Kedaulatan merupakan kekuasaan penuh untuk mengatur seluruh wilayah negara tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain. Dengan kedaulatannya itu, visi dan misi menciptakan negara yang maju, rakyatnya sejahtera dapat tercapai. Kedualatan tentuya sangat erat kaitannya dengan kemandirian, bagaimana mampu berdiri diatas kaki sediri. Kemandirian tentunya tidak menafikkan hubungan bilateral, regional ataupun internasional, akan tetapi titik tekannya terletak pada kebebasan sebuah negara bangsa mengelola pemerintahannya dengan pertimbangan kesejahteraan masyarakatnya. Kemandirian saat ini, menjadi keniscayaan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ketergantungan terhadap negara-negara. maju masih sangat kuat dalam konteks capital, market ataupun technology, kondisi ini menjadikan pondasi pembangunan menjadi rapuh. Kegagalan pembangunan orde lama dan orde baru terletak pada permasalahan struktur ekonomi, sosial, politik ataupun ketergantungan amat sangat pada negara-negara maju. Pendekatan thesis ketergantungan (dependency thesis) menekankan bahwa rintangan-rintangan utama yang telah menghambat dan merusak perkembangan ekonomi dan sosial di negara berkembang (Amerika Latin) merupakan rintangan-rintangan yang struktural sifatnya, baik yang terdapat dalam struktur ekonomi, sosial maupun sifat ketergantungan atas kekuasaan asing. Ketergantungan ini terjadi dengan konspirasi negara maju melalui hutang sebagai bagian dari uapaya pembangunan negaranya ataupun “kecerobohan” negara-negara berkembang untuk membuat ketergantungan sendiri kepada negara-negara maju. Ketergantungan negara berkembang tidak hanya kepada negara-negara maju, akan tetapi sumber ketergantungan lainnya adalah capital global, Peters Evans mengindentifikan 3 aktor yang menentukan dalam menentukan kebijakan negara berkembang yakni capital global, pemerintah serta bourjuis lokal. Idea kemandirian bangsa semakin menjadi mahal ditengah arus globalisasi. Globalisasi mengaitkan negara-negara dalam ikatan global sehingga tidak ada kejadian diplenet ini bersifat lokal terbatas, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia (Beck, Ulrich, what is globalization 2000:11). Kondisi bangsa akan semakin terpuruk dilemahkan efek globalisasi ketika tidak memiliki imunitas dalam multidimensional sektor. Sebab, globalisasi merupakan “perang ruang” dimana mobilitas menjadi faktor terkuat dan diharapkan. Mobilitas bangsa dan masyarakat internasional menjadi fenomena yang luar biasa tanpa bisa dihalangi. Filsafat globalisasi menyatakan pemenang dari perang ruang (globalisasi) adalah mereka yang mobile : mampu bergerak secara bebas diatas ruang. (Bauman, Zygmunt : Globalization, the human consequences 1998:88) bahkan lebih ekstrim Kenichi Ohmae melihat dunia global ini sebagai the end of nation state and the rise of regional economics. Oleh karenanya merealisasikan kemandirian menuntut elemen bangsa ini untuk berfikir keras, bagaimana mengoptimalkan sumber daya yang ada demi kesejahteraan masyarakat. Mempunyai keyakinan untuk maju dan mampu berdiri diatas kaki sendiri dan melepaskan ketergantungan atas negara lain dalam melakukan pembangunan. Mewujudkan Indonesia yang mandiri bukanlah perkara mudah dan bisa diciptakan dengan cepat. Kemandirian disini bukalah melepaskan diri dari hubungan bilateral, regional atau internasional sebagaimana ide dari Andre Gundre Frank, akan tetapi berusaha menyeimbangkan hubungan yang ada sebagaimana pemikiran Fernando Henrique Cardoso. Ada 5 faktor penting dalam upaya membangun kemandirian bangsa, pertama, character building and nation building. Character building menjadi penting dalam pembangunan khususnya terkait dengan rasa percaya diri dan keyakinan mampu untuk maju. Bangsa eropa pernah mengalami kehancuran pasca perang dunia kedua serta merasakan kondisi politik kompleks pada masa dark ages dengan adanya divine right of kings and supreme power of church . Masyarakat eropa mampu menjadikan himpitan permasalahan menjadi starting point melangkah jauh dalam kemajuan dan kesejahteraan dengan dasar keyakinan untuk maju. Momentum kebangkitan bangsa, bisa digunakan sebagai awal menggugah keyakinan bangsa ini untuk bisa berkembang dan meraih kemajuan. Ketika bangsa eropa bangkit dengan momentum the age enlightenment atau age of aufklarung, dengan perbaikan tatanan politik dan industrialisasi dengan prinsip kebebasan individu dan rasionalisasi. Bangsa ini dirasa perlu membuat momentum dengan variasi khas Indonesia untuk bangun dari permasalahan, mengubur rasa pesismis dan mengantinya dengan keyakinan dan kerja keras. Eropa bangkit dengan spirit protestan (Max Webber : Ethic protestan and spirit of kapitalisme), Islam