Nandy, Timur selalu dilibatkan dalam pergumulan yang terjadi di Barat; pergolakan apapun yang terjadi di Timur tiada lain adalah kelanjutan dari pergumulan yang terjadi di-“induk”-nya, di Barat. 

Seperti pergumulan antara kelompok rasionalis dan spiritualis di Timur adalah kelanjutan dari konflik di daratan Eropa antara pendukung warisan Pencerahan dan Romantisisme. Demikian pula orientasi teks dan orientasi etnografik dalam tradisi Orientalisme juga dibentuk oleh perkembangan di sana. Sehingga melahirkan kerenggangan apakah Islam itu adalah sesuatu yang ada dalam teks, ataukah sesuatu yang muncul dalam pengalaman kehidupan masyarakat sehari-hari? Apakah Islam itu pada dasarnya agama spiritual ataukah rasional? Kita lihat bagaimana splitting tersebut muncul. 
Seperti ditunjukkan sebelumnya, kolonialisme masuk mengangkangi penduduk pribumi dengan memanipulasi sejarah atau masa lalu mereka. Orientalisme, sebagai rezim pengetahuan (kolonial), menulis(ulang) sejarah Timur dengan penuh prasangka dan penilaian buruk. Tentu dengan argumen-argumen yang lazim dalam model pengetahuan Eropa era Pencerahan yang etnosentrik. Bahwa masa lalu mereka “religious but superstitious, clever but devious, chaotically violent but effeminately cowardly” (religius tetapi percaya takhayul, cerdas tetapi berbelit-belit, bengis yang kacau, tetapi pengecut yang centil). Lalu, muncul gerakan Romantisisme yang mau menghargai masa lalu kehidupan umat manusia. 

Dalam semangat ini, kita lihat bagaimana orang-orang seperti Friedrich Shlegel dan Novalis menyerukan orang-orang Eropa untuk mengkaji secara detil India. Karena, menurut mereka, hanya kebudayaan dan agama India-lah yang mampu mengalahkan materialisme budaya Barat. Dalam semangat yang sama, Louis Massignon dan muridnya, Henry Corbin, melirik ke warisan al-Hallaj, Suhrawardi dan Ibn Arabi (atau spiritualisme Islam pada umumnya) untuk menyembuhkan luka-luka yang dialami Eropa akibat materialisme, ambruknya nilai-nilai tradisional dan spiritual, dan juga akibat perang dunia pertama dan kedua yang menyakitkan.

Kalau sebelumnya yang dominan adalah pandangan bahwa Timur “religious but superstitious, clever but devious, chaotically violent but effeminately cowardly”, kini, dalam konteks “kegunaan Asia untuk Eropa modern” , yang muncul adalah pandangan sebaliknya bahwa Timur “superstitious but spiritual, uneducated but wise, womanly but pacific” (percaya takhayul tetapi spiritual, tidak terdidik, tetapi bijak, kewanita-wanitaan tetapi kalem) ... dst .

Dalam konteks kegunaan Asia atau Islam inilah, spiritualisme Timur atau Islam diangkat untuk membawa misi suci menutupi kekurangan Barat yang tidak dimilikinya, yakni spiritualisme dan tradisionalisme. Dan pertentangan yang muncul di dunia Timur atau di dunia Islam, antara mazhab rasional dan mazhab spiritual, antara mazhab “aqli” dan “naqli”, tiada lain adalah kepanjangan dari pertarungan di Eropa antara kubu pendukung rasionalisme Pencerahan dan pendukung spiritualisme atau tradisionalisme Romantisisme. Kubu rasionalis mengangkat argumen Pencerahan, sementara kubu spiritual menimba argumen Romantisisme untuk menjatuhkan lawan debatnya.

Kita lihat kemudian bagaimana pertarungan itu membawa konsekuensi yang lebih penting diamati kemudian melalui kajian poskolonial. Karena kalangan Romantisisme menganggap masa lalu sebagai sesuatu yang bernilai dan berharga, maka orang-orang Islam yang berkenalan dengan rezim pengetahuan kolonialisme ini pun jadi sadar-diri tentang masa lalunya. Oh ... ternyata masa lalu kami hebat juga! Tetapi, soalnya kemudian, masa lalu yang ditampilkan rezim ini tidaklah tunggal. Selain ada masa lalu yang “rasional”, “spiritual”, “demokratis”, ... dst, ada pula masa lalu yang dilihatnya “irasional”, “khurafat”, “mistis”, “penuh takhayul dan bid’ah” ... dst. 

Di sini, lagi-lagi, Barat tampil lagi sebagai The [Big] Other, yang menjadi sumber hasrat, keinginan dan kuasa orang-orang yang menyatakan dirinya Timur. Selain dipakai untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme (seperti dilakukan kalangan nasionalis), juga dipakai untuk menunjukkan mana yang benar, valid, dan yang keliru dan sesat. Dan Romantisisme merupakan pilihan (yang “ada” atau yang “di-ada-kan”)) untuk membantu mereka melihat kembali sejarah, tradisi atau masa lalu yang dikatakan asli dan otentik. Bukankah sejarah itu hanya bermakna ketika dilihat dalam optik Romantisisme yang merawat-rawat dan menostalgiakan masa lalu?

Dalam konteks inilah proyek pembaruan masa kini dan masa depan (seperti pembebasan dari kolonialisme) berjalan beriringan dengan pembaruan di masa lalu, yakni pembersihan dan pemurnian masa lalu dari segenap anasir yang merusak, yang palsu, yang serba takhayul dan khurafat.

Dalam kasus India, kalangan reformis Hindu mengidentikkan sejarah India sebagai sejarah Hindu. Dan keotentikan Hindu sebagai agama diperoleh melalui pembacaannya atas tradisi Kristen Eropa. Konsep “ke-ksatria-an” (ksatratej) dalam agama Hindu diidentikkan dengan nilai-nilai yang mendukung kemodernan, seperti etos kerja, positivisme, sosialisme, dsb.

