Refleksi Ke-Indonesiaan

Diposting oleh admin on Sabtu, 26 Mei 2012


    Oleh: Muhammad Kholidul Adib

Cita-cita agung para pendiri republik ini (the founding fathers) –seperti Sukarno dan Tan Malaka– adalah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam makna dan wujud yang sesungguhnya. Cita-cita ini mengandung pesan dan pengertian bahwa kemerdekaan dan kedaulatan bangsa ini tidak akan secara otomatis terwujud dengan dibacakannya teks proklamasi pada 17 Agustus 1945.  Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang sejati adalah bebas dari –pengaruh, pendiktean dan hegemoni – imperialisme (kapitalisme global)- yang sesungguhnya sudah menguasai Dunia Ketiga jauh sebelum Indonesia memproklamasikan “kemerdekaan”-nya. Pertanyaannya sekarang: sudahkan bangsa ini merdeka seperti yang diimpikan oleh para pendiri republik? Ironis memang jika pertanyaan ini harus dijawab secara jujur
dengan mengatakan “belum”! Disebut ironis, karena sebagian besar warga bangsa ini tidak pernah bisa memaknai dan mewarisi cita-cita besar para pendiri republik itu. Yang dilakukan, khususnya oleh elit bangsa ini, justeru mengubur cita-cita besar pendiri bangsa dengan – sadar atau tidak – mengukuhkan dan mendukung neo-imperialisme di Indonesia dalam bentuk yang sangat beragam. 
Di satu sisi, imperialisme – yang membonceng pada proyek kapitalisme internasional (melalui agenda globalisasi dan demokratisasi) – terus-menerus berusaha mengukuhkan dominasi dan hegemoninya di negara-negara miskin dan berkembang. Di sisi lain, mereka juga mempunyai kaki dan pengikut di negara-negara Dunia Ketiga, yaitu elit politik dan kelas terdidik, yang secara sukarela membantu dan mendukung agenda imperialisme, sekali lagi, sadar atau tidak. Pengabdian pada patron, yaitu bangsa asing, menjadi bagian dari cara mereka untuk bisa tetap survive, terhormat dan cukup secara materi. 
Itulah elit yang bisa disebut sebagai marsose Kompeni. Karena itulah, bangsa ini tetap “dijajah” dan “bermental terjajah”. “Dijajah” dan “(bermental) terjajah” merupakan dua hal yang berbeda, tetapi saling menguatkan dan melanggengkan. Yang pertama merupakan sebuah rekayasa (sosial, ekonomi, budaya dan politik) dari pihak kuat (negara-negara kapitalisme internasional/ hegemon/pusat) untuk tetap mempertahankan hegemoni, pengaruh dan kepentingannya di negara-negara jajahan. Dan inilah yang disebut imperialisme. Sedang yang kedua adalah sikap mental yang secara sadar atau tidak terus direproduksi untuk mendukung dan mempertahankan skenario dan rekayasa dari pihak pertama.
Implikasi neo-imperialisme dalam kehidupan bangsa sungguh sangat mengerikan. Pertama, bangsa ini tidak pernah bisa secara independen mengambil keputusan-keputusan strategis tanpa pendiktean dari pihak luar. Kedua, proses kehidupan berbangsa berjalan tanpa akumulasi, baik pada level struktural-sistemik maupun pada level kultural. 
Tidak adanya akumulasi dalam proses berbangsa misalnya terlihat pada ketidakjelasan sistem ekonomi, sosial dan politik bangsa ini. Sampai saat ini, konstitusi Republik Indonesia yang menjadi dasar aturan main kehidupan politik negara bukan saja masih memiliki banyak kekurangan, tetapi juga akan diamandemen dengan hal-hal yang justru manambah persoalan bagi bangsa ini, misalnya amandemen soal Piagam Jakarta.
Secara kultural, neo-imperialisme juga berakibat pada hancurnya kebudayaan lokal karena dianggap tidak sesuai dengan semangat globalisasi dan demokratisasi, yang sesungguhnya lebih merupakan ancaman terhadap hegemoni negara pusat. Karena budaya lokal cenderung mempunyai daya dan potensi resisten terhadap semua yang datang dari luar, apalagi kalau yang datang itu ingin menguburkan atau menaklukannya. 
    Kini berjuta-juta penduduk negara Dunia Ketiga tidak dapat bergerak bebas dalam masyarakat mereka sendiri, karena mereka berada di tengah-tengah penurunan perekonomian yang tidak hanya gagal dalam menyediakan pangan, air dan perlindungan bagi mereka, tapi juga menghancurkan budaya, masa lalu, masa depan dan semua harapan mereka (Rowbotham, 2000: 10). Itu semua terjadi, tambah Rowbotham, karena Dunia Ketiga dirampok, dan hutang yang sekarang mereka tanggung adalah akibat dari perampokan tersebut dan akibatnya yang terus berkelanjutan. 
Negara-negara Dunia Ketiga tidak hanya dirampok secara material, tapi juga kebudayaan mereka dihancurkan dan proses pembangunan diselewengkan dari mulanya yang melayani kesejahteraan penduduk menjadi sebuah proses pengambilalihan yang tidak kentara namun brutal (Ibid: 10-11).
Kalau melihat situasi politik-ekonomi Indonesia sekarang dan juga dilihat dari produk undang-undang (hukum) yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah serta dari kebijakan yang dilaksanakan, terlihat jelas bahwa ekonomi dan politik Indonesia masih dipengaruhi secara kental oleh intervensi luar, khususnya AS. Fakta ini merupakan indikasi bahwa Indonesia adalah sekutu AS secara langsung maupun tidak langsung. 
    Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, misalnya, mengizinkan pihak swasta (perusahaan multinasional) mengelola sektor migas baik di hulu maupun hilir, seperti tertuang pada pasal 9 ayat (1). Sementara badan usaha yang sudah melakukan kegiatan di sektor hulu, yaitu Pertamina, tak diijinkan melakukan kegiatan yang sama di sektor hilir (Pasal 10, ayat 1). 
    Dari sudut Undang-Undang Dasar 1945, pengaruh luar dalam pembuatan kebijakan dan juga kesediaan para pemimpin untuk didikte pihak asing merupakan pelanggaran terhadap politik luar negeri yang bebas aktif sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Swastanisasi sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, listrik dan migas, juga merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 terutama pasal 33. Di satu sisi, pelanggaran terhadap UUD 1945 tersebut merupakan preseden yang sangat buruk bagi kehidupan politik bangsa di masa mendatang. 
Pelanggaran terhadap hukum tertinggi (konstitusi), sebenarnya merupakan penghancuran terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara yang paling dasar. Di sisi lain, apa yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa kalangan pengambil keputusan tertinggi negara terlihat masih terperangkap dalam “mentalitas Perang Dingin”. Akibatnya, pergeseran peta geopolitik dunia tidak bisa dibaca dengan baik oleh mereka. Jika para pengambil kebijakan itu bisa membaca dengan seksama munculnya kekuatan-kekuatan baru dalam percaturan geopolitik internasional, tentu mereka dapat belajar dan bertindak lain. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat tidak seperti yang terlihat sekarang ini: merugikan kepentingan nasional (national interest) dan melanggar konstitusi negara. 
Sistem dunia memang telah memaksa bangsa kita untuk menerapkan ekonomi neolib (pasar bebas) yang mengakibatkan kita seakan tidak bisa berbuat banyak. Benarkah Indonesia sekarang neolib? Jawabnya, ya. Sebab apa yang kita dengar dan kita bicarakan senantiasa berdasarkan apa reaksi pasar. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan akan mendasarkan pada perkembangan pasar. Bahkan perkembangan pencalonan presiden pun tidak bisa lepas dari neolib. Dalam UUD 45 dikatakan bahwa air dan kekayaan negara, berada di bawah kekuasaan negara, akan tetapi air yang yang sudah dalam kemasan botol (air minum mineral kemasan) itu merupakan kekuasaan pemilik modal. 
Sebenarnya kita itu mestinya menerapkan ekonomi pasar protektif (yang melindungi rakyatnya). Anehnya, mereka yang memproduksi neolib sendiri justru tidak konsisten dalam menerapkan neolib di negerinya. Partai Republik di USA yang kebanyakan konstituennya kalangan petani dan masyarakat pinggiran, namun pertaniannya disubsidi. Sementara neolib di kita justru memotong subsidi karena ditekan oleh mereka. 
Dalam sistem perdagangan dunia saat ini, di level bawah kita diposisikan sebagai konsumen dan paling jauh kita hanya sebagai distributor. Dapat kita bayangkan bahwa kita masih terjajah oleh negara lain dalam sistem neolib ini. Produksi-produksi tekstil dan beberapa produk yang ada di kita juga begitu. Misalnya batik buatan lokal Pekalongan, namun benangnya dari luar. Sesuatu yang masuk ke negara ketiga itu harus difilter terlebih dahulu seperti Jepang yang memproteksi diri dari luar. Ini sangat aneh sekali kenapa kita mau melakukannya? 
Harus disadari pula bahwa secara diam-diam neolib sudah masuk ke sektor pertanian. UU Pertanian dan UU Agraria 1960 tidak diperjuangkan sebagaimana mestinya sedangkan realisasi undang-undang agraria terhambat oleh konflik politik internal politik kita sehingga dalam persaingan pasar bebas ini kita merasa kuwalahan dalam perkembangnnya. Banyak contoh petani-petani kita yang harus bertempur dengan penanam-penanam modal di negara kita dari negara lain, seperti petani nanas, petani semangka, petani beras, harus bersaing dengan negara lain, dll. 
Revolusi hijau pertanian di Indonesia pada era orde baru telah menggeser kita dari pertanian berbasis teknologi rakyat menjadi teknologi tinggi. Padi yang dulu kita tanam panjang-panjang sudah tidak dapat kita temukan lagi sekarang. Para petani sekarang lebih individualis. Dengan revolusi hijau itu maka tercabutlah petani dari kemakmurannya. Lesung yang dulu ada kini sudah tidak ada lagi, masyarakat kita yang perempuan sudah tidak mau lagi bekerja di sawah dan mereka cenderung mencari pekerjaan lain, senang menjadi TKW. Padahal sektor pertanian akan menjadi multifungsi penyedia pangan, tenaga kerja, kekayaan, dll. 
