Menasionalismekan “ber-Agama”

Diposting oleh admin on Selasa, 12 Juni 2012

Oleh. Anas Maulana

Prolog
Di awal tulisan ini, penulis ingin sedikit berpendapat tentang ketidaksukaan penulis terhadap sekelompok orang yang mengaku ‘wakil islam’dalam setiap pembenaran perbuatan mereka yang sama sekali tidak terpuji, seperti kerusuhan, pengrusakan, terror bahkan sampai pembunuhan atas nama kebenaran agama. Sungguh hal tersebut tidak mencerminkan sikap seorang yang memiliki agama, karena beragama berarti memanusiakan manusia, bukankah agama diturunkan untuk manusia? Jadi sifat dasarnya adalah peri kemanusiaan. Terlebih jika hal tersebut dikaji dari sudut pandang kepentingan Indonesia, maka eksklusifitas dalam beragama hanya akan membuat perpecahan bangsa.


Dalam kesempatan diskusi singkat ini, akan diuraikan beberapa hal. Yang pertama adalah hubungan agama (terutama Islam) dengan budaya Indonesia. Selanjutnya adalah substansi dari ber-agama, apakah sebatas symbol belaka?. Ketiga adalah mencari format agama (Islam) dalam konteks ke-Indonesian sehingga akan ditemukan model beragama tanpa meninggalkan kharakter budaya Indonesia. Selanjutnya adalah tawaran konseptual tentang apakah menasionalismekan ber-agama serta langkah apa sajakah yang dapat dilakukan untuk merealisasikannya?.

Islam dan Budaya Indonesia
Indonesia bukanlah Negara Islam namun memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia karena lebih dari 80 persen dari sekitar 250 juta penduduknya adalah Islam. Melihat hal itu maka posisi Indonesia sangat penting jika dilihat dari perspektif pencitraan Islam dan kospirasi kepentingan-kepentingan dari adanya politik aliran keagamaan. Maka dari itulah menjadi penting untuk membingkai Islam dalam perspektif ke-Indonesian. Jangan sampai Islam hanya dijadikan alat pembenaran dari sekelompok orang saja atas keegoisan beragama ala mereka sendiri, namun disini Islam memiliki peran yang besar dalam rangka membentuk system budaya social-kemasyarakatan yang khas ala Indonesia. Seperti yang pernah dikatakan oleh Cak Nun ‘saya memang orang Islam, tetapi saya adalah orang Indonesia’.

Islam di Indonesia datang tanpa menggunakan pedang. Pendekatan yang dilakukan oleh walisongo (yakni para tokoh sentral dari penyebar Islam di Indonesia) lebih menggunakan budaya sebagai dakwah. Hal tersebut mengakibatkan adanya akulturasi antara Islam dan budaya local. Sebagai contohnya, acara tahlilan, slametan, tumpengan yang bahkan sampai sekarang ini masih terjaga tradisinya dalam masyarakat adalah bentukan budaya islami khas yang hanya ada di Indonesia.


Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa dari manusia. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari system keyakinan dari masyarakat pembentuk budaya. Spiritualitas adalah fondasi yang paling penting dari setiap prosesi kebudayaan yang ada. Sebelum Islam datang, bangsa Indonesia telah memiliki system budayanya sendiri dan hal tersebut selalu mendapat akomodasi dari agama-agama besar sebelumnya yakni Hindhu dan Budha. Sebagai contohnya, para leluhur bangsa Indonesia selalu menyakralkan keberadaan batu, pohon yang besar, tuk (sumber air) dan tugu batu untuk kemudian diberi sesaji dengan rasa penghormatan yang mendalam atas roh leluhur mereka dan sebagai ekspresi dari keyakinan atas Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah hal tersebut masih berkembang di masa Hindhu dan Budha?

Ketika pertama kali Islam datang yakni pada masa awal penyebaran Islam (abad 7-13 M), terjadi komunikasi antara Islam dan budaya local. Komunikasi yang terjadi disini adalah berupa dialog nilai serta konsepsi keyakinan atas Tuhan Yang Maha Esa. Mainstream penyebaran Islam Nusantara waktu itu lebih pada penguatan atas nilai-nilai keislaman lalu kemudian mendialogkannya dengan budaya local yang sudah terbentuk. Maka sebagai akibatnya terjadi kompromi antar keduanya. Untuk contoh kongretnya adalah budaya slametan. Budaya ini pada awalnya adalah penghormatan atas arwah leluhur dan roh halus yang biasanya dilakukan di tempat-tempat yang sacral seperti pohon, batu, tugu atau goa. Namun sekarang, slametan telah mengalami proses modifikasi tata nilai terlebih dalam system keyakinannya karena slametan dimaknai sebagi wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT dan dilakukan di musola, masjid atau hanya di rumah yang bersangkutan.