Sementara dalam Islam, kemurnian dibangun pada satu periode yang disebut periode “ma qabl a-khilaf”, “Islam pra-perselisihan dan perbedaan”, seperti dikampanyekan para tokoh pembaru dan reformis (salafi) di Timur Tengah. Soalnya, dalam era khilaf inilah akal mendominasi, yang terjadi setelah orang-orang Islam berkenalan dengan anasir dari luar, yang asing dari Islam, yang dianggap menyimpang dari kemurnian ajaran dan dogma. Dan, kemurnian itu, seperti halnya orang-orang Romantisis di Eropa, dibangun sebelum dikenalnya akal, sebelum adanya perbedaan dan pertentangan pendapat. 

Persoalannya kemudian, bagaimana kalangan reformis mengakarkan diri dalam konteks masanya, ketika kampanye keotentikan dan kemodernan sekaligus diperoleh dari hasil interaksinya dengan pihak luar, dalam hal ini kolonialisme. Apakah kampanye kemurnian dan keotentikan ini merupakan perpanjangan dari kolonisasi negara-negara imperial, ataukah itu merupakan hasil refleksi-diri sebagian kalangan dan dengan itu mereka menemukan kebenaran Islam?

Bisa jadi itu merupakan perpanjangan dari kolonialisme dan bisa jadi juga bagian dari refleksi-diri, yang pernah laris dikatakan “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir dan baru sekarang bangkit dari tidurnya”. Kalau benar itu adalah hasil refleksi-diri dan baru sekarang bangkit dari tidurnya, lalu masalahnya, apa yang disebut refleksi-diri itu bukanlah dari ruang kosong, tetapi hasil dari interaksi sebagian kalangan elit Islam (karena mereka ini punya akses) dengan dunia modernitas yang diperkenalkan kolonialisme. 

Artinya, di sinilah mereka bercermin, dan melalui cermin inilah mereka menemukan citra-diri sebagai orang Islam yang murni, otentik dan sekaligus modern. Dan tidak semua penduduk pribumi bisa menikmati cermin itu, apalagi untuk mengaksesnya. Dengan kata lain di sinilah alienasi itu terjadi, seperti disinggung di atas. Orang-orang modernis dan reformis ini muncul dari luar, karena desakan dari luar, yang belum sepenuhnya mengakar. Tetapi untuk mengakarkan diri, bahwa dirinya pernah ada di masa lalu, mereka kemudian menjustifikasi dirinya dengan merujuk kepada otoritas masa lalu, termasuk otoritas teks-teks suci. Dalam konteks inilah masa lalu jadi bermakna. 

Otoritas masa lalu ditampilkan oleh kolonialisme dalam kerangka othering, untuk “me-lain-kan”, untuk membuat “ke-lain-an” di kalangan penduduk pribumi. Artinya untuk membuat mereka bergantung kepada Barat. Otoritas serupa dipakai oleh kalangan elit Islam untuk membangun kekuatan serupa untuk berhadapan dengan kolonialisme maupun penduduk pribumi (yang dianggap awam dan diselimuti praktik-praktik agama khurafat dan takhayul). Benar, Islam diagung-agungkan oleh kolonialisme dan oleh sejumlah sarjana Orientalis, tetapi itu untuk menunjukkan satu sisi konstruksi kultural dari mata uang yang sama. Kalau dulu disebut “religious but superstitious, clever but devious, chaotically violent but effeminately cowardly”, maka tidak jauh berbeda kalau disebut “superstitious but spiritual, uneducated but wise, womanly but pacific” ... dst. Singkatnya, dari satu konstruk ke konstruk berikutnya, dari satu penemuan ke penemuan lainnya.

Kolonialisme adalah statemen moral tentang superioritas kebudayaan Barat dan inferioritas kebudayaan-kebudayaan lainnya. Apapun yang dilakukan oleh kolonialisme, termasuk mengagung-agungkan spiritualisme atau rasionalisme Timur, semuanya terbatas dalam kerangka superioritas dan inferioritas tersebut. Dan, bisa diselidiki kemudian, jangan-jangan mengangkat keagungan Islam atau kekuatan spiritual Islam, adalah karena kepentingan menghindari self yang tersiksa dan menderita akibat kolonialisme. Dengan kata lain, kaum (elit) muslim terbebani untuk menjaga tradisi dan peradabannya, bukan cuma karena sadar-diri atau refleksi-diri, tetapi karena mengamankan pemahaman mitos-puitik (dengan demikian menetralisir) atas pandangan misionaris dari para penakluknya. Dan masa lalu pun menjadi taruhannya, dan itulah yang terjadi, masa lalu tidak lagi berceritera apa adanya dengan segenap mitos-mitos dan narasi-narasi ekcilnya, tetapi sudah dipakemkan dalam kategori-kategori, untuk menjadi murni, otentik, modern dan juga rasional.

Islam, Obyek Pengawasan: Problematik “Siyasah” al-Afghani dan “Tarbiyah” Abduh

Islam menjadi obyek kajian sudah dibahas. Kini saya melangkah ke soal bagaimana Islam menjadi obyek surveillance, kontrol dan pengawasan. Mengapa demikian? Ini seperti dikatakan Edward Said, tentang “turbulensi” dalam wacana Orientalis, wacana “mengetahui Islam”, “Islam versus Barat”. Dalam wacana ini pengetahuan Barat terombang-ambing antara harapan untuk tahu dan kenal dan kecemasan dan kekhawatiran perihal yang dikenal itu. Namun demikian, Said tidak melanjutkan tesisnya ini lebih lanjut. Baru kemudian Muhammad Abed al-Jabiri datang membumikannya dalam konteks Arab, terutama dalam proyek “kritik nalar Arab”-nya. Namun di sini saya tidak mengungkap sejumlah kritik epistemologis dan politiknya atas tradisi klasik Islam. Yang relevan di sini adalah analisis dekonstruktifnya terhadap wacana modernitas pemikiran Arab, sebuah wacana yang lahir dari persilangan antara tradisi dan kolonialisme. Ada dua karyanya yang mengungkap soal ini, yaitu al-Khithab al-Arabi al-Mu’ashir (1988) dan al-Masyru’ al-Nahdlawi al-Arabi (1996).