Dengan terpuruknya pertanian di negara kita ini, apakah berarti kita juga telah menterpurukkan perekonomian kita sendiri? Jawabannya ada di hati nurani kita. Maka di antara yang penting dikobarkan saat ini adalah kembali bersemangat mengelola pertanian kita. Ini sangatlah penting dan menjadi tulang punggung perekonomian kita. Kita harus bangkit dari mana untuik mandiri juga masih bingung. Kekuatan masyarakat kita semakin melemah. Maka mulai saat ini kita harus membangun budaya produksi dan mengikis nalar ongkang-ongkang di masyarakat kita. Dari sekian kader IPNU pasti kebanyakan dari keluarga petani tetapi kenapa jarang dari kita yang bercita-cita menjadi petani, atau setidaknya mau mengurusi pertanian? 
Dari sisi peradaban dan pengetahuan, kita juga masih rapuh. Pendidikan kita neolib. UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sangat pro pasar. Supremasi hukum juga belum bisa tegak. Hukum hanya memihak penguasa dan kaum modal. Sementara rakyat kecil selalu dikalahkan. Kita selama ini belum bisa menemukan jati diri kita sebenarnya. Kita tidak pernah berkata apa yang bisa kita perbuat. Kita yang juga senantiasa menyesuaikan dengan modernitas dari luar ini justru membuat kita akan selalu terjajah. Dulu saat kita ini dijajah Deandeles, padahal saat itu Belanda sedang dijajah Perancis. 
Mari kita ciptakan sentimen persatuan, bukan centimen primordial. Mari kita ingatkan ketika Indonesia sudah merdeka. Indonesia bukan China, Turki, Amerika, Thailand. Indonesia adalah Indonesia. Mari kita temukan kembali jati diri bangsa kita. Ketika banyak kendaraan bikinan Jepang. Di dalam kita tidak tertanam kebanggaan buah karya kita. Karena terlalu cepat kita mengikuti mereka dan terlalu cepat kita melupakan apa yang kita punya. Yang kita ikuti adalah apa yang sedang ngetrend saja. Dengan merawat klenik atau keris kita ingin mengajak orang di Jawa Tengah mau menghargai apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kita. Kita itu hanya memelihara saja sudah tidak bisa apalagi membuatnya. Kita ini sekarang bisanya hanya membeli, dan bila membeli kita hanya bisa mengonsumsi. 
Kebangkrutan kita juga terjadi pada ranah mental dan semangat kebangsaan. Sekarang ini ketika kita bicara nasionalisme sebetulnya hanya sebatas nasionalisme politik, sementara nasionalisme ekonomi tidak ada. Seharusnya kita tidak terkurung dalam etno politik. Ada pelajar/pemuda yang bicara nasionalisme tapi selanjutnya menyerang asrama pelajar/pemuda. Nalarnya bicara globalisasi tapi ternyata chauvinistik. Otonomi daerah sudah pada membangun otonomi politik. 
Ketika melihat partai yang merasa dirinya paling berhak menjadi presiden. Itu menunjukkan orang Indonesia sedang terjangkiti penyakit merasa bisa. Dari Merauke sampai Sabang semua merasa bisa menjadi pemimpin. Dulu, ada kerajaan-kerajaan, yang mempunyai centimen primordial atau kedaerahannya. Akibat dari itu, kesatuan dan persatuan susah terbangun di bangsa ini. Karena kita tidak mempunyai kesamaan untuk menghadapi penjajah. Contohnya Sultan Agung ketika menyerang VOC di Batavia (1628) padahal melewati kerajaan lain tapi merasa dirinya bisa maka akhirnya gagal. Sekarang partai juga begitu. Mereka merasa paling bisa semua. Partai-partai pecah karena dirinya merasa bisa semua. Padahal sejarah menunjukkan pecah-pecah tidak mampu mengusir penjajah. Hanya dengan persatuan kita dulu bisa mengusir penjajah. 
Dalam sistem pemilu 2009 kemarin yang kita temukan justru oligarki atau pembangunan dinasti-dinasti. Termasuk sekarang yang memilih anggota DPR bukan rakyat murni, tetapi PPS, PPK atau KPU (yang menambah atau mengurangi hasil suara pemilu). Rakyat hanya didefinisikan sebagai komoditas. Dalam konteks rekrutmen di daerah ditentukan oleh duit, dan keluarga utama. Parlemen kita selain diisi selebriti juga diisi oleh keluarga utama. Rata-rata umurnya muda, tetapi belum memiliki kapasitas yang mumpuni dan belum tentu mewakili kepentingan gerakan kaum muda. Mereka hanya selebritis dan anaknya pejabat.  
Dalam sejarah politik dunia, dahulu kita merasa bangga bahwa kita adalah pemain terpenting dunia. Dulu kita punya Tan Malaka atau Soekarno, yang berani menyuarakan pada dunia tetang gagasannya. Kita memang orang lokal yang berfikir global. Jadi tokoh-tokoh kita terdahulu adalah para pemain global. Bung Karno adalah orang berani dengan mengambil langkah keluar dari PBB. Tan Malaka pemikirannnya didengar dimana-mana. Sutan Syahrir juga. 
Dalam sejarah pergerakan nasional berdirinya Serikat Priyayi tahun 1906 oleh Raden Mas Tirto Adi Suryo sebagai tonggak kebangkitan nasional dan Syarikat Islam tahun 1909 oleh Samanhudi jelas-jelas mencantumkan kata merdeka dalam cita-cita pergerakannya, sementara Budi Oetomo belum. Serikat Priyayi sudah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa perhubungan bangsa kita. Padahal bicara masalah bangsa dan negara maka menjadi penting bahasa penyambung perhubungan dengan daerah lain. 
Dalam sejarah berikutnya, kita kemudian mengalami kejatuhan dimana dulunya menjadi pemain global, di era orde baru kita berubah menjadi pemain lokal dengan hanya di Asean. Bahkan sejak 1998, kejatuhan orde baru pimpinan Soeharto, membuat kita sering terbawa euphoria, dan sekarang di era reformasi ini kita malah di kunci dalam level nasional (sibuk dalam trias politika; sibuk rebutan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). 
Tapi sekarang ini kita menjadi sangat kacau. Yang terjadi kita adalah bunuh-bunuhan di dalam rumah, rebutan pileg sesama anak bangsa. Hari ini kita mengalami kemunduran yang dahsyat. Kita hanya menjadi aktor lokal dengan nalar local pula. Kita sebagai sebuah bangsa gagap menangkap kenyataan faktual. Kita akan bunuh-bunuhan apalagi sekarang ini mulai menguat etno-politik (politik kesukuan). 
Terkait kedaulatan NKRI, selama ini satu hal yang sangat berbahaya bagi kita adalah cara pandang kita terhadap Indonesia. Tahun 1945 Indonesia baru merdeka pada tanah. Pada waktu deklarasi Djuanda kita merdeka atas laut. Tahun 1982 kita merdeka dalam konteks merdeka kepulauan. Sedangkan saat ini kita belum memiliki kemerdekaan secara ekonomi-politik. Kita adalah negara yang berdiri menurut proklamasi 1945. Artinya, negara yang kita jalani bukanlah negara yang merdeka berdasarkan proklamsasi 45, tetapi merdeka dalam perjanjian. Dari perjanjian Roem-Royen sampai dengan saat ini. Artinya, negara kita merdeka di atas perjanjian-pejanjian. Pengetahuan kita tentang bangsa kita sendiri sudah diacak-acak sedemikian rupa. 
Sedangkan sisi pertahanan kita juga lemah. Peralatan perang serba terbatas. Alutsista (alat utama sistem senjata) kita masih kalah dengan negara tetanggga, sehingga mereka berani meledek kita. Pesawat terbang angkatan udara kita juga sering jatuh, entah karena peralatannya yang sudah kuno ataukah karena kesalahan teknisinya. Banyak radar senjata kita sudah mesin tua sehingga tidak bisa mendeteksi kapal asing lewat, apalagi kapal selam. Tidak bisa membedakan antara ikan dan kapal selam. Kenapa? Anggaran militer kita hanya 35 trilyun dari kebutuhan semestinya 120 trilyun. 
Pada pemilu presiden 2009 ini, kita mempunyai tiga pasangan calon presiden dan wapres yang semuanya ada dari mantan petinggi militer. Tetapi isu pertahanan yang sangat penting ini juga kurang diperhatikan. Maka jangan heran kalau kita diremehkan negara lain. Meskipun mereka punya ide yang warna-warni. Kalau kita harus jujur, mereka adalah stok pemimpin lama yang kurang peka terhadap situasi kebangsaan kontemporer terutama terhadap aspirasi kaum muda yang menginginkan keberanian mengambil perubahan cepat. Sebagai sebuah bangsa, kegagalan kita adalah tidak bisa merumuskan visi bersama kita sekarang ini mau apa dan mau kemana?  
Kemudian di sektor kelautan, nelayan adalah simbol hubungan antara nelayan satu pulau dengan pulau lain. Sekarang gerak nelayan sudah dibatasi. Suku Bajo (Sulawesi Tenggara) adalah suku yang mengatakan bahwa tempat tinggal kita adalah laut. Kenapa Belanda bisa mengalahkan Bone karena dia berkoalisi dengan Tallo. Belanda hanya memiliki 6000 pasukan. Kita kalah karena Belanda mengontrol laut sehingga dapat menyumbat distribusi makanan. Sebenarnya kita kalah dalam strategi memanfaatkan ruang yaitu laut. Laut adalah jalur perdagangan dan komunikasi dengan dunia luar. Kalau jalur itu sudah bukan kita yang menguasainya maka kita akan terkunci di daratan. Padahal kita punya kekayaan laut yang banyak, dan justru ikan-ikan besar kita sekarang banyak yang tercuri orang asing yang mempunyai tekhnologi canggih.
Sementara sejarah perdagangan kita pun sudah dihancurkan, setelah Nahdhatut-Tujar yang kemudian berganti menjadi Nahdlatul Ulama yang mengalami kemunduran, juga SDI (Syarekat Dagang Islam) mengalami kemunduran setelah berubah menjadi Syarekat Islam yang kemudian merubah diri menjadi Partai Politik. 
