Memantapkan kerja kaderisasi

Diposting oleh Perisai Jateng on Selasa, 17 Maret 2009


M Kholidul Adib Ketua I Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Tengah Kholidul Adib SETELAH resmi dilantik dan berhasil menyusun program kerja, pada hari Rabu, (29/10) di Gedung Islamic Centre Semarang, kemarin, maka Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Tengah 2008-2010, dituntut mampu melaksanakan amanah kader dengan sebaik-baiknya. Dari sekian persoalan yang muncul, isu kaderisasi menjadi perbincangan dominan. PMII memang organisasi kader, sehingga, denyut nadi PMII adalah kaderisasi. Bagi PMII, proses membangun disiplin diri kader menjadi keniscayaan. Artinya, proses panjang yang dilalui oleh setiap kader juga harus diimbangi dengan kematangan seorang kader dalam mamaknai disiplin dirinya. Refleksi dan evaluasi kaderisasi PMII selama ini menunjukkan mulai ada peningkatan yang cukup pesat dalam pengembangan kapasitas diri kader. Namun, itu belum semuanya diimbangi dengan kesadaran kolektif, sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Yang harus dilakukan sekarang adalah tetap meningkatkan kapasitas diri tiap kader dan menatanya kembali supaya apa yang akan dicapai tidak semata-mata untuk kepentingan individu, melainkan untuk kepentingan kolektif (bersama), yang dalam skup luasnya adalah kepentingan bangsa. PMII mendidik setiap individu kaderkadernya harus bisa melebur untuk kepentingan bangsa, tidak boleh terjebak oleh individualisme dan egoisme. Pendekatan kaderisasi Pendekatan sistem kaderisasi yang sekarang ini sedang kita terapkan, adalah Multilevel Strategi Gerakan. Pendekatan ini diharapkan bisa dipakai untuk menata basis disiplin pengetahuan dan skill kader sebagai modal kolektif PMII menjalani kehidupan global. Mempraktikkan apa yang disebut Multilevel Strategi Gerakan sebagai pendekatan sistem kaderisasi PMII tersebut bentuknya adalah dengan memahami medan tempur, misalnya, melalui pola pendekatan strategi global front dan nasional front (ini wilayah kerja PB); local front atau sentrum gerakan berbasis kawasan (wilayah kerja PKC dan PC); maupun university and fakulty front di tingkat kampus untuk memperkuat ideologi, mental/ kepribadian, pengetahuan dan skill kader sesuai disiplin ilmu dan potensi masing-masing sehingga kader sudah bisa memproyeksi dirinya sejak dini. Terakhir ini wilayah kerja Pengurus Komisariat dan Pengurus Rayon. Sehingga setiap kader PMII akan mampu berproduksi dan mampu mandiri dengan tetap harus menjalin kerja sama dan kolektifitas. Buku panduan yang disusun oleh PB PMII (2006) mengenai Pengkaderan dengan pendekatan Multilevel Strategi Gerakan tersebut adalah ijtihad terbaru yang harus dilaksanakan oleh setiap jenjang kepengurusan PMII. Setiap lapisan struktur PMII, dari PB sampai dengan Rayon, dituntut bekerja sesuai wilayahnya masingmasing, berdisiplin dan berkesinambungan, sehingga kader PMII benarbenar siap mengarungi kompetisi global. Kita perlu membangun instrumen yang bisa menopang bagi pengembangan organisasi, pengembangan kaderisasi dan gerakan eksternal organisasi dengan menghilangkan budaya ketergantungan, malas, dan instan. Budaya ketergantungan, malas, dan instan harus kita buang karena akan membuat kita tidak sanggup bertahan lama dalam mengarungi kehidupan global yang sudah sangat kompetitif ini. Kita harus dilatih untuk sanggup bertahan lama dalam berproses dan serius dalam membangun gerakan yang berjangka panjang. Kalau kita tidak sanggup, maka akibatnya akan membuat gerakan kita mudah patah di tengah jalan. Dan ternyata mentalitas kita juga tak jauh beda dengan lain yang tidak ikut PMII, lantas di mana letak nilai plusnya di PMII kalau kita juga sama dengan mereka yang bukan warga PMII. Kita juga tidak boleh bermental ongkang-ongkang