Menurut Abed al-Jabiri, kolonialisme yang datang ke wilayah dunia Islam memperkenalkan dirinya dalam wajah yang serba ambivalen: penjajah sekaligus pembawa pencerahan dan kemajuan. Meski sudah ada kontak dengan dunia Eropa di masa Perang Salib, namun, lanjut al-Jabiri, hubungan dengan wajah paradoks itu baru muncul pertama kali ketika Jenderal Napoleon menginvasi Mesir pada akhir tahun 1798. Waktu itu sedang terjadi persaingan antara Perancis dan Inggris. Dan Napoleon, sebagai panglima militer Perancis, berupaya memotong jalur perhubungan Inggris dengan India dan wilayah Timur Jauh dengan menduduki daerah Timur Tengah, terutama wilayah Siria dan Mesir. 

Setelah menginjakkan kakinya di Iskandariah dan mengalahkan tentara Mameluk, Napoleon berpidato di depan rakyat Mesir bahwa ia datang untuk menyelamatkan mereka dari penguasa Mameluk yang zhalim, serta untuk menegakkan persamaan dan keadilan. Kita tahu, Napoleon adalah satu dari sekian putra perancis yang mewarisi tradisi Pencerahan dan Revolusi Perancis yang mengangkat slogan “kebebasan, persamaan dan Persaudaraan”. Ia bukan hanya membawa tentara dan semangat persaingan dan permusuhan antara Perancis dan Inggris, tetapi juga sejumlah ilmuwan dan sarjana, yang tergabung dalam Komisi Sains dan Seni. 

Pada bulan Agustus tahun yang sama, ia mendirikan Institut d’Egypte dengan tujuan “le progres et a propagation des lumieres” (kemajuan dan penyebaran ilmu pengetahuan). Dengan kata lain, ada dua unsur, kekuatan militer dan ilmu pengetahuan, yang dibawa Napoleon ini, yang melahirkan pola relasi antara Eropa dan dunia Islam yang ambigu, tidak lurus dan utuh. Melainkan penuh dengan retakan-retakan dan turbulensi. Kita lihat bagaimana keduanya bermain dalam membentuk satu pola hubungan yang tidak rapi dan linear, dan juga tidak mudah ditebak arah perkembangan dan kemajuannya.

Kekuasaan militer mencerminkan ekspansi imperialisme. Sementara ilmu pengetahuan mencerminkan pencerahan, peradaban dan modernitas. Namun hubungan di antara keduanya tidaklah selalu kontradiktif, overlapping dan tumpang tindih. Bahkan bisa dikatakan saling mengisi ”kekurangan masing-masing”. Masa Pencerahan, yang diawali dengan era Renaissance, era kebangktian, adalah era penghargaan harkat dan martabat kemanusiaan, kebebasan, keadilan, dan kemajuan. 

Dari sinilah modernitas Barat berakar. Namun bentuk lain dari modernitas muncul, yang justru lebih gelap dan bertentangan dengan ide-ide pencerahan itu sendiri. Seperti penggunaan teror, keragu-raguan dalam penghapusan sistem perbudakan dan juga terutama pembenaran penguasaan atas tanah jajahan. Kalau fondasi modernitas era Pencerahan adalah hak-hak manusia dan warga negara, maka dalam era modernitas imperialisme ini, yang muncul di abad 19 ini, fondasinya adalah sejumlah paham, konsep dan teori ilmiah seperti ide tentang “Eropa”, “Timur” dan konsep “Peradaban” (Civilization).

Gagasan tentang Eropa, yang lahir di era Pencerahan, membuka kesadaran diri orang-orang Eropa tentang posisi dan tempatnya di dunia. Yakni sebagai puncak peradaban dunia, dan, seperti diungkap dalam Encyclopaedia-nya Diderot, Barat “berkewajiban mengemban misi memperadabkan umat manusia”. Dari sini muncul gagasan tentang Timur yang terbelakang, savage, dibandingkan Eropa yang maju. Sebutan peradaban pun menjadi icon dari kemajuan Barat. Dengan modal seperti ini, Napoleon membenarkan dirinya datang ke Mesir, dengan dua senjata sekaligus, kekuatan militer dan ilmu penegtahuan.

Kontradiksi dan ambivalensi ini kemudian melahirkan respon yang juga ambigu dan kontradiktif. Seperti terungkap dalam proyek Nahdlah (Kebangkitan) sebagai translasi atas Renaissance di Eropa. Orang-orang Arab ingin bangkit dari tidur lamanya, dan dengan proyek itu ingin maju. Dan model kemajuan itu adalah Barat. Namun, tampak sesuatu yang berbeda. Dan yang berbeda ini menandai respon yang ambigu terhadap Barat. Nahdlah dalam kesadaran orang-orang Arab abad 19 dan awal abad 20 tidak sekedar berarti bangkit tetapi juga mengandung makna “maju dan bersatu” (taqaddum wa-l ittihad) – sesuatu yang tidak dikenal dalam Renaissance Eropa. 

Jadi kandungan ideologisnya “menggelembung”. Nahdlah berpretensi untuk mencakup segenap tahapan modernitas Barat, berawal dari Renaissance hingga masa Pencerahan. Padahal, relasi waktu antara keduanya tidaklah paralel, antara Eropa dan dunia Arab kala itu. Ketika Napoleon mendarat di Mesir, Eropa waktu itu sudah melampaui era Renaissance, dan baru saja melewati era Pencerahan, termasuk era Revolusi Perancis. Eropa kala itu memasuki era baru dimulai dengan munculnya paham baru tentang ”kemodernan” dimana kapital dan negara memainkan peran dominan, dan juga koloni, tanah jajahan. 

Sementara Nahdlah “baru” memasuki tahap “sadar” – sekali lagi, karena citra-diri itu -- akan pentingnya arti bangkit dan maju, sehingga mereka harus merangkum tahap-tahapan yang dilalui Eropa dari Renaissance, Pencerahan hingga era kemodernan. Dari sini kemudian bisa ditelusuri beban makna yang harus dimuat kata Nahdlah, jika dibandingkan dengan pengertian yang dikandung kata Renaissance. Di Eropa Renaissance berarti kelahiran kembali atau suatu permulaan baru seperti halnya bayi yang baru lahir (rebirth, fresh beginning). Jadi, Renaissance adalah gerakan kultural pada sekitar abad 14 hingga 16 yang berupaya membangkitkan kembali tradisi Yunani dan Romawi, dari filsafat, ilmu, seni dan hingga sastra. Bukan cuma bangkit dan membangkitkan tradisi seperti itu, tetapi juga bagaimana melanjutkan semangat menghargai kembali akal pikiran dan intuisi, serta untuk membebaskan diri dari kungkungan otoritas gereja.