Jika seperti itu terus dan tetap suasananya seperti ini maka terjajahlah terus kita. Orang Thailand menginginkan agar Indonesia tetap menjadi pasar buah-buahan bagi mereka. Apa yang kita miliki tidak sama dengan yang mereka punya. Di China mengembangkan pengobatan tusuk jarum, dan mereka tetap memelihara itu. Di Indonesia ada bayi panas dulu dipijet, tapi kita tidak pernah mau mengembangkan ilmu pijet. Jika kita melihat F1, itu tidak akan pernah nyalip, sama seperti kereta api itu tidak akan bisa nyalip gerbang yang di depannya. Maka kalau ingin nyalip kita harus buat rel sendiri.
Dalam sistem ekonomi kelautan juga tidak pernah serius digarap. Seharusnya kita bisa mengulang kejayaan ekonomi kelautan masa lalu. Soal sosial kulturalnya, seharusnya kita juga mengembangkan di wilayah kelautan. Di sini juga muncul soal dalam sistem kelautan dimana model pengelolaannya tidak jalan. Kita sudah punya UU Kelautan yang tertua di dunia. Dulu kita juga punya kapal tercepat, kapal sandar. Tapi kita tidak pernah memaksimalkan potensi kita tersebut. Kemarin ada konflik Jusuf Kalla dengan Fadel Muhammad. Sebenarnya itu bukan semata konflik politik, tapi sebenarnya perebutan sumber minyak di dasar laut di Sulawesi. 
Bagaimana strategi kita untuk bisa keluar dari telikungan kapitalisme neoliberal dan cengkeraman bangsa asing, khususnya AS? Strategi apa yang bisa kita tempuh agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar di pentas global? Langkah apa dan dari mana kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Tetapi sebagai ikhtiar kolektif harus kita tempuh langkah-langkah konkret untuk menjawab semua pertanyaan tersebut yaitu mulailah berproduksi. Sekarang ini era pasar bebas. Ini kenyataan. Maka berproduksilah dan siapkanlah untuk bersaing dengan bangsa lain. Semua bangsa mengalami globalisasi. Semua bertaruh dalam kompetisi global. 

Membaca Kenyataan Indonesia yang Sesungguhnya
Indonesia adalah Negara Berdaulat dan menjadi bagian dari masyarakat dunia. Kita hidup di dalam sebuah keadaan yang saling berhubungan atau memiliki relasi antara satu dengan yang lainnya. Situasi dunia sekarang ini menjadi peluang sekaligus tantangan dan ancaman bagi eksistensi bangsa ini untuk maju dan jaya, walau sesungguhnya kita tidak bisa berkompromi dengan sesuatu yang dikhotomik. Maka kecepatan berfikir kita yang tidak bisa belajar kompleksitas akan susah menemukan titik persoalan yang sebenarnya. Dalam situasi demikian, jalan terbaik untuk melakukan perubahan bangsa adalah dengan memahami kenyataan Indonesia yang sesungguhnya. Di situlah kita harus mengkaji Indonesia dalam perspektif geo strategi internasional dan sejarah masyarakat.
Membaca geostrategi internasional adalah membaca situasi di sekitar kita termasuk situasi eksternal sebagai upaya untuk mengurai kenyataan yang sesungguhnya sehingga kita mengetahui di medan mana kita sekarang berada. Geo strategi internasional adalah gabungan dari geo politik, geo ekonomi dan geo kultural. 
Dengan mempelajari geo strategi, kita akan mengerti bahwa situasi sekarang ini pasar bebas sudah dilaksanakan dan kita menjadi bagian darinya, serta kita sudah dihadapkan pada sebuah medan pertarungan terbuka baik ekonomi, politik, bahkan pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, jangan sampai disalahtafsirkan. Dalam suasana dunia seperti ini, maka hanya bangsa-bangsa yang mempunyai SDM baguslah yang akan tetap bisa survive. Sementara yang tidak mempunyai SDM bagus, akan terlempar dan punah, yaitu orang-orang lokal yang tidak mampu mengikuti gerak sistem dunia. 
Sedangkan membaca sejarah masyarakat hakikatnya adalah membaca diri kita. Dengan belajar mengurai sejarah, kita akan mengerti jati diri bangsa yang sebenarnya, mengetahui ruang bathin masyarakat kita, mengetahui hakikat kedaulatan tanah-air kita, mengetahui kultur masyarakat kita yang sebenarnya, mengetahui siapa nenek-moyang kita, mengetahui kebesaran masa lalu kita baik di era Majapahit, Sriwijaya, Pajajaran, Demak, dlst. Belajar sejarah akan menjadi metode jitu untuk merajut kembali memori kolektif yang akan memperkuat identitas dan mengobarkan semangat kebangsaan. 
Pertanyaannya, siapkah kita bersaing dalam pasar bebas? Ini yang harus disiapkan. Selama ini banyak dari kita yang masih minder. Kita bangsa yang inlander (mental kuli) dan selalu mengikuti asing. Menurut KH. Hasyim Wahid atau biasa disapa Gus Iim (2006), tantangan kita sebagai bangsa pasca-kolonial adalah perasaan minder. Bahwa sisa kolonialisme yang paling merusak psiko-histori masyarakat negara-negara Dunia Ketiga adalah perasaan bawah sadar kolektif masyarakat negara Dunia Ketiga yang meyakini bahwa Barat adalah superior, teladan, dan pusat dunia; sementara di luar Barat merupakan subordinat. “Namun, sampai saat ini, yang masih hidup di dalam pandangan banyak pemimpin Dunia Ketiga secara permanen bahwa the West was best and the rest had to follow  sebagaimana kata Ronaldo Munck (1999: 201), dan para petinggi republik Indonesia ini merupakan salah satu kelompok di antara pemimpin-pemimpin semacam itu,” tulis Gus Iim. 
Situasi ini lebih parah lagi ketika Francis Fukuyama melakukan provokasi dengan mengatakan bahwa kapitalisme-liberalisme adalah akhir sejarah (the end of history). Maka ini benar-benar telah menghancurkan pandangan dunia dan cara berpikir masyarakat Dunia Ketiga sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Padahal, jelas Gus Iim, fakta menunjukkan bahwa peta geopolitik dunia terus bergerak sejalan dengan perubahan aliansi, daya saing dan kecerdikan para pemimpin negara. Kenapa para pemimpin Indonesia bermental begitu? 
Dalam pemaparan Gus Iim, kejadian itu bermula pada akhir tahun 1960-an, setelah Sidang MPRS tahun 1966 yang menunjuk Soeharto sebagai kepala pemerintahan sementara, karena Presiden (Soekarno) dinyatakan tidak mampu melaksanakan tugasnya, Indonesia secara perlahan berkiblat ke Barat, khususnya Amerika Serikat. Selain menunjuk Soeharto sebagai kepala pemerintahan, Sidang MPRS juga menginstruksikan kepadanya untuk membentuk pemerintahan baru dengan sasaran utama: stabilisasi politik, rehabilitasi ekonomi dengan menjalankan pembangunan nasional, dan mempertahankan politik luar negeri yang bebas. Tidak lama setelah pemerintahan baru terbentuk, Gus Iim menjelaskan, Sultan Hamengkubuwono IX mengumumkan bahwa Indonesia akan berusaha memulihkan kembali hubungannya dengan Dana Moneter Internasional (IMF). 
Pada saat itu, Sultan baru saja berhasil dalam perundingan untuk memperoleh kredit darurat sebesar US$ 30 juta di Tokyo. Menanggapi langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia itu, papar Gus Iim, pada pertemuan di Tokyo tanggal 19 Juli 1966 kreditor-kreditor utama Indonesia setuju untuk menjadwalkan kembali pembayaran utang-utang luar negeri yang waktu itu diperkirakan mencapai US$ 2,3 milyar. Para kreditor juga menyusun rencana untuk memberikan bantuan ekonomi lebih lanjut. Juga diputuskan untuk mengembalikan kekayaan milik asing yang disita di masa konfrontasi, dan untuk kembali berusaha menarik investasi asing (Ulf Sundhaussen, 1986: 418). 
Tidak hanya itu, kata Gus Iim, untuk memperkuat dukungan dan legitimasi terhadap pembangunan nasional, TNI AD bekerjasama dengan kaum teknokrat liberal menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat ke-2 di SESKOAD pada tanggal 25-31 Agustus 1966. Dalam seminar itu ditegaskan pentingnya keterlibatan ABRI dalam menjaga stabilitas politik dan stabilitas pembangunan ekonomi. “Para perwira TNI AD dan teknokrat lulusan Amerika percaya bahwa pemulihan kondisi perekonomian nasional hanya bisa dilakukan melalui pelaksanaan program pembangunan (developmentalisme) yang didukung oleh doktrin dwi-fungsi ABRI,” tandas Gus Iim. 
Dalam pandangan Benedict R. O'G Anderson, ABRI dengan segera mendukung strategi pembangunan dan memberi jaminan atas stabilitas yang dipersyaratkan – terutama demi penanaman modal asing – karena pertama-tama waktu itu super inflasi sedang melanda perekonomian Indonesia (Anderson, 1983: 488). Namun, upaya ABRI itu juga bisa dilihat sebagai bentuk pembersihan nama baik korps karena sepuluh tahun sebelumnya ABRI, dalam hal ini TNI AD, justeru menjadi pelaku utama pengambilalihan perusahaan asing di Indonesia. Sejak Desember 1957, beberapa prajurit ABRI mendapat tugas untuk mengambilalih (nasionalisasi) perusahaan asing (Richard Robison, 1986: 251). 
Setelah diambil alih, AH Nasution menginstruksikan agar perusahaan yang dinasionalisasi berada di bawah pengawasan dan penguasaan Angkatan Darat. Pada 1958 ketika perusahaan-perusahaan asing itu diintegrasikan ke departemen-departemen pemerintah, Nasution mensyaratkan agar para perwira senior aktif atau perwira senior yang tidak memiliki tugas ataupun purnawirawan memperoleh kedudukan dalam manajemen perusahaan-perusahaan itu. Nasution juga menginstruksikan agar perwira-perwira yang secara administratif bertanggung jawab pada pelaksanaan UU Darurat Perang itu dimasukkan ke dalam dewan manajemen perusahaan-perusahaan asing yang dinasionalisasi (Farchan Bulkin, 1984: 14).