Setidaknya ada dua nilai utama yang menjadi ukuran kompromi dari nilai-nilai Islam dengan budaya local (Indonesia) yakni nilai transcendent (vertical) dan nilai social-kemasyarakatan (horizontal). Nilai transcendent adalah sebuah rujukan yang lebih melihat hubungan manusia dengan Tuhan secara langsung dan pemaknaan ketauhidhan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan setiap perbuatan harus dimaknai dari landasan teologis semacam ini. Nilai horizontal adalah suatu ukuran yang lebih menekankan pada pola hubungan antar sesama manusia dan alam ini. Sistem nilai ini lebih melihat pada kebaikan dan keharmonisan dalam masyarakat.

Slametan, jika dianalisa dari dua ukuran di atas, maka akan ditemukan pergeseran tata nilai. Kalau dahulu slametan hanya dimaknai sebagai penghormatan atas leluhur dan roh halus, maka sekarang slametan adalah wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini adalah wujud dari dimensi vertical. Sedangkan dimensi horisontalnya adalah saat slametan dilakukan di musola, masjid atau rumah yang bersangkutan, maka makanan -yang dahulu dimaknai sebagi sesaji- adalah bentuk sedekah (pemberian) kepada tetangga dan masyarakat sekitarnya. Ketika hal tersebut dapat dijaga dengan baik, maka religiusitas dan keharmonisan dalam masyarakat akan terbentuk dan terjaga.

Dari uraian di atas, maka sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Islam (atau mungkin agama yang lain yang ada di Indonesia) dan budaya Indonesia. Agama adalah susunan atas nilai-nilai yang membentuk suatu sikap hidup dan tatanan kehidupan manusia. Sebuah nilai mampu masuk dalam ranah apapun asalkan kualitas dari nilai tersebut terjaga dan mampu mewarnai dari hal tersebut. Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara agama dengan apapun, selama nilai-nilai agama dapat terakomodir dan dikomunikasikan dengan simbol-simbol budaya dari manusia. Agama bukanlah budaya, tetapi agama mampu membentuk sebuah budaya karena spiritualitas adalah fondasi paling penting dari unsur pembentuk budaya.

Ber-Agama Nilai dan Ber-Agama Simbol
Menjadi penting bagi penulis untuk mengurai makna dari ber-agama terlebih ber-agama Islam. Sekarang ini sangat sering terjadi distorsi makna tentang Islam. Islam dijadikan sebagai tameng atas kepentingan seseorang atau kelompok dan bahkan tidak jarang Islam dijadikan alat pembenaran atas keberagamaan seseorang, tidak peduli apakah yang dia lakukan merugikan orang lain atau tidak, seperti kekerasan dan membunuh orang lain yang dianggap sesat. Maka dari itu, adalah penting untuk mengurai hakekat dari ber-Islam sesungguhnya seperti apa.

Harus dibedakan antara Islam, orang Islam dan ber-Islam. Islam adalah sebuah agama yang memiliki system nilai kemanusian, apapun alasan yang digunakan untuk menggunakan Islam sebagai justifikasi dari tindak kekerasan, pembunuhan dan kerusuhan adalah tidak benar karena Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kesimpulannya, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akhlak dan peri kemanusiaan. Orang Islam adalah seseorang yang memiliki status diri sebagai pemeluk Islam tetapi belum tentu bertindak Islami (sesuai ajaran Islam). Ber-Islam adalah sebuah tindakan yang sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.

Berbuat baik kepada sesama manusia adalah ajaran Islam. Jika ada orang Islam melakukan tindak kekerasan, pembunuhan atau hal yang merugikan manusia lain, maka pada hakekatnya dia tidak Islam (pada konteks ini) karena telah melanggar ajaran Islam. Dia hanya ber-agama Islam secara simbolis. Tetapi jika ada sesorang yang dalam agama resminya (ktp) bukan seorang Islam tetapi melakukan tindakan kebaikan yang diajarkan Islam, maka dia secara nilai telah ber-Islam (pada konteks ini) meskipun pada tataran simbolnya dia bukan orang Islam. Islam adalah agama nilai bukan hanya sebatas simbol-simbol agama semata.