Lalu, apa arti Nahdlah, yang ketika itu dipakai untuk menerjemahkan istilah Renaissance? Nahdlah, biasanya dipakai pada abad 18 sebagai imbangan untuk kata saqatha atau suquth, berarti kemunduran atau kejatuhan, atau inhithath yang berarti keterbelakangan atau kemunduran. Dalam kamus Arab modern, seperti Munjid (terbit pertama kali pada 1908), sampai kamus-kamus kontemporer, Nahdlah berasal dari akar kata “nahdl”, berarti “berdiri dan bangkit dari tempat duduknya”. 

Maknanya ini tidak jauh berbeda dari pengertian yang dikemukakan Ibn Manzhur dalam karya klasiknya, Lisan al-Arab, yang juga berarti bergerak dan maju menghadang musuh. Sementara dalam kamus modern Eropa, lebih banyak memaknainya secara literal sebagai “kelahiran kembali”, lalu menunjuk kepada gerakan kebudayaan tertentu di Eropa abad 15 dan 16. Dengan kata lain, ada jarak yang sangat lebar, antara pengertian Renaissance dalam kamus-kamus bahasa Eropa dan pengertian kembarannya, Nahdlah, dalam kamus-kamus modern Arab. Dalam bahasa Arab pengertian ini dipakai kata ba’ts, inbi’ats atau tajdid.

Dengan demikian, pengertian pertama merujuk kepada arti kelahiran kembali, yakni kelahiran kembali Eropa dari masa lalunya yang gelap dengan kembali kepada warisan kultural Yunani-Romawi; sedangkan yang terakhir merujuk kepada kehendak untuk berdiri, bangkit dan bergerak. Mengapa pengertian pertama ini tidak masuk dalam perhitungan pengertian kedua, padahal semuanya serba mungkin? Mengapa Nahdlah, bukan misalnya tajdid atau ba’ts yang lebih dekat dengan pengertian Renaissance? 

Tampaknya, dalam penelitian Abed al-Jabiri, kondisi kolonial saat itulah yang menghendaki demikian. Di satu pihak pengertian Renaissance seperti dalam kamus-kamus bahasa modern Eropa lebih dipengaruhi pandangan kontemporer saat itu, yakni pandangan modernitas pasca Pencerahan. Artinya, periode inilah yang menulis sejarah Renaissance sebagai tahap untuk melewati era kegelapan, dan sebagai tahap yang memberi jalan masuknya Eropa ke era Pencerahan dan era kemodernan. Maka, Renaissance merupakan wajah baru Eropa setelah terlahir kembali dari era kegelapan dimana gereja mendominasi. 

Sementara, Nahdlah, pada pihak lain, lebih digerakkan, bukan karena kandungan maknanya yang penuh dengan pergolakan historis menuju kepada sesuatu yang baru, tetapi justru karena keinginan untuk bangkit, berdiri, dan manantang musuh – sesuatu yang dipahami orang Arab dari kata Nahdlah sejak masa klasik. Dengan kata lain, kalau pada Renaissance, sesuatu yang baru dilahirkan kembali; maka, pada Nahdlah, sesuatu yang lama dibangkitan lagi karena desakan luar. Dan desakan luar inilah yang lebih memperpadat makna Nahdlah. Ia berarti bukan karena unsur dari dalam dirinya, tetapi karena sebuah pertemuan dengan kolonialisme (colonial encounter), sehingga pengertian yang lama itu dimunculkan kembali. Singkatnya, colonial encounter itu mendesaknya untuk tidak menjadi baru, untuk tidak perlu lahir kembali; tetapi cukup mengusung yang lama menjadi sesuatu yang bermakna. Dan yang lama itu kini menjadi problematik ketika ia merujuk kepada “masa lalu yang dirawat sebaik-baiknya”.

Di sinilah kecenderungan etnologi bertemu dengan kecenderungan kembali ke masa lalu. Kecenderungan Romantisisme pasca Pencerahan bertemu dengan kehendak kembali ke akar-akar kultural yang dianggap khas dan unik. Seperti ditunjukkan dari karya etnografis Edward William Lane Account of Manners and Customs of the Modern Egyptians hingga karya-karya C. Snouck Hurgronje tentang Mekah dan Aceh. Namun, sekali lagi, masa lalu menunjukkan kecenderungan masa itu yang melihat “masa lalu penuh heroisme” serta “wajah mencerahkan dalam tradisi”. Namun di satu sisi ada kehendak untuk kembali ke masa lalu. 

Yakni untuk melihat masa lalu yang mirip dengan masa lalu Eropa. Sesuatu yang eksotik. Sesuatu yang lain, yang ada dalam masa lalu Eropa. Desa, komunitas suku, petani, adat-istiadat. Namun di sisi lain, kadang pula kebutuhan terhadap masa lalu juga mengkondisikan adanya keaslian, keotentikan dan orisinalitas, seperti ditunjukkan dalam keberadaan teks-teks kuno. Namun demikian, semuanya tetap menguntungkan, yakni mengkondisikan Nahdlah sebagai proyek yang merawat masa lalu dengan sebaik-baiknya. Al-Jabiri menyebutnya “pragmatisme tradisi(onal)”. Tetapi saya menyebutnya “respon ambigu atas sikap ambigu Orientalis (kolonial)”. Itu ditunjukkan Abed al-Jabiri pada diri Jamaluddin al-Afghani. 
Dalam majalah al-Urwah al-Wutsqa yang dikelola Jamal al-Din al-Afghani bersama Muhammad Abduh, terbit pada 1884 di Paris, ada satu tulisan dengan judul “Masa Lalu dan dan Masa Kini Umat dan Mekanisme Penyembuhan Penyakitnya” (Madli al-Ummah wa Hadliruha wa ‘Ilaj ‘Ilaliha). 

Tulisan ini, sebetulnya merupakan buah pikiran al-Afghani, namun ditulis melalui tangan Muhammad Abduh, memuat strategi tertentu bagi sebuah Nahdlah. Tulisan ini diawali dengan analisis tentang sebab-sebab kemunduran umat Islam dan bangsa Arab setelah sebelumnya mereka terangkat berkat agama Islam. Dan tulisan seperti ini mempelopori tulisan-tulisan berikut dengan tema serupa, seperti yang ditulis Amir Syakib Arselan dari Turki dan Hassan an-Nadwi dari India. 