Perubahan kiblat ke Amerika tidak hanya terjadi di kalangan teknokrat dan ilmuwan sosial lainnya. Para pemikir Islam juga melakukan hal yang sama, Nurcholis Madjid merupakan salah satunya. Menurut Greg Barton, Nurcholish Madjid semula adalah pemikir Islam yag sangat anti-Amerika. Namun setelah ia belajar di Universitas Chicago Amerika Serikat, sikapnya berubah 180 derajat membabi-buta dengan pendirian baru yang pro-Amerika. Bahkan Nurcholish Madjid menilai bahwa Amerika lebih Islami dari masyarakat Islam yang pernah ia kenal, dalam hal keadilan sosial, persamaan hak dan kesempatan (Gerg Barton, 1999: 80). “Orientasi ekonomi dan politik ke Amerika terus berlanjut sampai saat ini, seperti dalam pembuatan kebijakan, komparasi sistem politik dan ekonomi. Di samping itu, ada kepentingan negara besar untuk menciptakan ketergantungan abadi pada Indonesia sendiri,” jelas Gus Iim. 
Fakta demikian, menurut Gus Iim, sekurang-kurangnya menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, secara langsung maupun tidak langsung timbul pemihakan para pengambil kebijakan kepada ideologi ekonomi kapitalisme internasional. Dengan sendirinya, pemihakan itu membentuk subordinasi terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional (World Bank/IMF/BIS) dan perdagangan internasional (WTO). Pemihakan itu merupakan manifestasi dari pengingkaran terhadap undang-undang dasar 1945 yang sejak awal menegaskan bahwa Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif. 
Kedua, di tengah kemunculan transisi hegemoni dalam kancah politik dunia sejak awal 1990-an yang bahkan menjurus kepada krisis hegemoni, kecenderungan untuk terus berkiblat kepada Amerika menunjukkan kegagalan Indonesia membaca situasi geopolitik internasonal yang mengalami transformasi cukup dinamis. Kalau demikian halnya yang terjadi, telah terjadi degradasi pemikiran geopolitik di kalangan para pemimpin bangsa Indonesia saat ini. Sebaliknya, dulu, tokoh pergerakan kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka, memiliki pemahaman relatif utuh atas struktur geopolitik. Pemahaman yang utuh ini memungkinkan mereka merancang kemerdekaan Indonesia lima belas tahun sebelum kemerdekaan itu diproklamasikan. 
“Dengan pemahaman geopolitik yang komprehensif itu pula, para pendiri Republik dengan cerdas dan cerdik bisa mencuri momentum, sehingga ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II, mereka bisa memanfaatkan situasi untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kecerdasan dan keberanian seperti itu tidak ditemukan di kalangan para petinggi negeri kita dewasa ini,” tandas Gus Iim. 
 Sementara itu, runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan hancurnya Uni Sovyet pada tahun 1991 menciptakan dampak psiko-politik yang cukup besar. Citra sistem ekonomi kapitalisme Barat dan sistem politik demokrasi liberal semakin populer dan menjadi rujukan banyak negara. Francis Fukuyama, juru bicara Barat yang sangat fasih, menyebut peristiwa itu sebagai akhir sejarah: yaitu demokrasi liberal + pasar bebas sebagai sistem paling teruji dan sebagai puncak pencapaian peradaban manusia. 
Para pemimpin politik dan pemerintahan di seluruh permukaan bumi, tak terkecuali yang otoriter, dipaksa untuk menerapkan sistem ekonomi pasar dan politik demokrasi liberal (Francis Fukuyama, 1992: 45). Sebuah tulisan lain yang berjudul “The West has Won: Radical Islam can't Beat Democracy and Capitalism', yang dimuat dalam The Guardian, edisi 11 Oktober 2001, Fukuyama secara provokatif juga menyatakan bahwa 'there does seem to be something about Islam, or at least the fundamentalist versions of Islam that have been dominant in recent years, that makes Muslim societies particularly resistant to modernity'. 
Menurut Fukuyama, karakteristik utama modernitas adalah demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas. Sejalan, namun berbeda dengan nalar Fukuyama, Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order (1996) menyebutkan karena al-Quran menolak pembedaan agama dengan otoritas politik, peradaban Islam tidak dapat hidup berdampingan dengan demokrasi. Secara faktual juga tidak ada bukti bahwa Islam kompatibel dengan sistem demokrasi dan ekonomi liberal Barat secara umum. 
Di samping itu, Huntington juga menyatakan bahwa terjadi pergesaran geopolitik dan kemunculan benturan antar peradaban (clash of civilization). Arti penting wilayah geografis dalam konflik internasional semakin berkurang. Negara tidak lagi dicirikan oleh wilayah tetapi dicirikan oleh peradaban. Dengan ciri tersebut, kata Huntington, dunia hanya terbagi menjadi tujuh negara peradaban besar yaitu: (1) peradaban Barat, (2) peradaban Konfusian (China dan IndoChina), (3) peradaban Jepang, (4) peradaban Islam, (5) peradaban Hindu, (6) peradaban Latin, dan (7) peradaban Ortodoks Slavia.
Konflik yang terjadi dalam politik internasional, dalam kaca mata Huntington, bukan lagi konflik memperebutkan wilayah jajahan dalam usaha untuk memperbesar wilayah negara tetapi merupakan konflik memperebutkan daerah pengaruh dalam rangka memperluas peradaban mereka. Dunia pun dibelah menjadi dua, yaitu dunia kita (Amerika) atau world of light dan dunia mereka (non Amerika) yang dipandang sebagai world of darkness. World of light ditandai dengan kebebasan, demokrasi, dan berbagai kemajuan. World of darkness ditandai dengan penindasan, tirani, keterkekangan dlsb. Pembelahan dunia menjadi dua seperti ini pernah digambarkan of Frank Capra, sutradara Hollywood, dalam film dokumenternya berjudul Why We Fight: Prelude to War. 
Konseptualiasi atau tepatnya politik pencitraan seperti itu sebenarnya sudah menjadi ciri khas ideologi liberal. Pada masa kolonialisme klasik, Barat memposisikan diri sebagai “civilization” sementara bangsa-bangsa yang mereka jajah disebut “barbarians”. Setelah era kolonialisme berakhir, wacana itu kemudian diubah menjadi Barat adalah “democracy”, sedang lawan mereka sebagai “totalitarianism”. 
Kini, wacana itu kembali diubah. Ekspansi Barat dibawa lewat wacana “globalisasi” atau “McWorld”, sementara pihak-pihak yang menentangnya disebut “kelompok Jihad” atau “terorisme” (Mohammed A Bamyeh, 2000: 26) serta “Jihad vs. McWorld” (Benjamin Barber, 1996). Beberapa hari setelah peristiwa 11 September 2001, pemerintah AS mengeluarkan pernyataan resmi: Every nation in every region now has a decision to make. Either you are with us or you are with the terrorists. This is the world's fight, this is civilisation's fight.
Dalam pandangan Gus Iim, provokasi Fukuyama dan teori konflik peradaban Huntington itu ternyata menjadi perangkap terutama bagi kelas menengah muslim di perkotaan. Akibatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama muncul berbagai bentuk radikalisasi pemikiran dan gerakan Islam. 
Di Indonesia, radikalisasi dimanifestasikan dalam berbagai pemikiran dan kelompok yang sangat beragam. Mulai dari kelompok yang memperjuangkan Islamisasi pemerintahan, Islamisasi masyarakat, sampai gerakan-gerakan yang cenderung pada kekerasan dan teror. Sebagai lawan dari kelompok-kelompok radikal ini, muncul gerakan Islam yang berteduh di bawah payung liberalisme. Radikalisme muncul karena provokasi tersebut menimbulkan kecemasan dan perasaan terancam di kalangan masyarakat Islam. 
Radikalisasi itu didukung pula oleh fakta sejarah pertentangan teologis dan politis antara Barat dan Islam, terutama sejak Perang Salib dan masa kolonialisme. Pada saat itu, hampir seluruh dunia Islam yang membentang dari kawasan Maghribi di Afrika Utara/Barat sampai Asia Tenggara dijajah oleh Barat. Rusia menjajah kawasan Siberia dan kemudian masuk ke Asia Tengah. Belanda menguasai Indonesia. Perancis menduduki Maroko, Aljazair dan Tunisia. Italia menjajah Libya. Inggris menguasai Malaysia dan Asia Selatan. 
Situasi dunia menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran geopolitik dan geoekonomi global. Dalam pergeseran geopolitik pasca runtuhnya Tembok Berlin dan ambruknya Uni Sovyet seperti itu, ungkap Gus Iim, seharusnya reformasi politik untuk menggantikan rezim Orde Baru telah dapat dilakukan sejak awal 1990-an. 
Soeharto seharusnya sudah bisa dilengserkan pada saat itu. Berakhirnya perang dingin seharusnya dibaca oleh para pemimpin politik di Indonesia sebagai berakhirnya dukungan AS kepada pemerintahan Soeharto, karena bahaya komunis sudah lewat. Namun momentum seperti itu tidak terbaca karena apa yang disebut dengan “Cold War mentality” masih kuat.
Jadi, lanjut Gus Iim, walaupun akhirnya Soeharto bisa dipaksa turun, kejatuhannya bukanlah akibat dari munculnya kekuatan-kekuatan pro-demokrasi yang sudah mencapai kematangan, tetapi karena sudah tidak ada lagi dukungan AS. Bahkan, antara tahun 1995-1997, komunitas intelijen AS memberikan bantuan sedikitnya 26 juta dollar AS kepada LSM-LSM anti-Soeharto (Kompas, 9 Februari 2001). 
Meski AS mendukung pembantaian dan tindakan-tindakan represif yang dilakukannya selama ini, kejatuhan Soeharto, pada akhirnya, terjadi bukan karena tindak kejahatan yang dilakukannya selama berkuasa, melainkan karena ia dianggap sudah tidak patuh lagi kepada AS dan memang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh AS (lihat Noam Chomsky, 2000). Namun, runtuhnya Uni Sovyet sebenarnya tidak dengan sendirinya menjadikan AS dan sekutunya sebagai kekuatan hegemonik tunggal. Situasi yang terjadi justru apa yang disebut sebagai krisis hegemoni. Krisis ini ditandai oleh tiga hal berbeda, tetapi saling berhubungan yaitu peningkatan konflik sosial, kompetisi yang intensif antar-perusahaan dan antar-negara, dan kemunculan kekuatan-kekuatan dan aliansi-aliansi baru. Dengan perkataan lain, berakhirnya Perang Dingin tidak memunculkan stabilitas monolitik, tetapi menyebabkan terjadinya serangkaian krisis dalam sistem politik dunia.