bisa menjadi nilai kebangkitan Indonesia, dimana Islam menegaskan : Innallaha laa yugoyyiru maa biqoumin hatta yugoyyiru maa bi anfusihim. Berbicara tentang posisi agama, diperlukan objektivitas dan pemahaman doktrin dan realitas social sehingga tidak mengulangi kesalahan Karl Marx dalam memahami agama dalam social change. Ketika nasionalisme belum dikenal dan diperhatikan, agama menjadi spirit perlawanan terhadap penjajah selain upaya mempertahankan kepemilikan atas tanah. Doktrin hubbul wathani minal imani, mampu meningkatkan semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Portugal, Belanda maupun Jepang. Nation building menjadi penting dalam variable pembangunan. sebagai negara kepulauan dengan beragam etnik dan budaya diperlukan sarana untuk mengikat beragam perbedaan menjadi satu kesatuan sedangkan unifikasi atau negara kesatuan menjadi langkah awal pembangunan politik ( Organskhi: economic development in latin Amerika and its principal problem). Sumpah pemuda menjadi nilai perekat bangsa, namun diperlukan langkah konkret untuk menjaganya. Meminjam langkah Lucyan W Pye dalam melakukan nation building, ada 3 variabel yang perlu diperhatikan yakni : equality (adanya persamaan hak hukum dan politik), capacity (masyarakat yang memiliki kapasitas), differenciation and specialization (mekanisme pemerintahan yang baik). Faktor kedua, strategi ekonomi keluar dari keterpurukan. Ada beberapa kondisi penting yang perlu mendapatkan perhatian yakni strategi keluar dari jeratan hutang, pengelolaan potensi SDA, membangun ekonomi pertanian serta membangun ekonomi makro dan mikro secara fundamental dan kokoh. Akan tetapi yang lebih penting adalah kebijakan ekonomi harus meninggalkan penyimpangan patron client atau ekonomi rente, dimana negara melakukan diskriminasi akses modal ataupun sumber ekonomi lainnya dengan memprioritaskan para kroninya yang pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan structural (diperlukan adanya kesetaraan politik dan ekonomi), kebijakan ekonomi harus pula lebih mementingkan kepentingan negara dan rakyat dibandingkan kepentingan negara lain ataupun para pengusaha. kemungkinan negara atau pemerintah untuk mendiri dari unsur pemilik modal merupakan suatu yang mungkin akan tetapi sulit terwujud. Secara teoritis ada 3 pendekatan dalam melihat relasi negara dan pemilik modal ; (1) pandangan Karl Marx yang melihat bahwa negara hanyalah kepanjangan tangan dari kaum bourjuis atau kapitalis, sinisnya Karl Marx terhadap keberadaan negara menghantaskannya pada tujuan utopis terciptanya masyarakat tanpa negara. (2) negara berada diatas masyarakatnya, sehingga negara mempunyai kemandirian untuk menciptakan kemakmuran, kebijakan negara yang menguntungkan kaum borjuis didasarkan atas kesadaran bukan ketertundukan (Hegel, Ralph Milliband). (3) negara mempunyai kemandirian terbatas, dibatasi struktur politik, sosial ataupun ekonomi. Negara tidak bisa menghindar dari kaum pemilik modal dikarenakan membutuhkan pajak, kondisi ini mewajibkan negara menjaga keberadaan dan kemajuan kaum bourjuis (Nicos Paulantzas). Pandangan yang ketiga inilah memiliki rasionalisasi lebih, kapitalis global ataupun kapitalis local bukanlah musuh masyarakat dan negara, negara perlu memberikan fasilitas-fasilitas kepada mereka, namun disisi lain negara memberikan jaminan bahwa fasilitas yang diberikan kepada mereka membawa kemakmuran bagi masyarakat secara luas. Akan tetapi perlu diwaspadai terbentuknya negara koorperasi, dimana negara dijalankan para pengusaha demi kepentingan pribadi dan usahanya. Bangsa ini perlu juga menyadari akan adanya hegemoni wacana (Gramsci, Hugo), dimana strategi pembagunan tentunya berbeda ditiap tempatnya sesuai dengan kondisi, kultur, nilai masing-masing. Bangsa ini juga perlu meninggalkan ekonomi market murni (neo-liberal), intervensi negara sangat dibutuhkan dalam menjaga keseimbangan pasar. Faktor ketiga, konsistensi implementasi. Konsep yang baik tidak akan membawa keberhasilan ketika ada permasalahan dalam implementasi. Permasalahan konsistensi implementasi pembangunan ekonomi terletak pada kapasitas intelektual dan kualitas moral para elite dan birokrasi. Edward S Greenberg menegaskan kemandirian negara hanya bisa diwujudkan dengan adanya pemerintah dan birokrasi yang mandiri (Greenberg dalam teori negara Arief Budiman). Permasalahannya demokrasi tidak memastikan hadirnya pemimpin yang mempunyai kapasitas, namun lebih cenderung memunculkan pemimpin yang disukai dan disenangi rakyat. Pekerjaan rumah bagi demokratisasi di Indonesia adalah bagaimana mendorong munculnya elite politik yang bertanggung jawab serta birokrasi yang rasional. Kedua hal ini menjadi lingkaran utama dalam