Islam ala Indonesia
Islam datang sebagai rahmat bagi semesta alam. Makna dari pemahaman tersebut adalah seharusnya Islam mampu menghadirkan kasih sayang disetiap aspek kehidupan manusia sehingga kedamaian bisa terwujud. Nilai-nilai Islam yang universal menjadikannya luwes dan dinamis serta mampu berdialog lintas zaman, dan tidak terbatas ruang dan waktu. Meskipun Islam diturunkan di Arab dengan segala bentukan budayanya tetapi hal tersebut tidak bisa menghalangi universalitas nilai-nilai ke-Islaman. Artinya Islam mampu berdialog dengan setiap budaya yang didatanginya, tentunya dengan sedikit modifikasi dan penyesuaian dari system nilai dalam Islam. Seharusnya, ketika Islam datang di Indonesia maka harus ada rumusan tentang Islam ala Indonesia. Mengembalikan Islam sesuai masa dan sesuai dengan tempat tinggal Nabi Muhammad SAW (Arabisasi) adalah tidak mungkin, karena perbedaan permasalahan yang dihadapai, namun kontekstualisasi dari nilai-nilai Islam dari masa Nabi sampai sekarang tidak boleh terputus.
Secara konseptual, Islam ala Indonesia adalah Islam yang menjaga dan melestarikan tradisi serta khasanah ke-Indonesiaan yang memliki kharakter santun, gotong royong, kekeluargaan serta sesuai dengan norma-norma social kemasyarakatan. Jangan sampai kita merasa asing di negeri kita sendiri meskipun kita juga adalah orang Islam. Islam dan agama yang lain adalah nilai-nilai yang mampu berkomunikasi dengan budaya local, maka jangan sampai semangat keber-agamaan justru dijadikan pembenaran dari pemusnahan tradisi dan budaya Indonesia.

Menasionalismekan ber-Agama
Menasionalismekan ber-agama adalah sebuah cara pandang untuk menjadikan keyakinan keber-agamaan sebagai semangat pemersatu dari keaneragaman suku, ras, golongan, agama dan kepentingan menjadi satu bingkai perspektif yakni melalui konteks ke-Indonesiaan. Hal ini sama sekali tidak akan mengurangi kekhusukan dan kekhidmatan dari peribadatan seseorang atau bahkan sekelompok keyakinan tertentu, karena pada hakekatnya ber-agama -melaksanakan perinyah-Nya dan menjauhi larangan-Nya- bukan sebatas simbol-simbol dari keyakinan saja melainkan hal tersebut adalah berupa nilai-nilai dari penghayatan atas keyakinan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu agama bukan sebuah entitas yang menegasikan entitas yang lainnya tetapi justru akan memperkuatnya jika nilai-nilai yang dibawa dari entitas tersebut sesuai dengan nilai-nilai agama.

Agama sangat lekat dengan nilai-nilai kemanusian yang dapat masuk pada dimensi kemanusiaan iu sendiri, contohnya pada aspek budaya, social kemasyarakatan, ekonomi dan bahkan politik. Karena agama diturunkan kepada manusia maka nilai dari agama seharusnnya mampu untuk memanusiakan manusia bukan justru sebaliknya tidak memanusiakan manusia seperti merusak, menyakiti dan bahkan menghilangkan nyawa manusia lainnya. Mereka yang dekat dengan nilai-nilai agama biasanya memiliki sebuah aura keteduhan dan mampu meneduhkan manusia yang lain bukan justru memberi ketakutan dan teror.

Nasionalisme adalah kecintaan terhadap bangsa dan Negara. Seharusnya perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai sebuah bangsa dijadikan semangat untuk menyatukan keber-agamaan. Nasionalisme bukankah sesuatu yang buruk, justru dengan sentimen kebangsaan ini, akan mampu menumbuhkann pengertian dan saling memahami keadaan serta kondisi saudara sebangsa setanah air lalu kemudian bersama-sama menuju kesejahteraan bersama sebagai satu bangsa.

Agama bukanlah alat kepentingan, melainkan media untuk membentuk tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Maka dari itu, membingkai agama pada satu kekuatan perspektif yakni Nasionalisme adalah keharusan, jika bangsa ini tidak ingin terpecah-pecah. Pemerintah harus mampu menjaga dan mengarahkan kondusifitas dari keber-agamaan masyarakat menjadi kekuatan social kemasyrakatan. Jangan sampai ada pembenaran sefihak dengan mengatasnamakan agama tertentu, karena hal itu hanya beberapa oknum semata.
Setidaknya ada dua hal penting yang perlu dilakukan agar upaya menasionalismekan ber-agama dapat berjalan dengan baik :

1. Pendidikan agama berwawasan Nasionalisme
Pendidikan agama yang berwawasan Nasionalisme harus sejak dini diajarkan disekolah-sekolah, bahkan sedari sekolah dasar. Jangan sampai sejak dari usia sekolah malah diajarkan sentimen atas agama tertentu karena hal tersebut justru akan menjadi bom waktu atas kehancuran Indonesia. Mengapa dimulai dari menasionalismekan ber-agama? Karena agama memiliki potensi membangun kesejahteraan sosial yang besar, tetapi agama juga memiliki potensi merusak dan kesengsaraan yang besar. Sebuah pertaruhan yang setimpal.
2. Menciptakan Ruang Dialog Antar Agama 
Ruang dialog antar agama dan golongan bertujuan untuk saling memahami dan mencari kesepakatan bersama dalam aktualisasi dari sikap keberagamaan masing-masing. Semangat yang mendasai haruslah sama, yakni rasa sebagai satu bangsa untuk mencapai suasana damai dan tenang sehingga pembangunan negara ini dapat dengan optimal tercapai. Berdialog atau berkonflik adalah sebuah pilihan.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?