Indonesia dan Geoekonomi Dunia  
Dengan merunut sejarah geoekonomi dunia, kita tahu bahwa jika pada tahun 1800-an yang berkuasa atas ekonomi global adalah negara-negara Eropa lewat kejayaan kekaisaran Spanyol abad ke-16 dan Inggris Raya abad ke-19, tahun 1900-an merupakan abad Amerika (Pax Americana) dan abad ke-21 ini menjadi abad milik negara-negara Asia. 
Pada abad 21 ini, kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti China, India, Rusia, dan Brasil (BRIC) akan membayangi, bahkan kemudian menggusur posisi triad AS-Uni Eropa-Jepang yang menyumbang dua pertiga PDB global memasuki abad ke-21. Perkiraan Goldman Sachs, tahun 2050 China akan menjadi perekonomian terbesar, menggeser AS ke urutan kedua, disusul India.
Menurut Goldman Sachs, keempat negara akan mengambil alih posisi tujuh negara maju G-7 pada tahun 2032, jauh lebih cepat daripada perkiraan semula (2040). China akan menyalip AS pada 2027 dan India akan menyamai AS pada 2050. Pada 2050, PDB China diperkirakan 70,71 trilyun dollar AS atau 84% lebih besar daripada PDB AS yang diperkirakan 38,514 trilyun dollar AS waktu itu. Sementara PDB India diperkirakan 37,66 trilyun dollar AS. 
Pada tahun 2050 itu, baik PDB China maupun India juga akan melalpaui kombinasi PDB G-7 di luar AS, yang pada saat itu diperkirakan 27,52 trilyun dollar AS. Di luar BRIC, ada sebelas negara (N-11) yang diperkirakan juga kan berperan penting membentuk peta geoekonomi baru pada pertengahan abad, yakni Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Korsel, Filipina, Turki, dan Vietnam. Meksiko dan Indonesia bahkan berpeluang menyalip semua negara G-7 kecuali AS pada tahun 2050. Indonesia, Nigeria, dan Korsel berpeluang menyalip Italia masing-masing tahun 2044,2048 dan 2020. 
Pergeseran peta geoekonomi tersebut, menurut ekonom, Jagdish Sheth, antara lain dipicu ambruknya komunisme, pragmatisme ekonomi, dan semakin menuanya struktur demografi negara-negara maju sekarang ini. Selain itu, faktor yang juga berperan besar adalah globalisasi.  
William Engdahl, penulis buku Full Spectrum Dominance: Totalitarian Democracy in the Bew World Order, menggambarkan kontras dua kubu. Kedua kubu, yakni kelompok negara-negara yang masih sangat bergantung pada sistem nilai tukar dollar AS, termasuk di sini negara-negara di zona euro (Eurozone) dan kelompok emerging markets, terutama BRIC (Brasil, Rusia, India dan China). Interaksi keduanya menuntun pada erosi pesat posisi AS sebagai adidaya politik dan ekonomi global. Faktor demografis sebagai asset terbesar emerging markets, seperti China, Indonesia, India, dan Brasil, menjadi kekurangan negara-negara maju. 
Keajaiban ekonomi Jerman tahun 1914, menurut dia, juga karena negara itu memiliki modal serupa, yakni pertumbuhan pesat dan dinamis penduduk usia muda yang produktif, sementara pada saat yang sama Inggris dan Perancis mengalami stagnasi, bahkan penyusutan penduduk menyusul Depresi Besar Inggris 1873 yang menuntun pada emisi massif penduduk ke AS. 
Hal lain yang membedakan G-7 dengan emerging markets, adalah G-7 mulai dari AS hingga Jerman dan Italia kian tercekik utang yang menggunung. Angkanya mulai dari 80% dari PDB dan 77% di Jerman hingga lebih dari 100% di Jepang. Hanya kalah dari Zimbabwe yang 218%. Sementara di kalangan emerging markets, hanya India yang rasio utangnya cukup tinggi, yakni 58% dari PDB. Brasil yang mengalami krisis utang serius pada dekade 1980-an kini mencatat utang yang relatif terkendali, 45% dari PDB. 
Sementara Indonesia 33%, Korsel 28%, dan China 18%. Untuk Rusia, bahkan hanya 6% karena negara ini agresif memanfaatkan devisa dari minyak untuk membayar utang luar negeri dan utang ke IMF. Selain itu, stabilitas ekonomi emerging markets juga ditopang cadangan devisa yang semakin menumpuk, mencapai 70% dari total cadangan devisa global. China dan Rusia menguasai porsi nomor satu dan ketiga terbesar, masing-masing 2 trilyun dollar AS lebih dan 404 miliar dollar AS per akhir 2008. Zbigniew Brzesinski, profesor kebijakan luar negeri AS pada School of Advances International Studies John Hopkins University yang juga penasehat keamanan nasional pada era Jimmy Carter, mengatakan, stabilitas keamanan, politik dan ekonomi global pada abad ke-21 akan sangat ditentukan oleh bagaimana AS mengelola relasi dengan China, Eropa, dan Rusia yang disebutnya sebagai the geostrategic triad. 
Terkait dengan ini semua, negara-negara SCO (Shanghai Coorporation Organisation) sudah ancang-ancang untuk segera mengkudeta ekonomi AS. Hal itu bisa dilihat ketika negara-negara anggota Organisasi Kerja sama Shanghai (SCO) menolak terhadap keinginan Amerika Serikat untuk hadir pada pertemuan SCO yang dihadiri Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Presiden China Hu Jintao, dan para pemimpin negara-negara SCO lainnya di Yekaterinburg, Rusia, pertengahan Juni 2009. Ini akan menjadi pukulan baru bagi AS.
Apa pentingnya dari pertemuan tersebut? Satu hal yang harus dipahami bahwa salah satu agenda utama pertemuan yang dilangsungkan di kota yang sebelumnya bernama Sverdlovsk itu adalah membahas penggantian dollar AS sebagai mata uang cadangan devisa (reserve currency) dunia. Mengingat strategisnya dollar AS bagi eksistensi imperium AS, manuver ini ibaratnya “kudeta” dipercepat terhadap hegemoni AS oleh kekuatan-kekuatan ekonomi global yang baru. 
Ekonom Michael Hudson dalam tulisan di Global Research menyebut pertemuan ini sebagai “pertemuan terpenting abad ke-21, sejauh ini”. Sejumlah ekonom lain melihat pertemuan itu sebagai pertanda awal tamatnya hegemoni dollar AS sebagai reserve currency dan berakhirnya imperium Amerika. 
Benarkah hari-hari ini dimana dollar AS menjadi mata uang utama cadangan devisa dunia sudah mulai bisa dihitung dengan jari? Ketahuilah, selain China dan Rusia, anggota SCO lainnya adalah empat negara bekas Uni Soviet: Kazakhtan, Tajikistan, Kirgistan, dan Uzbekistan. Empat negara lain juga hadir sebagai pengamat, yaitu Iran, India, Pakistan, dan Mongolia.
Pada hari kedua forum SCO itu, juga berlangsung pertemuan para pemimpin BRIC (Brazil, Rusia, India, China). BRIC adalah empat negara yang sebelumnya diramalkan Goldman Sachs bakal menggusur posisi trial AS-Uni Eropa-Jepang sebagai kekuatan terpenting ekonomi global 2050. Komposisi negara yang hadir dan agenda pertemuan Yekaterinburg itu memunculkan spekulasi: China dan Rusia tengah menghimpun kekuatan untuk menantang dominasi AS. Dua negara ini untuk sementara melupakan rivalitas di antara mereka dalam perebutan pengaruh politik di kawasan. 
Selain soal reserve currency, pertemuan juga membahas sistem pertahanan militer. Gagasan mata uang cadangan devisa baru global bergulir sejalan dengan desakan dilakukannya reformasi sistem kapitalisme pasar bebas dan perombakan arsitektur finansial global yang terbukti rentan krisis. Persoalannya, akankah momentum ini terus berlanjut? Soalnya, bukan baru kali ini manuver untuk mendongkel hegemoni dollar AS muncul dalam 60 tahun lebih pengalaman dollar AS sebagai reserve currency (cadangan devisa) global. Namun, baru kali ini maneuver menemukan momentumnya seperti sekarang. 
Selain Rusia dan China, gagasan reserve cuurency baru juga didukung oleh sejumlah negara maju, seperti Perancis, Inggris, dan Jerman, serta negara-negara utama Asia dan Amerika Latin. Komisi Ahli mengenai Reformasi Finansial Internasional PBB Maret lalu juga merekomendasikan ditinggalkan ditinggalkannya dollar AS sebagai mata uang cadangan devisa dan menggantinya dengan sekeranjang mata uang kuat. Sebagai negara pemegang cadangan devisa terbesar dunia, China berkepentingan melindungi akumulasi cadangan devisanya karena ada kekhawatiran pemerintahan Barack Obama akan menempuh kebijakan yang bisa merongrong nilai cadangan devisa tersebut untuk bisa keluar dari resesi ekonomi sekarang ini. 
Langkah para pemimpim G-20 yang menyetujui penggunaan Special Drawing Rights (SDR-uang kertas kuasi yang diterbitkan IMF, nialinya ditetapkan berdasarkan sekeranjang mata uang kuat) senilai 250 miliar dollar AS untuk memperkuat permodalan IMF dalam rangka merespons dampak krisis global dinilai ekonom Ambrose Evans-Pritchard sebagai satu langkah de facto peluncuran mata uang global, dengan IMF sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengelola. 
Karena itu, ancaman terhadap status dollar AS sebagai reserve cuurency kali ini tidak bisa dianggap remeh. Sebagai catatan, China adalah pemegang sekitar 30 % atau 2 trilyun dollar AS lebih, dari total 6,8 trilyun dollar AS cadangan devisa global tahun 2008. Adapun Rusia adalah pemilik cadangan devisa ketiga terbesar dunia, yakni 404 milyar dollar AS per Desember 2008. Dari 6,8 trilyun dollar AS cadangan devisa global, sebesar 4,2 trilyun dollar AS merupakan cadangan devisa yang ditempatkan (allocated reserves) dalam asset valas, dan sisanya unallocated reserves.
Dalam proposal yang disampaikan dalam pertemuan G-20 April lalu, Rusia bersama China sudah mengusulkan dibentuknya suatu mata uang global, untuk menggantikan dollar sebagai mata uang cadangan devisa. Mata uang cadangan devisa yang disebutnya supra-national reserve cuurency itu harus bebas dari kepentingan individu negara. Sebagai tahap awal disulkan penggunaan SDR yang dikelola IMF sebagai reserve cuurency. 