Bangsa Arab menurut tulisan ini pernah mengalami masa kejayaan setelah nama Arab sempat terkubur dalam sejarah. Berkat agama Islam mereka bagaikan ruh yang menentukan dan menggerakkan dunia ini, yang merupakan raga yang bekerja baginya. Kemudian mengalami kemunduran, perpecahan, tercerai-berai, sehingga menjadi obyek eksploitasi bangsa lain. Dan kini mereka sekarat menuju pintu kematian. Lalu, tulisan ini menawarkan obat mujarab untuk situasi tersebut – sesuai dengan kondisi tubuh yang sekarat itu. Ada sejumlah tawaran obat yang diajukan, namun semuanya ditolak karena dianggapnya berasal dari Barat atau mengikuti model penyelesaian dan penyembuhan ala Barat.

“Sebagian orang mengira penyakit suatu bangsa bisa disembuhkan dengan menyebar majalah dan koran, dengan meningkatkan melek huruf. Sehingga kebangkitan bangsa bisa terjamin, mencerahkan pemikiran dan meluruskan moral dan etika.” Ini jelas dan tegas ditolak. Soalnya, para pembaca koran sangat sedikit, karena masyarakat masih banyak yang buta huruf. Sedangkan yang bisa membaca, paling hanya segelintir yang bisa memahami betul isinya. Sementara kebanyakan lainnya memahaminya keliru. 

Ini bisa membawa pengaruh buruk. Ini mirip memberi obat kepada seseorang yang tidak cocok dengan kondisi penyakitnya, sehingga bisa membawa malapetaka, dan penyakitnya tidak akan sembuh sempurna. Lalu, ada opsi lain, berkaitan dengan tawaran obat ini. Yaitu, dengan membangun sekolah-sekolah umum atau sekolah-sekolah rakyat, serentak di segenap wilayah negeri. Tentu sesuai dengan model baru ala Eropa. Di sini semua orang mampu menyerap segenap ilmu pengetahuan dalam waktu singkat. Dan, kalau suatu pengetahuan bisa merata di segenap lapisan masyarakat, maka “moral bangsa pun kian sempurna, persatuan pun bisa ditegakkan, dan kekuatan bangsa pun bisa dikonsolidasikan”.

Namun, kata al-Afghani, pikiran ini keliru besar. Membangun sekolah secara massif di segenap wilayah negeri, hanya bisa dilakukan oleh penguasa berdaulat, kokoh, tangguh, serta, punya kekayaan melimpah yang bisa memenuhi kebutuhan proyek besar itu. Namun, masalahnya, kata al-Afghani, kondisi bangsa ini sangat lemah, lagi pula miskin. “Apakah mungkin situasi seperti ini melahirkan penguasa yang berkuasa penuh dan juga kekayaan yang melimpah ruah”. Yang jelas, lanjut al-Afghani, proyek seperti ini bisa saja dilakukan tetapi sifatnya gradual dan bertahap. 

Sementara yang dibutuhkan kini adalah kerja-kerja cepat, kerja mobilisasi, untuk kepentingan bangkit, bergerak dan menantang musuh -- sesuai dengan tuntutan Nahdlah. Selain itu, al-Afghani juga mengkritik model sekolah-sekolah modern bergaya Eropa ini. Katanya, ilmu pengetahuan Barat terlalu jauh dari alam pikiran umat Islam. Katanya, pendidikan seperti itu tak kenal bagaimana caranya menanam biji dan merawatnya dengan baik hingga bisa tumbuh sempurna, dan menghasilkan buah yang bisa dinikmati bersama. 

Tujuannya pun tidak mungkin bisa dipastikan sejak awal. Para pelaku transmisi pengetahuan Barat ini, menimba ilmunya dari bangsa yang kuat, ke dalam umat yang masih lemah. Mereka ibaratnya membawa penyakit, dan bukan “vitamin”, ke dalam “tubuh” umatnya sendiri. Orang-orang Turki Usmani dan Mesir sudah membangun sebanyak mungkin sekolah dan mengirim sejumlah orang belajar ke luar negeri, untuk membawa pulang ilmu-ilmu sastra, sains, dan teknologi, serta segala yang berbau peradaban. 

“Lalu, apa hasilnya?” tanya al-Afghani. Pengalaman menunjukkan, para penjiplak dan peniru “sunnah” (kebiasaan dan model) bangsa lain hanyalah antek-antek musuh. Mereka membuka peluang kecurigaan, fitnah, pengkhianatan, dan bakal menimpakan nasib buruk bagi umat dan bangsa mereka sendiri. “Para muqallid dan peniru Barat ini cuma penjaga garis depan para tentara penjajah”, simpul al-Afghani tentang resep yang menurutnya mencelakakan masa depan umat Islam itu.

Terus apa resep yang manjur yang bisa membangkitkan “ruh” umat itu? Menurut al-Afghani, sebab utama kelemahan dan penyakit yang diderita umat ini adalah penyimpangannya dari ajaran-ajaran pokok agamanya. Mereka pernah berjaya dengan ajaran itu di masa lalu, dan sempat berkuasa terhadap bangsa-bangsa lainnya. “Obatnya yang paling manjur adalah kembali kepada dasar-dasar agama mereka, berpegang teguh kepada segenap hukum-hukumnya sesuai dengan apa yang pernah dulu diamalkan dengan kukuh oleh umat Islam di masa-masa awal perkembangannya,” tegasnya. 

Kembali kepada dasar-dasar agama berarti, “membimbing kalangan awam dengan berbagai nasehat yang cukup, seperti bagaimana mengajarkan mereka untuk mensucikan hati mereka, bagaimana mendidik akhlak dan moral mereka, membangkitkan api “ghirah” dalam hati mereka, serta membangun kekuatan untuk bersatu padu demi kemuliaan umat”. Selain itu, lanjut al-Afghani, “karena benih-benih agama itu sudah mengakar kuat dalam hati sanubari umat yang mereka warisi dalam rentang waktu yang panjang ini, maka yang bisa dilakukan oleh para pembaru umat ini (al-qa’im bi ihya al-ummah) adalah melepas satu hembusan yang akan mengaliri para spirit umat ini dalam waktu singkat”. 