alias cuek dengan situasi sekitar. Itu semua penting karena bangsa ini (termasuk barangkali juga kita semua ini) memang masih sedang dalam keadaan sakit kronis. Sakitnya bangsa ini sudah masuk ke ruang saraf, nalar, mental, karakter, kepribadian, dan perilaku. Kemandirian Kenyataan saat ini denyut nadi bangsa kita sudah dirobek dan dicabik- cabik oleh berbagai sistem dan mainstream pengetahuan dari luar, dan ini ditambah dengan kerapuhan bangunan identitas kebangsaan kita. Pancasila sudah tidak diindahkn. Agama sekadar formalitas. Tradisi dan nilai-nilai keluhuran lokal sudah dinodai. Liberalisme menjadi dewa, khususnya yang sekarang ini sedang menjangkiti anak-anak muda di mana PMII bergumul sehari-hari. Ini adalah sebuah keprihatinan. Padahal kita sebetulnya mempunyai nilai dasar pergerakan, ideologi, dan pengetahuan yang luar biasa karena tidak dimiliki oleh organ lain, sehingga kemampuan untuk berproduksi secara mandiri sebetulnya kita lebih memungkinkan. Maka kita harus mampu mencari dan menemukan obat yang tidak perlu mencari (dicarikan) kepada bangsa asing atau dari luar karena kita adalah bangsa besar yang bisa berdiri sendiri dan tidak perlu dipapah oleh bangsa asing. Di situlah perlunya, sekali lagi, kemandirian pengetahuan. Kemandirian pengetahuan bisa dipahami dengan sejauh mana kita mampu mengendapkan segala pengetahuan yang diperoleh kemudian kita refleksikan dan kita produksi pengetahuan baru sesuai dengan psikologi dan kenyataan riil masyarakat Indonesia. Sebagai umat Islam yang hidup di Indonesia, kita juga meyakini ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama"ah sebagai manhajul fikri yang berprinsip tawazun, ta"adul, tawasuth, tasamuh dan amar ma"ruf nahi munkar yang secara normatif disederhanakan menjadi Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang berisi doktrin, nilai-nilai universal, mengenai hablu minallah (hubungan dengan Allah), hablu minannas (hubungan dengan sesama manusia), dan hablu minal"alam (hubungan dengan alam). Sebetulnya sempat mau dirumuskan konsep hablu min al-"Ilmi (hubungan dengan ilmu pengetahuan), namun belum secara resmi disepakati. Selain aswaja sebagai manhajul fikri , PMII juga mempunyai paham kebangsaan di mana kita bisa belajar dan mengurasi banyak hal tentang sejarah dan situasi keindonesiaan kita. Lalu dalam beberapa hal untuk menganalisis fakta kita juga dibantu dengan paradigma gerakan yang kebanyakan berupa teori analisis wacana, baik teori +filsafat dan sosial kritis Barat yang positivistik-eksistensialistik maupun pengetahuan Islam kritis dan kiri ala Hasan Hanafi, al-Jabiri, Arkoun, dll. Di samping itu wacana kapitalisme, geo-politik, geo-ekonomi, geostrategi, juga kita pelajari. Kalau merefleksikan berbagai pengetahuan PMII tersebut, baik aswaja sebagai manhajul-fikri, paradigma, maupun yang lain, memang bisa menjadi salah satu perspektif yang membantu kita dalam membaca dan menyikapi persoalan. Berbagai basis pengetahuan tersebut hari ini sedang menjadi bahan diskusi mayoritas di kalangan sahabatsahabat kader PMII secara nasional. Namun kini mulai muncul kegelisahan di beberapa sahabat yang berpandangan bahwa pengetahuan tersebut umumnya masih sebatas pengetahuan an sich atau nilai-nilai abstrak yang belum menyetubuh dalam laku atau amaliyah sehari-hari (habitus), sehingga di sini ditemukan banyak keambiguan. Bagi sebuah institusi pergerakan, tentu hal itu menjadi problem serius. Sebagai salah satu contoh dari puncak pergulatan tersebut, adalah dalam Kongres PMII ke-16 di Batam, Maret 2008, kemarin, di mana isu soal paradigma PMII menjadi perdebatan hangat di Sidang Komisi B. Antara yang ingin mempertahankan paradigma kritis transformatif dengan yang menyuarakan paradigma relasional atau paradigma berbasis kenyataan (menggiring arus).