Menurut data Dana Moneter Internasional (Currency Compasition of Official Foreign Exchange Reserves / COFFER) sebesar 4,25 trilyun dollar AS atau sekitar 70 % dari cadangan devisa global ada do tangan negara-negara berkembang. Porsi kepemilikan cadangan devisa negara berkembang ini meningkat drastis dari hanya 818 miliar dollar AS tahuh 2001. Artinya dalam tujuh tahun lima kali lipat lebih, sementara cadangan devisa negara-negara maju hanya meningkat dua kali lipat dari 1,23 trilyun dollar AS menjadi 2,46 trilyun dollar AS. 
Menurut Gubernur Bank of China, Zhou Xiaochuan dalam pernyataan di situs bank sentral tersebut menyebut beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu reserve cuurency. Pertama, mata uang tersebut harus ditambatkan pada suatu benchmark yang stabil. Kedua, emisi mata uang tersebut harus diatur oleh serangkaian aturan yang ketat untuk menjamin suplai yang teratur. Ketiga, penyesuaian yang dilakukan juga tidak boleh dipengaruhi (disconnected) oleh kondisi ekonomi dan kepentingan individu negara yang mata uangnya dipakai sebagai reserve cuurency. 
Situasi ini menjelaskan kepada kita semua bahwa peta geoekonomi dunia pasca krisis global memang benar-benar sudah berubah dan ini terjadi di depan mata, tidak lagi uthopia. Selain momentum reformasi sistem keuangan dan ekonomi global ke arah struktur yang lebih sehat, “berkah” lain dari krisis ekonomi bglobal -bisa dikatakan demikian- adalah semakin cepatnya perubahan peta geopolitik dan geoekonomi global dari yang semula unipolar menuju multipolar sebagaimana sudah dijelaskan tersebut di atas.
Setelah melihat peta geopolitik dan geoekonomi global berubah sedemikian cepat itu, lantas bagaimana seharusnya Indonesia bersikap? Dalam ranah itulah kita perlu merefleksi situasi politik Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir era baru pasca-Soeharto dimana politik luar negeri Indonesia dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Menurut Kompas, tatanan dunia baru yang terus berproses tersebut menuntut politik luar negeri kita melakukan berbagai penyesuaian. 
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 antara lain disebutkan bahwa, “Bagi Indonesia, sebagai Negara yang baru membangun demokrasi, pilihan kebijanakn luar negeri (LN) tidak lagi semata-mata menyangkut perspektif luar negeri yang berdiri sendiri. Pertautan dinamika internasional dan domestic cenderung makin mewarnai proses penentuan kebijakan luar negeri. Walaupun demikian, satu prinsip yang tetap tidak boleh diabaikan adalah seluruh proses perumusan kebijakan luar negeri ditujukan bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai bidang.” (Kompas, Minggu, 14 Juni 2009, hlm. 5). 
 Dalam arahan UU tersebut juga disebutkan dasar kebijakan politik luar negeri Indonesia, yaitu menumbuhkan penguatan citra Indonesia sebagai Negara yang mampu memadukan aspirasi umat Islam dengan upaya konsolidasi demokrasi, memberi perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, meningkatkan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif, dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan hak-hak dasar warga Negara secara konsisten. 
Di tambah juga dalam UU tersebut, dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berorientasi kepada kepentingan nasional, Indonesia berupaya memperkuat kelembagaan regional di tengah kecendrungan menguatnya unilateralisme. Sebagai UU, hal-hal yang tercantum di dalam UU tersebut tentu harus menjadi pegangan bagi siapapun yang memerintah, siapapun yang menjadi menteri luar negeri. Sayangnya berbagai perkembangan terbaru dalam ranah politik internasional khususnya pergantian presiden di AS (kemenangan Obama) membuat asumsi mengenai kecenderungan menguatnya unilateralisme perlu dipertanyakan kembali. 

Indonesia dan Geopolitik Dunia 
Menurut Dr. Rizal Sukma, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dalam seminar nasional bertema “Refleksi dan Proyeksi Satu Dasawarsa Politik Luar Negeri Indonesia” di Kampus FISIP UI Depok, beberapa hari lalu (seperti dikutip Kompas, Minggu, 14 Juni 2009, hlm. 5), menyebutkan ada lima tantangan yang harus diperhatikan dengan mendalam terkait tantangan Indonesia dalam menghadapi situasi geopolitik dunia sekarang ini: Tantangan pertama, mesikipun transformasi global sedang terjadi, pada saat yang sama kita juga menyaksikan masih adanya persistensi dari tatanan yang lama. Di satu pihak dunia ini sudah berubah ke struktur nonpolar. Situasi ini oleh Farid Zakaria disebut dengan Post-American World (Dunia Pasca-Amerika). 
Dalam struktur internasional seperti ini, kata Rizal, kekuatan tidak hanya terbagi di antara beberapa negara besar, tetapi terbagi hampir di semua aktor, bukan hanya aktor negara, tetapi juga yang non-negara sehingga sulit untuk menentukan siapa yang menjadi kekuatan hegemon dalam konteks demikian. Akan tetapi, hal ini juga bukan berarti memudarnya AS. AS masih mempunyai kekuatan yang sangat besar, proyeksinya 30-40 tahun akan tetap menjadi Negara yang sangat kuat, tetapi pada saat yang sama Negara-negara yang lain pun akan terus berjuang menjadi sama dengan kuat dengan AS. Transformasi global itu juga tercermin dari adanya perdebatan atau pergeseran dari consensus Washington yang menjadi landasan bagi tatanan ekonomi internasional (ekonomi neoliberalisme) ke arah yang kita belum tahu, apakah bentuk yang baru itu merupakan bentuk yang disempurnakan dengan berbagai penyesuaian ataukah apa yang disebut Konsensus Beijing (yang lebih menyerupai ekonomi sosialisme demokratis/sosdem).
Tantangan kedua, seiring dengan melemahnya hegemoni AS, maka jika dulu semua harus diputuskan oleh G-8 (delapan negara maju seperti AS, Inggris, Australia, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, Jepang), sekarang ada dorongan menuju perluasan pemain global karena berbagai persoalan tidak bisa diseleaikan hanya oleh G-8. Sedangkan negara-negara G-20 (Kumpulan 20 negara berkembang dunia seperti China, India, dan lain seterusnya termasuk Indonesia) akan menjadi tren di masa yang akan datang. Akan tetapi pada saat yang sama struktur keamanan masih dipegang P-5 (lima Negara veto dewan keamanan PBB yaitu AS, Inggris, Jerman, Perancis, China). Jadi persistensi dari tatanan lama itu memang masih ada. AS memang sekarang bukan lagi sebagai penguasa tunggal dunia. Bisa dikatakan Dunia sekarang mengalami krisis hegemoni. 
Menurut Gus Iim, adanya krisis hegemoni AS saat ini disebabkan bukan oleh adanya tantangan militer yang secara serius mengancamnya, melainkan oleh semakin terkonsentrasinya AS dalam kegiatan yang mengarah kepada peningkatan sumber daya militernya. Peningkatan itu dilakukan agar AS dapat bertindak sebagai “Polisi Dunia”, khususnya setelah keruntuhan Uni Soviet yang berakibat pada sentralisasi kapabilitas militer global ke tangan AS. Di lain sisi, ekspansi itu tidak disertai oleh dukungan persediaan sumber daya finansial global akibat pergeseran akumulasi finansial global ke pasar-pasar yang lebih menjanjikan dalam tingkat kompetisi akumulasi kapital (Giovanni Arright & J. Silver, 1999: 276). Pada ranah geopolitik, keruntuhan Uni Soviet pada satu sisi memunculkan kesempatan bagi AS menjadi pemain tunggal untuk melakukan penyebaran kemampuan militernya. Namun, pada sisi yang lain, berdampak pula terhadap perubahan hubungan AS dengan sekutu-sekutu militer terdekatnya. 
Keruntuhan Soviet menyebabkan hubungan AS dengan sekutu-sekutunya tidak sedekat dulu lagi karena payung militer untuk menghadapi ancaman perang terbuka semakin tidak relevan. Sebagai hasilnya, pertimbangan finansial secara bertahap kemudian menjadi fokus utama manajemen militer AS dan Barat yang berpengaruh terhadap menurunnya hegemoni AS. Penurunan itu bisa dilihat misalnya dalam kasus NATO. NATO merupakan alat hegemoni AS terpenting pada masa Perang Dingin. Namun runtuhnya Soviet menyebabkan NATO kehilangan misinya dan mendorong pemerintahan Clinton untuk mengurangi porsi anggaran AS dalam anggaran NATO. Sementara, integrasi Eropa sendiri semakin mengurangi kemungkinan terjadinya perang terbuka di antara negara-negara Eropa dan secara otomatis mengurangi peran NATO sebagai payung keamanan mereka. 
Dalam perkembangannya kemudian, NATO lebih menjadi alat untuk memaksakan pelaksanaan privatisasi dan liberalisasi ekonomi demi kepentingan pasar bebas daripada pertimbangan politik dan keamanan (Giovanni Arrighi & Beverly J. Silver, 1999: 277). Ini bisa dilihat pada sikap politik negara-negara Eropa Timur (Hongaria, Rumania atau Bulgaria – anggota baru NATO). Pada akhirnya, bagi negara-negara tersebut, menjadi anggota NATO hanya merupakan batu loncatan untuk bergabung dalam Uni Eropa. 
Tantangan ketiga, lanjut Rizal, di kawasan sekitar kita sedang terjadi sebuah pergeseran kekuatan yang cukup dramatis. Karakteristiknya adalah ekspansi mandala regional, dari yang semula orang berbicara mengenai lingkup Asia Timur, sekarang melebar ke Asia Pasifik. Ekspansi dari mandala regional itu ditandai juga dengan adanya pergeseran di dalam empat kekuatan besar dan adanya kebijakan-kebijakan baru dari mereka. Yaitu kebangkitan China dan datangnya India, bergabungnya kembali AS sejak Obama memerintah karena pemerintahannya menjadikan Asia sebagai prioritas politik luar negeri AS, dan revitalisasi peran Jepang khususnya di bidang keamanan (untuk keamanan kawasan di Asia Pasifik, guna mengepung China dari arah utara dan timur laut). 