Dan tulisan ini diakhiri dengan penegasan berikut: “Siapapun yang mencari jalan membangkitkan umat ini selain yang saya usulkan di atas, maka jelas ia telah melakukan suatu kekeliruan, menjungkir-balikkan yang akhir menjadi yang awal, pendidikan umat jadi berantakan, dan menyalahi kodrat alam, di antara maksud dan tujuan tidak jelas tempat, serta umat hanya akan bertambah rugi dan sesat”.

Apa yang bisa diperoleh dari pernyataan al-Afghani yang meledak-ledak ini? Dari segi retorika, tulisan ini tampak lebih sebagaimana halnya pidato sang orator. Yang dituju bukanlah nalar tetapi perasaan. Perasaan keterdesakan untuk segera bangkit, seminimal apapun modal yang dipunyai. Biasanya tulisan seperti ini lebih menembus masuk ke dalam hati yang inferior, yang menunggu respon singkat, lugas, mudah dimengerti dan menggetarkan jiwa. Bahasa pendidikan, proyek sekolah, atau transmisi pengetahuan Barat terlalu berat, terlalu rasional (artinya “ke-Barat-barat-an”), dan tidak akan tepat mengenai sasaran dalam ruang hati yang gelisah dan menuntut ketenangan dalam waktu sesingkat mungkin. Dengan demikian, semangat tulisan al-Afghani ini sangat jelas: pragmatis, menuntut sesuatu dengan hasil sesegera mungkin. 

Dan, Nahdlah dalam konteks ini adalah bangkit menantang bahaya penjajahan bangsa Eropa. Karena bahaya ini sudah ada di depan pelupuk mata, maka waktu sudah tidak bisa berkompromi lagi. Tidak bisa lagi ditunda-tunda. Tidak ada satu pun sarana atau instrumen yang efektif, mudah dan segera, kecuali dengan memanfaatkan, mengerahkan, memobilisasi, meng-“apropriasi” “modal yang sudah tersedia sebetulnya”, yang ada dalam hati, jiwa, kalbu. Dan itu adalah agama. Maksudnya pun jelas: untuk dikerahkan dalam mobilisasi melawan penjajah.

Secara keseluruhan, wacana yang dikembangkan al-Afghani dalam tulisan ini adalah wacana yang penuh polemik. Ada 3 (tiga) unsur dalam wacana tersebut: pertama, menolak dasar-dasar modernitas Barat; kedua, menuduh orang-orang yang mengadopsi modernitas Barat itu sebagai orang lalai, pentaqlid buta, dan bahkan sebagai pengkhianat dan antek Barat; ketiga, sebagai alternatifnya, yang dibutuhkan adalah menyerukan umat Islam untuk kembali kepada agama Islam sebagaimana yang diamalkan di masa awal, masa Nabi dan khalifah penggantinya. Wacana al-Afghani ini bukan hanya wacana politik biasa, yang biasa dilontarkan para orator politik yang jenius.

Tetapi, lebih dari itu, ini adalah sebuah wacana yang menyeru kepada kebangkitan, yang sifatnya diagnosis, seperti halnya bahasa seorang dokter. Pertama, ini adalah wacana Nahdlah, seperti dikemukakan di atas. Ia berarti bukan sebagai kelahiran kembali, untuk menjadi baru, sebagai sebuah fresh beginning. Ia hanya berarti bangkit, bergerak, menantang dan menghadang musuh. Soalnya, kolonialisme menampilkan dirinya ambigu, yang kemudian melahirkan respon yang juga ambigu, complicated. Ibaratnya seperti orang yang berbicara samar-samar kemudian dijawab oleh lawan bicaranya dengan jawaban yang juga samar-samar, bahkan berbeda jauh dari makna pertama (yang tunggal) yang mau diungkap pembicara awal. Kedua, wacana al-Afghani adalah wacana diagnosis. Ibarat seorang dokter yang meneliti pada seorang pasien sebab-sebab suatu penyakit serta menawarkan obat mujarab untuk penyembuhannya. 

Masalahnya, dalam wacana semacam ini, yang selalu muncul dalam kesadaran adalah situasi “serba sakit”. Yakni, kenyataan kemunduran berhadapan dengan orang-orang yang datang ke “kita” mengkampanyekan kemajuan dan peradaban. Dalam konteks penghadapan atau head-to-head yang tidak seimbang ini, pertanyaan yang sering muncul, mengapa kita terbelakang, sementara Barat maju dan beradab? Dan, bisa diduga, yang mencuat adalah keterdesakan mencari jawaban, menemukan ketenangan. 


Saking terdesaknya, malah ada kesan, dalam wacana diagnosis ini, jawaban mendahului pertanyaan! Dan, terakhir, sebagai konsekuensinya, al-Afghani membawa politik ke dalam agama. Artinya, wacana politik ter-“transendensialisasi” menjadi “wacana agama”. Dalam bahasa kini, “Islamisasi politik”. Artinya, politik sudah ada di kepala, tinggal bagaimana menggerakkannya menjadi kekuatan efektif untuk mobilisasi dengan menggunakan Islam sebagai motor penggerak emosi. Poin ini yang paling krusial dalam wacana diagnosis Nahdlah orang-orang Arab.

al-Afghani menghadapi kenyataan pahit berikut: kemunduran umat Islam di satu pihak, dan kejayaan peradaban Barat di pihak lain. Proyek politik Nahdlah mendesak untuk bangkit dan lari dari situasi keterbelakangan dan kemunduran itu. Sementara modal satu-satunya hanyalah Islam, sebuah “kapital kultural” – meminjam istilah Bourdieu. Sedangkan kolonialisme di pihak lain memperkenalkan Barat sebagai peradaban yang dibangun atas dasar nilai-nilai Kristiani, namun melalui kekuatan senjata, dominasi negara dan ekspansi ekonomi. Maka, perlawanan terhadap Barat – dalam pandangannya – hanya mungkin dicapai melalui agama Islam. 