mewujudkan good governance dan clean governance. Mendorong pemilu yang berkualitas dan pembenahan rekrutmen birokrasi menjadi 2 kunci utama dalam merealisasikannya. Pemilu yang berkualitas membutuhkan sistim (UU pemilu), subyek (partai politik) ataupun objek (masyarakat) yang berkualitas pula. Akan tetapi tidak ada salahnya melakukan kombinasi pemikiran, menarik kiranya melakukan kajian terhadap sistim meritokrasi, dimana memberikan promosi kepada pihak-pihak yang memiliki kapisitas untuk menjadi penguasa. Meritokrasi kerap di pakai juga untuk menentang birokrasi yang sarat KKN terutama pada aspek nepotisme. Catatan terpenting adalah bagaimana elite politik (pemerintah) bangsa ini tidak mendekati atau membuktikan tesis Vilfredo Paretto, Guettano Mosca ataupun Robert Micheal yang menyakini bahwa elite politik hanyalah kaum minorits yang senantiasa memanipulasi dan membodohi kaum mayoritas. Faktor keempat, Lingkungan sosial dan politik yang kondusif, political development as prerequisite of economic development (Lucyan Pye : Aspects of political development), titik tekannya adalah stabilitas sosial dan politik. Meminjam bahasa Hutington social order and political order menjadi syarat mutlak dalam modernisasi. Kondisi sosial politik secara langsung akan mempengaruhi kondisi perekonomian, khususnya terkait dengan konflik masyarakat ataupun konflik elite negara. EG = f (EV, SV, PV), dimaa EG = pertumbuhan ekonomi, EV= variable-variabel ekonomi, SV= social variable, PV= politics variable. Variable ekonomi dan politik terkait dengan pertumbuhan ekonomi baik secara langsung ataupun tidak langsung (Jan Erik Lae-Svante Ersson : comparative political economy). Namun yang menjadi perhatian adalah how to created the real stability not pseudo stability . Stabilisasi bisa dicapai dengan eleman, demokratisasi dan partisipasi politik . Tujuan demokratisasi adalah institusionalisasi atau penguatan lembaga negara (Samuel Huntington : political order in changing society), dalam artian bagaimana agar lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) menjalankan fungsi secara semestinya (substantive democracy approach). Penguatan lembaga negara dijalankan melalui positive opposition, positive critical and formal political partisipation. Positive opposition memerlukan kedewasaan politik dari partai politik dalam melakukan “pertarungan idiologi dan konsep pembangunan”. Positive critical diwujudkan melalui monitoring lembaga pers, interest group ataupun pressure group yang proporsional dan bertanggung jawab sedangkan formal political participation dibentuk melalui pembenahan mekanisme penyampaian aspirasi dan keterlibatan rakyat dalam pengambilan kebijakan. Demokratisasi di Indonesia tidak boleh bercorak demokrasi liberal dengan cirri majority rule akan tetapi memerlukan penguatan peranan civil society dan memberikan sarana pengambilan keputusan bagi kaum minoritas atau tidak terwakili sebagaimana gagasan demokrasi deliberatif (Jurgen Habermas). Partisipasi politik mempunyai arti penting dalam demokrasi dan stabilisasi yakni dalam posisi memberikan kontrol yang efektif kepada pemerintah melalui mekanisme seharusnya. Akan tetapi posisinya akan berbalik negatif apabila dijalankan melalui mekanisme kekerasan dan anarkis.(kontigensi approach). Partisipasi politik tumbuh didasarkan atas pertumbuhan ekonomi yang menciptakan kapasitas kependidikan (modernisasi) serta persepsi terhadap elite dan kekuasaan. Menurut Morris Rosenberg, persepsi masyarakat atas mekianisme politik sebagai suatu yang sia-sia dan tidak efektif dalam meningkatkan kesejahteraan menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam sebuah negara. (Michael Rush dan Phillip Althoff : pengantar sosiologi politik) Faktor kelima sebagai pelengkap adalah low inforcement (penegakkan hukum), bangsa ini punya PR (pekerjaan rumah) dalam pemberantasan korupsi. Pembangunan akan senantiasa terganggu dengan munculnya virus korupsi. Langkah konkret untuk mewujudkan kondisi ini tentunya terletak pada perbaikan produk hukum ataupun kualitas dan moralitas aparatur penegak hukum (polisi, hakim, jaksa ataupun advokat), langkah ini bentuk building good and effective system. Pemerintahan yang bersih akan ternoda tanpa ada sistem hukum yang mengawasi. Menciptakan bangsa yang mandiri sebagai dasar menuju bangsa yang makmur, tidak hanya bisa mengandalkan pemerintah dan kekuatan politik formal seperti partai politik ataupun lembaga legislative, masih diperlukan peranan civil society yang signifikan dalam memastikan perputaran perubahan yang mulai digulirkan sejak tahun 1998 berada pada arah yang tepat yakni kemakmuran masyarakat.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?