Pergeseran kekuatan itu akan melahirkan tatanan regional yang akan membuat Indonesia bingung. Terutama akibat adanya kemungkinan konflik dan kemungkinan ketegangan (bisakah disebut ini sebagai situasi awal bakal ada perang dunia ke-3 di kawasan Asia Pasifik?). Tetapi pada saat yang sama mereka juga membutuhkan kerja sama, setidaknya untuk satu dasawarsa ke depan. Terkait hal ini, Gus Iim menjelaskan pula bahwa pasca keruntuhan komunisme sebagai ideologi internasional, mulai tampak adanya persaingan di antara negara-negara Barat yang menganut paham demokrasi. AS, Inggeris, Canada, Australia dan Selandia Baru – yang penduduknya mayoritas dari ras/etnis Anglo Saxon dan berbahasa Inggeris – tampak makin ingin mendominasi geopolitik dan geoekonomi internasional sebagai kelanjutan dari kerjasama mereka di bidang intelijen sejak tahun 1947. 
Perjanjian intelijen itu disebut perjanjian UKUSA (United Kingdom, United States, Australia) dan kemudian diperluas dengan melibatkan pula Canada dan Selandia Baru. Inti dari komunitas intelijen UKUSA ini adalah satelit mata-mata Echelon (Jeffrey T. Richelson & Desmond Ball; The Ties That Bind; 1985). Dapat dikatakan bahwa komunitas UKUSA ini adalah metamorfosis dari Pax Britanica abad 19 menjadi Pax Americana pada awal abad 21. Di pihak lain, Uni Eropa makin mempererat kerjasama di antara para anggotanya yang telah dimulai sejak tahun 1951 dengan pendirian Komunitas Batubara dan Baja Eropa, yang kemudian berujung pada penerbitan mata uang bersama yang disebut Euro pada tahun 2001. 
Dari sudut pandang ini, kata Gus Iim, dapat kiranya dipahami jika kemudian Uni Eropa menjadi salah satu kekuatan yang mencegah AS menjadi hegemon tunggal dalam sistem politik dunia. Kasus paling mutakhir konflik antara Uni Eropa dan AS adalah pertentangan di antara keduanya dalam soal pencabutan subsidi untuk pertanian pada pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Hongkong tahun 2005 yang lalu. Ketika AS bersikeras menolak untuk mencabut subsidi bagi petani Amerika, Perancis dan beberapa anggota Uni Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama. Sebelum pertikaian di WTO, antara tahun 1993 dan 2004, ada pula kasus yang sangat menarik yaitu dirobohkannya berbagai base station satelit mata-mata Echelon yang terletak di berbagai negara anggota Uni Eropa. 
Posisi Uni Eropa juga semakin jelas setelah Linux (produk open source Uni Eropa) digunakan untuk menggantikan Microsoft (produk AS) sebagai operating sistem pada pusat pengolahan data Bank Sentral Eropa dengan dalih adanya kebocoran data dari pusat data Bank Sentral Eropa. Secara singkat bisa dikatakan bahwa dewasa ini sedang terjadi kemunculan ulang semangat Pax Romana di tengah negara-negara Uni Eropa, meskipun di sana-sini tetap terasa adanya persaingan kultural di antara anggota-anggota Uni Eropa. 
Selain Uni Eropa, jelas Gus Iim, di kawasan Asia juga muncul Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang beranggotakan China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan, ditambah Iran, India, Pakistan, Turkmenistan dan Mongolia sebagai peninjau. SCO yang didirikan pada Juni 2001 merupakan perluasan dari Shanghai Five yang didirikan pada 1996. Shanghai Five beranggotakan China, Russia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan, yang kemudian ditambah dengan Uzbekistan. Semula, Uzbekistan adalah sekutu AS yang tergabung di dalam GUUAM, yaitu Georgia, Ukraina, Uzbekistan, Azerbaijan dan Moldova. Pada pertemuan bulan Juli 2005, SCO sepakat menolak “monopolizing or dominating international affairs” dan menuntut dengan tegas “non-interference in the internal affairs of sovereign states”. 
SCO menjadi kekuatan geopolitik yang penting diperhitungkan karena beberapa alasan mendasar. Pertama, empat negara anggota SCO adalah pemilik senjata nuklir. Kedua, jumlah total penduduk anggota dan peninjau SCO lebih dari setengah jumlah penduduk dunia, sehingga akan menjadi pasar yang paling besar dengan economies of scale yang sangat memadai, ditambah dengan posisi China sebagai pemilik cadangan devisa terbesar di dunia saat ini. Ketiga, negara-negara anggota SCO memiliki latar belakang kultural-historis kekuatan imperium di masa lalu. China saat ini berdiri kokoh sebagai kelanjutan imperium Han. Rusia juga mewarisi watak imperium Rusia yang berkibar pada abad ke-14. Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Usbekistan berlatar belakang imperium Timur Leng. India hari ini berdiri di atas kebesaran masa lalu imperium Chandragupta. Pakistan adalah ahli waris imperium Mogul. Mongolia dapat pula dilihat sebagai kelanjutan imperium Jenghiz Khan. Sedangkan Iran adalah penerus imperium Manichaeisme Darius dan imperium Safawi Syi'ah. Menarik untuk disimak bahwa pada bulan Juli 2001, tiga bulan sebelum terjadinya peristiwa 911/WTC di New York, negara-negara anggota SCO telah menandatangani perjanjian “mutual fight against terrorism, fundamentalism and extremism”. Perjanjian itu menunjukkan bahwa SCO memiliki aparat intelijen yang cukup mampu mengantisipasi peristiwa-peristiwa penting dunia.
Adapun kekuatan lain yang juga potensial mendorong tata dunia multipolar adalah Amerika Latin. Gus Iim mengungkapkan, bahwa di kawasan ini, sekarang, berdiri kokoh negara-negara ultra nasionalis baru dengan presiden yang cenderung anti dominasi Amerika Utara. Hugo Chavez (terpilih sebagai Presiden Venezuela tahun 1998), Lula Da Silva (Brazil, terpilih tahun 2001), Nestor Kirchner (Argentina, terpilih tahun 2003), Martin Torrijos (Panama, terpilih tahun 2004), Tabare Ramon Vasquez (Uruguay, terpilih tahun 2005), Evo Morales (Bolivia, terpilih tahun 2005), dan yang terakhir Michelle Bachelet (Chili, terpilih 2006). 
Dalam analisis Gus Iim, munculnya klub pemimpin anti-AS di Amerika Latin saat ini tidak lepas dari tiga fakta penting. Pertama, Chavez dan kawan-kawan adalah produk dari nilai Kelatinan berwatak ultra-nasionalis yang dibangun oleh para pendahulu mereka sejak tahun 1960-an seperti Andre Gunder Frank di bidang ekonomi, Octavio Paz di bidang antropologi dan sosiologi, Pablo Neruda dan Gabriel Marquez di bidang kebudayaan. Di tahun 1970-an, muncul ahli ekonomi mazhab strukturalis, Raoul Prebisch, yang di susul pada tahun 1980-an oleh ekonom Hernando de Soto. Mereka dengan giat menyerukan bahwa baik pemikiran Adam Smith (kapitalisme) maupun Karl Marx (komunisme) tidaklah cocok dengan kondisi Amerika Latin. Oleh karenanya negara-negara Amerika Latin harus mencari bentuk dan sistem ekonominya sendiri. 
Kedua, sejak tahun 1960-an, negara-negara di Amerika Latin dipimpin oleh para diktator lalim yang didukung AS. Hal ini menyebabkan kejengkelan laten rakyat di banyak negara Amerika Latin. Ketiga, gerakan-gerakan kemandirian rakyat Amerika Latin dipayungi oleh sayap kiri Gereja Katolik Amerika Latin dengan pertumbuhan pemikiran Teologi Pembebasan yang dipelopori oleh Uskup Dom Helder Camara dan rekan-rekan seperjuangannya. 
Munculnya pemimpin-pemimpin ultra nasionalis baru di Amerika Latin, kata Gus Iim,  dengan sendirinya berdampak pada menurunnya pengaruh AS di kawasan ini. Dalam usaha untuk meraih kembali pengaruhnya di Amerika Latin, pada bulan November 2005 lalu, pemerintah AS mengadakan KTT di Mar del Plata, Argentina. Dalam KTT ini, Presiden Bush mendesak dibentuknya zona perdagangan bebas yang membentang dari Alaska sampai ujung Argentina (FTAA). Namun, beberapa negara peserta KTT termasuk Argentina, Brazil, dan Venezuela menentang usulan ini. KTT pun berakhir tanpa ada hasil. 
Tantangan keempat, menurut Rizal, ada empat negara besar (Jepang, China, India, AS) saat ini semuanya melakukan strategic headging, yaitu bagaimana sebuah hubungan dikelola meskipun berusaha untuk mengeksploitasi aspek-aspek positif, tetapi pada saat yang sama dia juga mengantisipasi efek-efek negatifnya. Padahal, untuk bisa membuat kerja sama yang lebih dalam, dia harus memilih salah satu. Jadi, pola hubungan yang saat kompetitif pada saat yang sama itu akan melahirkan kemacetan dalam hubungan keempat negara itu (dan lagi-lagi diramalkan akan terjadilah perang). 
Munculnya aliansi-aliansi strategis di Eropa, Asia Tengah dan Amerika latin menunjukkan bahwa provokasi Fukuyama dan teori Huntington menjadi tidak relevan. Sejarah belum berakhir. Sosialisme bangkit dengan berbagai revisi dan akomodasi terhadap pasar. Kapitalisme juga diimplementasikan dalam berbagai varian mazhab seperti di Perancis, Jerman, Belanda, dan tentunya juga di China yang mengadopsi kapitalisme dan komunisme sekaligus sebagai sistem ekonominya dengan semboyan “satu negara dua sistem”. Dari situlah, Gus Iim melihat ternyata perbedaan latar belakang kultural-historis tidak menghalangi Iran yang Syi'ah dan Pakistan yang Sunni untuk bergabung dengan blok China yang Konfusius dan Rusia yang separuh sekuler dan separuh Katolik Ortodoks. Aliansi-aliansi strategis yang melampui sekat peradaban dan bersifat supranasional itu bersatu di bawah a single logic of rule. Aliansi serupa ini oleh Antonio Negri dan Michael Hardt (2001) disebut sebagai Empire atau Imperium. 