Dan umat Islam dikerahkan untuk kembali kepada agamanya. Namun agama yang dipahami al-Afghani adalah agama yang dianggap potensial melawan penjajahan dominasi Barat tetapi sekaligus mengambil inspirasi darinya. Dan bukan agama sebagaimana yang dikenal dan dialami oleh umat Islam, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Jangan harap Anda akan bertentangan atau berselisih pendapat dengan al-Afghani. Karena Anda akan dianggap bukan hanya sebagai musuh politik, tetapi juga sebagai musuh agama, penentang Islam. Jadi, Islam-nya al-Afghani adalah “Islam produk colonial encounter”. Dan diagnosisnya di atas masih dibingkai dalam kerangka ambivalensi kolonialisme. Dan itulah politisasi agama yang diusung al-Afghani.

Maka, setelah al-Afghani, muncul muridnya, Muhammad Abduh, yang berusaha lepas dari politisasi itu. Semangat Islam dan pembaruan, sesuai dengan tuntutan kemajuan saat itu, tetap dipertahankan. Namun, yang problematik, bagaimana mencapainya? Abduh tidak ingin menempuh jalur yang dilalui gurunya, jalur politik. Dalam arti memobilisasi Islam untuk kepentingan menghadapi kolonialisme, untuk suatu kepentingan dimana setiap saat dan setiap hari terjadi gejolak dan pergolakan. Inilah siyasah. “Saya berlindung kepada Allah dari siyasah, dari kata siyasah, dari setiap huruf yang ada kata siyasah, dari setiap pikiran dan bayangan tentang siyasah, dari setiap jengkal bumi yang disebut kata siyasah, dari setiap orang yang menyebut, berbicara, mengajarkan dan memikirkan siyasah”. 

Dan, dengan na’udzubillah min siyasah itu, Abduh menyatakan kekeliruan al-Afghani yang terperosok ke dalam lembah siyasah itu, sehingga membuat umat Islam terpecah-belah, dan juga karena mengabaikan tarbiyah (pendidikan). Padahal, menurut Abduh, “tarbiyah adalah segalanya, dan merupakan fondasi segalanya pula”. Dan, memang, Abduh dikenal sebagai pendukung pendidikan umat, tentang pentingnya pencerdasan kaum Muslim. Abduh pula yang dikenal dengan jabatannya sebagai Syaikh Al-Azhar, posisi tertinggi di kampus tertua di Mesir itu, yang menekankan perlunya sekolah sebanyak-banyaknya supaya umat bisa berijtihad, tidak tersesat, serta bagaimana mereka meninggalkan bid’ah dan khurafat.

Tetapi, masalahnya kemudian, orientasi kepada tarbiyah dan sekolah adalah sesuatu yang dicibir oleh al-Afghani. Hasilnya lambat, dan tidak cukup relevan menjadi sarana mobilisasi. Dalam kondisi kolonial, bagi al-Afghani, yang dibutuhkan adalah perlawanan secara terus-menerus, dan juga retorika yang meledak-ledak. Tidak seperti sekolah yang dingin dan lamban. Namun demikian, Abduh punya logikanya sendiri: keberhasilan pendidikan hanya mungkin dengan menjiplak, dengan meniru kemajuan Barat. 

Dan dari situ diharapkan kemajuan Islam. Logikanya, memang, sederhana. tetapi Abduh sangat serius dalam langkahnya untuk mewujudkan ambisi tarbiyah-nya itu. Kalau al-Afghani bekerja di luar sistem sebatas menggedor pintu kolonialisme, maka Abduh di dalam sistem, masuk ke dalam rumah kolonialisme. Ia berkolaborasi dengan pemerintah Inggris di Mesir untuk membantu mewujudkan cita-citanya. Seperti ditunjukkan oleh Cooper dan Ann Stoler, kolonialisme dimanapun selalu ditandai dengan kolaborasi antara penjajah dan yang dijajah, antara pusat dan koloni. Dan, lebih dari itu, kesuksesan kolonialisme tergantung pada kerja-kerja refomasi atau pembaruan; demikian pula, kerja-kerja reformasi Abduh tergantung pada kolonialisme. Tetapi, pembaruan itu hanya sebatas dalam ruang privat. Sementara ruang publik diserahkan kepada dominasi pemerintahan kolonial.

Menurut Abduh, pengusiran kolonialisme dan pencapaian kemerdekaan bagi bangsa Mesir tidak akan mungkin tercapai “tanpa upaya pencerdasan dan pencerahan masyarakat, untuk membuatnya paham akan hak-hak dan kewajibannya, serta memunculkan rasa marah atas segenap upaya pelanggaran terhadap hak-hak mereka dan semangat tinggi untuk menjalankan kewajibannya. Dan Mesir belum mencapai taraf seperti itu. Instrumen untuk memperbaikinya adalah pengajaran, pendidikan”. 

Lalu bagaimana dengan masalah kolonialisme Inggris di Mesir? “Solusinya bukan dengan memperhadapkan Inggris dengan rakyat Mesir dalam satu konfrontasi; tetapi melalui kenyataan internasional dimana negara-negara maju sepakat bahwa kepentingan mereka terpenuhi dalam kemerdekaan Mesir. Namun, sebelum itu terjadi, para pemimpin bangsa berkewajiban mencerdaskan dan mencerahkan rakyatnya dengan pendidikan dan tidak menghabiskan segenap waktunya pada politik (siyasah)”. 

Dengan demikian, proyek pembaruan Abduh ditujukan dalam ruang privat, wilayah yang dianggap tidak mengganggu kepentingan kolonial, dan bukan dalam ruang publik dimana kolonialisme dominan. Target Abduh pun jelas: posisi qadha (pengadilan agama), urusan waqaf dan kampus Al-Azhar sebagai sasaran refomasinya.

