SPP Berganti Nama?

Diposting oleh Sulatri on Kamis, 10 Maret 2011

Hal ini sudah lama menjadi pertanyaan dikalangan orang tua murid sekolah dan kalangan pemerhati pendidikan Kota Solo. “Kenapa tidak ada tarikan SPP untuk tingkat SD-SMP di Kota Solo justru pungutan diluar nama SPP justru akumulasi jumlahnya lebih besar dibanding dengan jumlah SPP tiap bulannya. Apa SPP itu sudah berganti nama yang penting bisa memungut dana dari siswa”, ungkap seorang Ibu, orang tua siswa salah satu SMP di Solo yang tidak mau disebut namanya.

Saat ini dilapangan banyak tarikan entah itu tarikan dengan nama uang gedung, Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), Sumbangan Pengembangan Sekolah (SPS) dan pungutan yang lain.
Menanggapi keresahan masyarakat tersebut Walikota Solo, Ir Joko Widodo pernah mengeluarkan surat edaran pada tahun 2010 yang berisi diharuskannya penggratisan segala macam biaya bagi siswa yang benar-benar dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini berlaku bagi seluruh sekolah negeri dan swasta dari setiap jenjang.

Bagi siswa yang menginginkan keringanan juga harus dipenuhi oleh sekolah. Namun dalam prakteknya juga tidak dapat sembarangan. Siswa yang dimaksud diharap mencari salah satu bukti miskin. Antara lain Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS) dengan kartu gold atau kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Selain sekolah dapat melakukan kunjungan ke rumah siswa, dengan menunjukkan kartu tersebut, sekolah wajib menggratiskan segala biaya bagi siswa tersebut.

Tentu saja banyak masyarakat yang kurang mampu yang belum bisa tertampung dalam program tersebut secara keseluruhan. Hal ini mungkin terkait informasi yang dimiliki orang tua masih minim dan waktu untuk mengurus prosedur yang sangat mepet sehingga banyak orang tua yang tidak bisa mengakses fasilitas tersebut. Mau tidak mau orang tua tetap berusaha membayar berbagai pungutan yang diwajibkan sekolah meskipun dengan jalan hutang pihak lain daripada tidak segera membayar nanti justru akan berdampak pada anaknya yang masih sekolah sehingga studynya akan terganggu.

Ternyata iklan gratis tentang pendidikan sembilan tahun yang pernah diiklankan beberapa waktu di media elektronik ketika kita cek dilapangan belum bisa terealisasi dengan baik didaerh-daerah. Sebenarnya dengan terbitnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan setiap warga Negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuiti pendidikan dasar Sumbangan Pelayanan Pendidikan (SPP), maka konsekuensinya pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTS serta satuan pendidikan yang sederajat. Akan tetapi banyak realita dilapangan bahwa pemerintah belum sanggup untuk memberikan pelayanan yang baik untuk mengatasi berbagai persoalan terkait dengan biaya pendidikan yang masih dianggap sangat tinggi bagi kebanyakan masyarakat kita.

Sebenarnya dengan adanya dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS) yang dimaksudkan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan bagi siswa lain maka permasalahan mengenai permasalahan biaya pendidikan diharapkan bisa sedikit teratasi. Dengan BOS diharapkan siswa dapat memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar Sembilan tahun. Sasaran program BOS adalah semua sekolah setingkat SD dan SMP, baik negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia.

Dalam penggunaan BOS sendiri sebenarnya sudah ada pedoman mana yang boleh dibiayai dan mana yang tidak boleh dibiayai oleh BOS. Ketika Pattiro Surakarta mencoba memulai riset tentang advokasi dana BOS banyak responden dari orang tua siswa yang tidak tahu mengenai dana BOS. Apalagi sampai bisa berpartisipasi aktif di tempat anaknya sekolah untuk bisa mengkritisi penggunaan dana BOS dan kebijakan sekolah yang lainnya. Kebanyakan orang tua siswa masih bersikap pasif terhadap berbagai pungutan yang dibebankan kepada siswa meskipun dalam diri mereka juga sangat keberatan.

Biasanya orang tua yang aktif mengkritisi tranparansi dana pendidikan hanya yang tergabung dalam komite sekolah itupun tidak menjamin orang yang tergabung dalam komite sekolah aktif mengkritisi kebijakan-kebijakan sekolah. Dan juga orang tua siswa yang biasa aktif mengkritisi kebijakan public di Kota Solo misalnya aktif di LSM atau masyarakat yang aktif di forum Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS). Untuk itu maka perlu sekali pelatihan-pelatihan untuk masyarakat khususnya orang tua siswa yang tidak mampu agar bisa aktif berpartisipasi dalam berbagai kebijakan di tingkat sekolah.

Oleh: Sulatri

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?