Dirilis Ulang Dari SM By PMII Putri Jepara
PEMILU legislatif tinggal menghitung hari. Kampanye terbuka sudah dimulai. Bagaimana kesiapan perempuan calon anggota legislatif (caleg) yang akan meramaikan pesta demokrasi? Siapkah mereka berlaga dalam situasi kebijakan sistem pemilu yang membingungkan? Dalam diskusi ”Peluang Perempuan di Parlemen dalam Pemilu 2009” yang diadakan JPPA (Jaringan Peduli Perempuan dan Anak) di Ruang Serbaguna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, 12 Maret 2009 terungkap para perempuan caleg sungguh dalam posisi yang sangat sulit. Faktor utama yang memicu adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah pengisian kursi legislatif Pemilu 2009 dari berdasar nomor urut caleg menjadi suara terbanyak. Ini berarti sudah tidak berlaku lagi affirmative action quota 30 persen bagi perempuan caleg. Keterwakilan perempuan politik sejak reformasi telah bergeser dari isu akademik dan gerakan sosial menjadi agenda kerja politik. Agenda kerja yang terus-menerus didesakkan kepada penguasa oleh para aktivis perempuan menghasilkan pasal 65 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang membicarakan kuota 30 persen bagi perempuan caleg di lembaga legislatif dan kemenguatan desakan terhadap partai untuk memberi peluang khusus bagi perempuan caleg. Hasilnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif meningkat sungguhpun belum sampai 30 persen. Di DPR RI meningkat dari 8,5 persen menjadi 11,,6 persen, sedangkan ditingkat provinsi/kabupaten/kota meningkat antara 3-10 persen. Adapun di Jawa Tengah meningkat dari 6 persen menjadi 10 persen. Sejarah panjang telah dilalui untuk meraih penambahan menjadi 10% tersebut. Diawali pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama untuk Pemilu 1999, dengan dukungan seluruh lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jawa Tengah yang sadar gender (tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Jawa Tengah), maka terpilih tiga orang tokoh perempuan dari lima orang anggota KPU. Dari sinilah kekuatan perempuan politik dipacu dan dikuatkan. Akan tetapi mekanisme ini hancur berkeping-keping setelah ada Keputusan MK yang mengubah nomur urut menjadi jumlah suara untuk menentukan kursi di DPR. Afirmative action bagi perempuan sebetulnya bukan hanya kebutuhan tetapi sudah merupakan keharusan seperti; kuota politik 30 persen di legislatif maupun jajaran birokrasi, perekrutan pejabat yang sensitif gender; akses-akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik, dan gender budgeting.
Demokrasi Hiperealis
Apakah Keputusan MK sudah sesuai dengan asas demokrasi dalam UUD 45? Apakah demokrasi berarti ”universalitas warga negara” terutama dalam negara berkembang seperti Indonesia yang masih muda dalam berdemokrasi? Inilah perdebatan yang kemudian muncul. ”Demokrasi” tidak tumbuh dalam ruang hampa sehingga steril terhadap kondisi sosial, ekonomi-budaya, dan politik. Warga negara yang termarjinalisasi (orang miskin, perempuan, anak dan penduduk minoritas, budaya yang patriarkat) memiliki akses dan informasi yang tidak sama dibanding penduduk lain. Hukum akhirnya menjadi pembenar sebuah keserakahan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Dan ini semua di luar realitas yang ada. Hukum menopengi kebenaran. Hukum telah mati karena tercerabut dari realitas. Jika demokrasi bekerja tanpa memperhatikan kondisi sosial, ekonomi-budaya, dan politik, akan terjadi ketidakadilan karena sejumlah penduduk yang termarjinalisasi akan terus tertinggal. Sadarkah MK bahwa keputusannya menyebabkan ketidakadilan dan bertentangan dengan Pembukaan UUD 45? Affirmatif action harus diberikan pada masyarakat yang tertinggal sehingga demokrasi dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan MK yang telah menjadi hukum tertulis akhirnya bersifat hiperealis. Hukum akhirnya menjadi pembenar sebuah keserakahan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Dan ini semua di luar realitas yang ada. Hukum menopengi kebenaran. Hukum telah mati karena tercerabut dari realitas. Tujuan utama pemilu adalah pelaksanaan demokrasi dalam pemilihan wakil-wakil rakyat. Karena keputusan MK menyebabkan demokrasi tercerabut dari realitas maka demokrasi juga mati. Dalam keadaan demikian orang lebih percaya pada realitas demokrasi tiruan (hiperealitas) sungguhpun sebetulnya mereka tidak meyakini, tetapi hanya karena tidak ada alternatif lain. Situasi yang sulit ini dihadapi oleh para perempuan caleg. Mereka kini berhadapan dengan demokrasi yang telah mati atau sesuatu yang menjelma sebagai demokrasi simulakra. Menurut Jean Baudrillard situasi ini telah menggiring hukum dalam aroma kematian, aroma bangkai, dan aroma bau busuk.
Berjuang Sendiri
Untuk melawan semua bau busuk itu para perempuan caleg harus berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari para penguasa maupun partai, karena sebetulnya sikap penguasa maupun partai (juga penguasa) masih setengah hati mendukung perempuan caleg. Hanya rakyat yang bisa diharapkan. Itu pun bisa terjadi jika perempuan caleg maupun yang sudah duduk di legislatif dan birokrasi tidak mengeluarkan bau busuk dan bereforia dengan wajah simulakra atau tiruan. Inilah kekuatan perempuan politik yang bisa ditawarkan kepada konsituen. Sayang budaya patriarkat masih menjadi kendala yang tidak dapat diabaikan. Karena itu simak kata-kata tokoh perempuan dari Yordania, Tujan Al-Faysal. Ia mengatakan, ”Perempuan yang mendapat kesulitan tidak harus mengatakan bahwa hal itu sulit.” Pelajaran yang dapat dipetik adalah perempuan dapat memilih untuk tidak menyerah dan tidak diremehkan hanya karena mereka perempuan. (35)
{ 2 komentar... read them below or add one }
so good sopo sing marahi nulis nduk?
kelas Piro saiki......?
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan
demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha.
Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska
justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal
di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi
melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak
'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil
berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah
statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap".
Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh terpuruk sesat dalam kebejatan. Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?