Kehadiran Komunitas UKUSA, Uni Eropa dan SCO yang disertai dengan segala konflik kepentingan politik dan kepentingan ekonomi di antara mereka dapat menjadi indikasi bahwa peta geopolitik saat ini bisa dikatakan tengah bergeser dari geopolitik unipolar ke geopolitik tripolar. Jika Amerika Latin dapat mengkonsolidasikan kesatuan kebudayaannya yang berumur ratusan tahun menjadi kesatuan ekonomi yang kokoh, dapat pula dikatakan bahwa dunia tengah bergeser ke arah geopolitik multipolar. 
Tantangan kelima, papar Rizal, negara-negara besar itu selama ini mengandalkan ASEAN yang ditempatkan sebagai regional manajer melalui berbagai forumnya. Kalau ASEAN dilihat sudah tidak cukup lagi untuk digunakan, khususnya pascakegagalan pertemuan puncak di Pattaya (April 2009), maka akan terjadi penyelarasan (realignment). Suka atau tidak suka, terutama pasca-Pattaya, ASEAN semakin kehilangan relevansinya dan semakin tidak begitu penting di mata Negara-negara besar. Negara-negara besar itu akan tiba pada satu kesimpulan, mengapa harus pergi ke ASEAN yang merupakan negara-negara lemah dan menyelenggarakan pertemuan puncak saja tidak sanggup. Ini membuat citra ASEAN buruk sekali di mata China, Korsel dan Jepang. 
Patut dikhawatrikan dalam rentang waktu 10-15 tahun ke depan, dan ini sudah terlihat prosesnya, akan dibentuk pembagian kekuasaan di antara negara-negara besar untuk menguasai ASEAN, walau upaya negara-negara ASEAN untuk tetap merapatkan diri dalam wadah UNI ASEAN tahun 2015 sudah diupayakan. Kalau itu terjadi, lupakanlah kebijakan politik luar negeri bebas-aktif itu, lupakan ASEAN. ASEAN akan pecah. Sebagian menggelayut ke China (seperti Vietnam, Myanmar, Laos). Sebagian memilih Jepang. Malaysia lebih dekat kepada Inggris. Singapura dan Filipina lebih dekat kepada AS. Walau sebagian juga masih terlihat bingung mau berbuat apa seperti kita Indonesia ini. 
Dalam pandangan Gus Iim, fakta geopolitik tripolar dalam sistem dunia saat ini sebenarnya memberi ruang yang sangat terbuka bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, untuk menata kembali sistem ekonomi politiknya dan politik luar negerinya secara bebas aktif dan mandiri. Kemandirian itu sangat penting untuk menjaga tujuan dan kepentingan nasional sehingga seluruh kebijakan negara itu bersumber pada aspirasi masyarakat secara nasional dan ditegakkan untuk kepentingan seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. 
Sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, empat cita-cita kemerdekaan bangsa adalah (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut melaksanakan perdamaian dunia. “Jadi, seyogyanya sudah sangat jelas alur pikiran dan semangatnya bagi semua warganegara Indonesia, kecuali, tentunya, bagi mereka yang sengaja menafikan dan melanggarnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak asing,” tutur Gus Iim.
    Mendayung dalam Pusaran Arus Globalisasi   
Pertanyaannya, dalam situasi begitu, ada tidak rel baru yang hari ini bisa untuk bangsa Indonesia jadikan jalan dalam situasi gerak globalisasi? Sementara bukankah kebanyakan apa yang kita geluti selama ini menjadi produk dari pertaruhan dan pertarungan bangsa lain? Dan itu kita jadikan perang hidup-mati? Kita sering tidak sadar dengan kejadian ini, dan kita sering terbawa arus. 
Gambaran situasi kita dalam geo strategi seperti yang kita lihat dalam teori benturan peradaban dari Samuel Huntington itu kita harus mengartikannya sebagai yang bukan dari produk kita, bahwa yang sebenarnya itu adalah produk luar negeri. Jadi ini adalah skenario mereka. Kita sekarang ibarat gempa retak di dasar bumi namun juga seperti kaca retak yang tampak di permukaan. Fenomena kaca retak pengetahuan dan gempa tektonik yang sangat amat dalam. Sementara yang sering kita geluti adalah kaca retak seperti rezim wangsa-wangsa di negara kita ini (birokrasi feodal dan neo patremonial) ataupun birokrasi modern yang kita rancang sekarang ini menjadi dirampas oleh birokrasi-birokrasi feodal tersebut. Juga amat berbahaya jadinya jika kita mengandalkan para wakil rakyat di parlemen yang sebenarnya tidak paham akan hal itu.
Bagaimana semua itu bisa terjadi? Apakah karena kurang canggihnya kita atau mereka yang lebih maju? Apakah ini merupakan design yang baik dari asing? Inilah yang dinamakan gerak struktural, sesuatu yang tidak kelihatan, tidak terasa, tetapi benar-benar terjadi. Kita bisa menandai di beberaa hal, misalnya, munculnya stratifikasi masyarakat di Hindia Belanda. Elite, Marsose dan Pribumi (Inlandeer). 
Stratifikasi ini sangat besar pengaruhnya, sampai pada hak politik, pendidikan, dsb. Hal-hal seperti itu terus berlanjut sampai sekarang. Apakah kita masih akan menganggap jika hal seperti ini hanya sesuatu yang kebetulan? Ini bukan lagi hal yang merupakan kebetulan, munculnya Nahdlatut Tujar menjadi Nahdlotul Ulama juga bukan kebetulan. Seperti Adam Smith, Marshal Hugson dan lain-lain juga bagian dari design. Yang namanya design sudah bukan lagi kayak saat Konfercab di IPNU (saat setting pemilihan Ketua Umum), tetapi design secara global yang berkaitan dengan kepentingan banyak, malalui pengetahuan, publikasi, media, dan lain-lain. 
Misalnya saja bicara soal selera model atau idola cewek zaman dulu dan sekarang sudah sangat jauh. Itu sejalan dengan kebutuhan kecantikan, yang menjadi gerak struktural yang massif.  Bisa saja pengetahuan yang kita miliki sangat terbatas untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Kita memiliki kekayaan ras-ras yang ada di dunia. Namun ketika model negara modern Barat datang, kita mengadopsi mereka. Padahal sebenarnya, sejak zaman dulu kita sudah sangat kaya, termasuk dalam hal pengetahuan. Namun mengapa kita sekarang susah menemukan kepercayaan diri untuk bisa bangkit? 
Dalam keyakinan agama juga sudah sangat banyak. Sejak dulu kita sudah berpancasila tanpa nama yang kita sebut Bhinneka Tunggal Ika. Seharusnya negara kita tetap memberi ruang belajar kepada masyarakat. Hari ini kita juga multi-wajah. Sehingga patut kalau kita bertanya; benarkan kita ini NKRI murni? Di satu sisi masih ada kesultanan Jogja, di Aceh juga sudah ada partai lokal, di Papua ada Majelis Rakyat Papua. Jadi kita ini sudah semi federal. Dalam konsepsi ketatanegaraan, kita gila-gilaan bicara demokrasi ketatanegaran. Padahal kita tidak punya definisi. Akhirnya kita harus berani untuk bisa menemukan ruang eksistensi kita masing-masing.  
Kemudian hal lain yang perlu untuk kita teguhkan kembali adalah soal spiritualitas. Ini penting karena untuk membaca kenyataan hari ini kita butuh tidak hanya semata-mata data empiris tetapi juga butuh energi bathin. Bangunlah jiwanya, baru kemudian raganya. Ini menandakan bahwa pembangunan jiwa itu penting. Sekarang ini situasi bangsa sangat materialistik dan positivistik dan seakan sudah tidak memberi ruang kepada spiritualitas. Akibatnya ruhani bangsa kita amburadul. Di Aceh, yang konon disebut Serambi Mekah, ternyata perilaku keagamaan dengan spiritualitas masyarakatnya juga sudah kayak air dan minyak, tidak bisa menyatu. 
Hari ini kita bicara soal kepentingan Islam, ternyata sudah kayak menjadi kepentingan asing, seakan-akan Islam itu sudah bukan diri kita lagi tetapi mereka. Hari ini sangat penting pula adalah bagaimana menemukan kembali spiritualitas nusantara. Soekarno pernah menemukan spiritualitas dengan mengumpukan berbagi agama.  
Di sini, kita tidak akan bicara soal solusi. Tapi mengeja kenyataan untuk dijadikan sebagai basis gerakan. Kalau selama ini kita jarang bicara apa yang harus kita lakukan, maka mari sekarang ini kita bicara soal kenyataan yang riil terjadi di dunia kita. Mari kita benahi bangsa ini dengan serius. Satu hal yang harus didasari bahwa situasi dunia sangat memberi angin angin segar adanya perubahan tatanan sistem dunia. 
Masih banyak hal yang perlu kita pelajari dengan serius. Kalau kita hanya menerima kemuliaan di tengah kemodernan saat ini tanpa mempelajari kekayaan yang pernah kita miliki maka kita akan terlena. Kalau orang Jawa tidak menunjukkan kemuliaannya, karena jumlahnya besar, kalau bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, maka tidak ada sumpah pemuda. Kalau saja umat Islam tidak menunjukkan kemuliaannya dalam mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara, tentu juga tidak akan muncul Dasar Negara Pancasila.
Mari kita untuk selalu tidak berhenti belajar. Kita  punya kemuliaan jika kita mau mengakui dari apa yang juga dimiliki oleh kaum minoritas. Kampus Stovia didirikan karena penjajah Belanda melihat berbagai penyakit yang menyebar di Indonesia. Mereka tidak mau menangai dan juga tidak mau penyakit menyebar, makanya dididik dokter-dokter dari pribumi. Sehingga orang tidak akan mempelajari yang lain secara komprehensif. 
Generasi muda kita harus mampu menuntaskan pembicaraan dalam menyamakan persepsi untuk membangkitkan semangat keindonesiaan. Sebenarnya yang hilang dalam diri kita adalah penghubung-penghubung sesama kita, antar-suku, partai, organ pelajar/pemuda, sehingga trust (saling percaya) di antara kita sekarang hancur (trust yang kuat saat ini hanya di TNI dan preman). 
Di partai politik juga sudah tidak lagi didefinisikan sebagai sebuah perjuangan kolektif tapi sekadar perjuangan individu-individu. Majapahit dulu sangat kuat karena ada penghubung terus-menerus. Kenyataan itu harus dikenali dengan terus-menerus, tepat dan benar. 

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?