(T) ERORISME DALAM GERAKAN ISLAM

Diposting oleh Perisai Jateng on Rabu, 05 Agustus 2009

Oleh: Irfan Rosyadi 
Baru-baru ini kita kembali kita dikagetkan oleh aksi terorisme pengeboman dua hotel Internasional di Mega Kuningan Jakarta yang juga disertai penangkapan tersangka teroris dan penemuan bahan peledak serta persenjataan di bebrbagai daerah Jawa Tengah, Sebagaimana teroris yang sudah tertangkap terdahulu seperti pelaku Bom Bali, kerusuhan di Poso dan serta penggrebekan di Temanggung,Wonosobo, dan Cilacap tersangka memiliki latarbelakang sebagai aktivis gerakan Islam. Pihak kepolisian juga mengaitkan tersangka dengan jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI). Kematian gembong teroris internasional Dr. Azahari serta tertangkapnya beberapa orang kaki tangan Noordin Moh. Top di Indonesia, menegaskan, terorisme dengan mengatasnamakan agama bukan lagi hal yang maya namun hadir secara nyata dalam kehidupan kita. Terorisme juga tidak lagi berada di ujung belahan dunia sana tapi justru sangat dekat. Saat ini, siapapun tidak akan dapat menyangkal keberadaan jaringan terorisme internasional dan gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia. Maemunah Sa’diyah sebagaimana dikutip dari islamlib.com mengemukakan ada tiga sebab yang menjadi latarbelakang munculnya terorisme dari kalangan Islam, yaitu; pertama, terdapat konspirasi besar yang ingin menghancurkan Islam dari dalam. Kedua, terdapat teks-teks dalam Al-Quran dan hadis yang dijadikan sandaran atau dapat dikatakan menganjurkan umat Islam untuk melakukan kekerasan. Ketiga, ada yang salah dalam proses pendidikan kita sehingga berpeluang melahirkan agen-agen teroris. Dalam konteks pendidikan menurut Sa’diyah, permasalahan utamanya terlelak pada proses pembelajaran. Metodologi yang dilakukan selama ini, menurutnya, lebih kepada kognitif minded bukan implementatif minded, sehingga aspek afeksi dari nilai-nilai agama nyaris tidak tersentuh ditambah lagi dengan waktu belajar agama yang sangat singkat. Hal inilah yang mungkin menjadi celah bagi masuknya pengaruh-pengaruh yang mengatasnamakan Islam tanpa mengalami proses filterisasi terlebih dahulu. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia merupakan lahan subur bagi persemaian gerakan fundamentalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Sejalan dengan keterbukaan politik, berbagai kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam mulai bermunculan. Isu yang sering dijadikan tema propaganda adalah perlawanan terhadap dominasi negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat. Situasi itu nampaknya sejalan dengan pemikiran Samuel Hungtinton. Beranjak dari sejarah konflik ideologi dan proyeksi di masa depan, Hungtinton mengemukakan, konflik-konflik yang terjadi pada saat ini dan masa yang akan datang akan berbasis pada akar-akar budaya yang membentuk peradaban manusia. Dalam istilah Hungtinton, konflik itu disebut sebagai the clash of civilization (benturan peradaban). Lebih terfokus lagi, yang akan terjadi adalah konflik antara kapitalisme global dengan Islam. Namun dalam konteks Indonesia, tesis Hungtinton itu perlu diuji lebih mendalam terutama dalam pemaknaan Islam sebagai lawan kapitalisme. Dalam kenyataannya, kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam tidak selalu mencerminkan struktur gerakan politik maupun ajaran Islam secara keseluruhan. Matinya gerakan politik Islam yang terepresentasikan dalam partai politik maupun organisasi kemasyarakatan memberikan andil bagi lahirnya gerakan baru yang oleh para pengikutnya dianggap lebih progresif dalam perjuangan mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam. Fundamentalisme dan terorisme di kalangan organisasi Islam merupakan wujud gerakan baru itu. Jaringan gerakan ini sangat luas, bahkan terintegrasi dengan jaringan terorisme internasional. Aktifitas yang dibangun melalui gerakan bawah tanah menyebabkan gerakan ini sulit terdeteksi. Pernyataan perang dari pemerintah terhadap terorisme tidak menyurutkan gerakan ini untuk terus melancarkan aktifitasnya serta melahirkan pengikut baru. Sasaran rekrutmennya adalah masyarakat pedesaan yang tidak memiliki jenjang pendidikan tinggi serta latarbelakang sosial ekonomi yang rendah sehingga mudah diindoktrinasi dengan mengatasnamakan pangilan Tuhan. Situasi itu seharusnya perlu disikapi secara serius, terutama oleh para pemuka agama Islam. Sebenarnya merunut pada sejarah, peran dan kontribusi umat Islam terhadap bangsa ini tidak kecil. Selain melakukan penyadaran dalam hal spiritualitas, gerakan Islam merambah bidang ekonomi dan politik. Tokoh-tokoh Islam banyak mewarnai pergolakan perlawanan terhadap kolonialisme-imperialisme sejak masa VOC sampai penjajahan Jepang. Kekuatan politik Islam melalui Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI), merupakan salah satu pelopor pergerakan politik modern di masa penjajahan. Namun tidak dapat dipungkiri, pergerakan politik Islam selalu kandas dalam pencapaian cita-cita politik. Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan awal kekalahan politik secara monumental dari golongan nasionalis sekuler tentang perdebatan mengenai dasar negara. Kekalahan itu pun terulang lagi di Badan Konstituante yang kemudian secara kontroversial dibubarkan oleh Bung Karno melalui dekrit presiden 5 Juli 1959. Sebagai catatan besar, sejak masa kemerdekaan sampai sekarang, pemenang pemilu dan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di Indonesia tetap di tangan kelompok nasionalis sekuler. Hal yang ironis, Islam sebagai agama dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun sebagai kekuatan politik tetap tidak pernah memperoleh dukungan mutlak dari seluruh pemeluknya. Selain konflik tradisional versus kelompok nasionalis sekuler, perpecahan merupakan salah satu karakter dalam gerakan politik Islam. Di masa Orba, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai hasil fusi dari partai-partai Islam, dalam perjalanan politiknya selalu dipenuhi dengan intrik dan konflik antar unsur. Perseteruan antara dua unsur terbesar, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muslimin Indonesia (MI) mewarnai keseluruhan kehidupan partai. Persatuan nampaknya sangat jauh dari “kosa kata” kekuatan politik Islam. Tumbangnya rezim Soeharto, membuka kesempatan bagi kekuatan-kekuatan politik Islam untuk muncul kembali dalam panggung politik Indonesia. Politisi Islam, sebagian besar mencoba melakukan peruntungan politik dengan memanfaatkan sentimen dan romantisme masa silam, terlihat dari pendirian beragam partai yang dapat dikaitkan dengan partai-partai Islam. Perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu 1999,2004 maupun yang baru saja selesai pemuilu 2009, sangat jauh dari harapan. Hanya beberapa partai berazaskan Islam yang berhasil memperoleh kursi DPR dalam jumlah yang cukup signifikan. Beberapa hal yang menjadi penyebab mandulnya gerakan politik Islam, antara lain; Pertama, perbedaan pemahaman dalam teks keagamaan yang menjadi pijakan langkah organisasi dan perilaku sosial para aktivisnya. Perbedaaan itu merupakan masalah sensitif bagi masing-masing umat di lapisan bawah dan berpotensi sebagai sumber konflik. Ironisnya, seringkali perbedaan itu justru dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan pragmatis dan sesaat. Kedua, agama lebih sering ditempatkan sebagai legitimasi kebijakan organisasi yang kadang-kadang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai normatif dalam agama itu. Peran agama dalam partai-partai Islam tereduksi sebatas komoditas politik belaka. Ketiga, kesenjangan yang sangat lebar antara perilaku politik elite partai dengan realitas sosial massa rakyat. Para pimpinan menekankan, kesetiaan kepada personal elite partai merupakan bagian dari kelengkapan kepercayaan secara teologis. Pada akhirnya, kesetiaan politik yang terbangun di kalangan pendukung tradisional partai-partai Islam, lebih banyak tertuju kepada elite partai dari pada institusi. Di sisi lain, hasil akhir perjuangan mewujudkan kesejahteraan umat, hanya dinikmati segelintir elite partai dan elite organisasi keagamaan. Umat, tetap dianggap sebagai angka statistik anonim dan cukup diberi imbal balik dengan ilusi teologis yang abstrak seperti, amal pahala, surga dan ilusi teologis lainnya. Keempat, budaya politik feodal. Dalam struktur sosial keagamaan, peran kyai atau ulama menduduki posisi sentral. Sentralisme figur ulama itu diperkuat dengan legitimasi teologis sebagai pewaris ajaran nabi dan pemilik otoritas keagamaan yang harus dipatuhi umat. Kesetiaan tanpa reserve kepada ulama membuahkan kultur feodal, anti kritik dan tentunya ademokratis. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya dapat belajar pada pengalaman dan fenomena tersebut. Kemandulan dalam gerakan politik Islam harus dijawab dengan melahirkan gerakan baru yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan umat. Gerakan itu harus berorientasi pada kerja-kerja politik untuk pembaruan, kenyamanan sosial serta kesejahteraan bagi umat dan bangsa. Hanya dengan jalan itu, fundamentalisme dan terorisme di kalangan Islam dapat diberantas. wallahu'aklam bisowab.....(earf)

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?