Dengan kata lain, agama pada diri Abduh diseret ke wilayah privat, setelah sebelumnya di masa Al-Afghani, agama masuk ke wilayah publik, sehingga menjadi revolusioner. Artinya, kalau al-Afghani ber-siyasah di ruang publik, maka Abduh pun sebetulnya juga ber-siyasah ke ruang privat atas nama tarbiyah. Cuma siyasah-nya Abduh berbeda dengan Al-Afghani. Kalau pada yang terakhir ini siyasah berarti konfrontasi dengan kolonialisme dan melawan kuasa Inggris; pada Abduh, siyasah itu berarti “meminjam” atau ber-share dengan kuasa Inggris dengan jalan kolaborasi dengan kolonialisme untuk mendukung proyek pencerahan masyarakat. Pada al-Afghani, yang problematik adalah ruang publik dimana kolonialisme bercokol; sementara pada Abduh, yang problematik adalah ruang privat dimana yang bercokol dalam agama adalah kepercayaan-kepercayaan bid’ah, takhayul dan khurafat yang menghambat pembaruan Islam dan membuat umat Islam mundur ke belakang. Lebih jauh lagi, sebagai implikasinya, kalau al-Afghani melakukan Islamisasi politik, maka Abduh justru berbuat “politisasi Islam” (tauzhif al-siyasah min ajl al-din). 

Yakni menggunakan (meminjam, ber-share, berbagi, atau memanfaatkan) kuasa kolonial untuk mendukung kepentingan “ishlah”(reformasi)-nya, kepentingan Islam yang diperbaharui. Maka kita pun mengamati kedekatan Abduh dengan Lord Cromer, penguasa Inggris di Mesir, hingga yang terakhir ini menganggapnya sebagai “the natural allies of the European reformer” (sekutu pembaru Eropa). Dalam imajinasinya tentang Lord Cromer inilah Abduh pernah menyatakan satu pernyataan kontroversial berikut: “Innama yunhadl bi-l syarq mustabid ‘ādil” (Timur hanya akan bisa bangkit berkat kekuasaan despot yang adil), karena despot yang adil ini yang “bisa berbuat sesuatu untuk kita selama 15 tahun, yang tidak bisa kita lakukan buat kepentingan kita sendiri selama 15 abad”!

Ini adalah suatu wacana yang tidak lagi jelas batas-batasnya, suatu paradoks atau kerancuan mungkin, antara keadilan, pembaruan, kemurnian, dan yang berupa otoritarianisme dan despotisme. Apa yang membuat otoritarianisme begitu mudah meluncur menjadi bagian dari wacana kemurnian Islam? Apakah itu dipelajari dari kolonialisme? Mungkin, karena otoritarianisme itu membuat segalanya efektif, karena punya syaukah atau kekuatan militeristik dan polisional. Kolonialisme, dengan demikian, mengakarkan dirinya melalui imajinasi kalangan pribumi tentang pemerintahan yang kuat dan efektif – sebuah bentuk pemerintahan yang bisa memuluskan jalan agenda-agenda pembaruan dan reformasi Islam. Kendati negara kolonial itu tidak beragama Islam. Yang penting bisa melakukan ishlah atau reformasi tercapai. Bukan hanya Abduh, bahkan tokoh reformis Islam sekaliber Fazlur Rahman pun membenarkan “stabler and stronger government”, “strong men”, dan itu menurutnya “tidaklah berbahaya atau merusak dari sudut pandang Islam”.

Lalu, apa instrumen yang powerful itu, kalau bukan hukum dan polisi? Inilah yang dibayangkan Abduh kalau seandainya agenda-agenda pendidikan dan reformasi Islam mengalami kebuntuan atau kegagalan. Maka di situlah dalam pikiran Abduh pentingnya pengawasan polisi atau yang disebutnya “al-kabsah”. Pengawasan polisi yang dikenal Abduh hingga kini masih dikenal di sudut-sudut kota Kairo. Pada malam hari, kita menyaksikan sejumlah petugas berseragam hitam berjaga-jaga di setiap sudut kota, hingga ke sudut-sudut yang paling gelap sekalipun. Petugas ini, seperti diakui Abduh sendiri, biasanya mengawasi para muda-mudi yang berkeliaran tengah malam di lorong-lorong atau gang-gang kota yang gelap dan remang-remang. 

Kalau sampai ketahuan berbuat mesum, mereka segera diciduk. Abduh pun membayangkan bagaimana kabsah atau pengawasan polisi ini juga berlaku dalam konteks dimana pendidikan dan pembaruan keyakinan dan kepercayaan agama belum mencapai taraf maksimal. “Meski membawa kerugian pada diri, harta dan tidak enak dipandang, pengawasan dan kontrol polisi tetap diperlukan, bahkan lebih baik dan afdol, kalau dilakukan dengan niat dan maksud yang baik. Pengawasan ini tetap berlaku hingga suatu saat nanti dimana pendidikan atau tarbiyah sudah mulai maju dan membawa efek yang membuat masing-masing individu mengontrol sendiri dirinya (self-control), maka pengawasan dan kontrol itu dengan sendirinya bisa dicabut”. Memang mengerikan, tetapi oleh Abduh dianggap wajar.

Pasca pembubaran Kesultanan Turki Usmani, pemerintah kolonial, yang sudah memantapkan posisinya di awal abad 20, memungkinkan cara-cara pemerintahan khalifah menjadi eksplisit dalam imajinasi kalangan umat Islam, setelah sebelumnya terpendam dan tidak jelas arahnya. Misalnya di India, imajinasi tentang Inggris sebagai the Raj membangkitkan hasrat pribumi tentang copy-nya dalam Kerajaan Mogul, sebagaimana kalangan nasionalis di Indonesia membayangkan Belanda “hadir” secara efektif pada diri Kerajaan Majapahit atau Mataram (yang kita kenal ekspansinya ke Nusantara). 

Seperti halnya kalangan gerakan Islam membayangkan Belanda “hadir” dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Atau, bisa juga sebaliknya, tergantung permainan imajinasi, Khalifah Utsmani, Mogul, Majapahit, Mataram, dan Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, “hadir” dalam diri kolonialisme Inggris atau Belanda. Kolonialisme membangkitkan hasrat-hasrat para elit gerakan Islam untuk kembali kepada memori tentang dinasti, despotisme atau mustabid adil, dalam bahasa Khalifah, Raja (Raj), Sultan, atau Yang Mulia Gubernur Jenderal. Inilah yang akan dibahas dalam bab berikutnya tentang penemuan “kuasa”-kolonial dalam “tubuh” Islam dan Jawa, dimana kekuasaan kolonial mengakarkan dirinya dalam budaya, dalam sekian invensi tradisi, yang membuatnya familiar dan menjadi bagian dari kultur pribumi (native) itu sendiri.
More aboutIslam Pasca Kolonial