Memantapkan kerja kaderisasi

Diposting oleh Perisai Jateng on Selasa, 17 Maret 2009


M Kholidul Adib Ketua I Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Tengah Kholidul Adib SETELAH resmi dilantik dan berhasil menyusun program kerja, pada hari Rabu, (29/10) di Gedung Islamic Centre Semarang, kemarin, maka Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Tengah 2008-2010, dituntut mampu melaksanakan amanah kader dengan sebaik-baiknya. Dari sekian persoalan yang muncul, isu kaderisasi menjadi perbincangan dominan. PMII memang organisasi kader, sehingga, denyut nadi PMII adalah kaderisasi. Bagi PMII, proses membangun disiplin diri kader menjadi keniscayaan. Artinya, proses panjang yang dilalui oleh setiap kader juga harus diimbangi dengan kematangan seorang kader dalam mamaknai disiplin dirinya. Refleksi dan evaluasi kaderisasi PMII selama ini menunjukkan mulai ada peningkatan yang cukup pesat dalam pengembangan kapasitas diri kader. Namun, itu belum semuanya diimbangi dengan kesadaran kolektif, sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Yang harus dilakukan sekarang adalah tetap meningkatkan kapasitas diri tiap kader dan menatanya kembali supaya apa yang akan dicapai tidak semata-mata untuk kepentingan individu, melainkan untuk kepentingan kolektif (bersama), yang dalam skup luasnya adalah kepentingan bangsa. PMII mendidik setiap individu kaderkadernya harus bisa melebur untuk kepentingan bangsa, tidak boleh terjebak oleh individualisme dan egoisme. Pendekatan kaderisasi Pendekatan sistem kaderisasi yang sekarang ini sedang kita terapkan, adalah Multilevel Strategi Gerakan. Pendekatan ini diharapkan bisa dipakai untuk menata basis disiplin pengetahuan dan skill kader sebagai modal kolektif PMII menjalani kehidupan global. Mempraktikkan apa yang disebut Multilevel Strategi Gerakan sebagai pendekatan sistem kaderisasi PMII tersebut bentuknya adalah dengan memahami medan tempur, misalnya, melalui pola pendekatan strategi global front dan nasional front (ini wilayah kerja PB); local front atau sentrum gerakan berbasis kawasan (wilayah kerja PKC dan PC); maupun university and fakulty front di tingkat kampus untuk memperkuat ideologi, mental/ kepribadian, pengetahuan dan skill kader sesuai disiplin ilmu dan potensi masing-masing sehingga kader sudah bisa memproyeksi dirinya sejak dini. Terakhir ini wilayah kerja Pengurus Komisariat dan Pengurus Rayon. Sehingga setiap kader PMII akan mampu berproduksi dan mampu mandiri dengan tetap harus menjalin kerja sama dan kolektifitas. Buku panduan yang disusun oleh PB PMII (2006) mengenai Pengkaderan dengan pendekatan Multilevel Strategi Gerakan tersebut adalah ijtihad terbaru yang harus dilaksanakan oleh setiap jenjang kepengurusan PMII. Setiap lapisan struktur PMII, dari PB sampai dengan Rayon, dituntut bekerja sesuai wilayahnya masingmasing, berdisiplin dan berkesinambungan, sehingga kader PMII benarbenar siap mengarungi kompetisi global. Kita perlu membangun instrumen yang bisa menopang bagi pengembangan organisasi, pengembangan kaderisasi dan gerakan eksternal organisasi dengan menghilangkan budaya ketergantungan, malas, dan instan. Budaya ketergantungan, malas, dan instan harus kita buang karena akan membuat kita tidak sanggup bertahan lama dalam mengarungi kehidupan global yang sudah sangat kompetitif ini. Kita harus dilatih untuk sanggup bertahan lama dalam berproses dan serius dalam membangun gerakan yang berjangka panjang. Kalau kita tidak sanggup, maka akibatnya akan membuat gerakan kita mudah patah di tengah jalan. Dan ternyata mentalitas kita juga tak jauh beda dengan lain yang tidak ikut PMII, lantas di mana letak nilai plusnya di PMII kalau kita juga sama dengan mereka yang bukan warga PMII. Kita juga tidak boleh bermental ongkang-ongkang alias cuek dengan situasi sekitar. Itu semua penting karena bangsa ini (termasuk barangkali juga kita semua ini) memang masih sedang dalam keadaan sakit kronis. Sakitnya bangsa ini sudah masuk ke ruang saraf, nalar, mental, karakter, kepribadian, dan perilaku. Kemandirian Kenyataan saat ini denyut nadi bangsa kita sudah dirobek dan dicabik- cabik oleh berbagai sistem dan mainstream pengetahuan dari luar, dan ini ditambah dengan kerapuhan bangunan identitas kebangsaan kita. Pancasila sudah tidak diindahkn. Agama sekadar formalitas. Tradisi dan nilai-nilai keluhuran lokal sudah dinodai. Liberalisme menjadi dewa, khususnya yang sekarang ini sedang menjangkiti anak-anak muda di mana PMII bergumul sehari-hari. Ini adalah sebuah keprihatinan. Padahal kita sebetulnya mempunyai nilai dasar pergerakan, ideologi, dan pengetahuan yang luar biasa karena tidak dimiliki oleh organ lain, sehingga kemampuan untuk berproduksi secara mandiri sebetulnya kita lebih memungkinkan. Maka kita harus mampu mencari dan menemukan obat yang tidak perlu mencari (dicarikan) kepada bangsa asing atau dari luar karena kita adalah bangsa besar yang bisa berdiri sendiri dan tidak perlu dipapah oleh bangsa asing. Di situlah perlunya, sekali lagi, kemandirian pengetahuan. Kemandirian pengetahuan bisa dipahami dengan sejauh mana kita mampu mengendapkan segala pengetahuan yang diperoleh kemudian kita refleksikan dan kita produksi pengetahuan baru sesuai dengan psikologi dan kenyataan riil masyarakat Indonesia. Sebagai umat Islam yang hidup di Indonesia, kita juga meyakini ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama"ah sebagai manhajul fikri yang berprinsip tawazun, ta"adul, tawasuth, tasamuh dan amar ma"ruf nahi munkar yang secara normatif disederhanakan menjadi Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang berisi doktrin, nilai-nilai universal, mengenai hablu minallah (hubungan dengan Allah), hablu minannas (hubungan dengan sesama manusia), dan hablu minal"alam (hubungan dengan alam). Sebetulnya sempat mau dirumuskan konsep hablu min al-"Ilmi (hubungan dengan ilmu pengetahuan), namun belum secara resmi disepakati. Selain aswaja sebagai manhajul fikri , PMII juga mempunyai paham kebangsaan di mana kita bisa belajar dan mengurasi banyak hal tentang sejarah dan situasi keindonesiaan kita. Lalu dalam beberapa hal untuk menganalisis fakta kita juga dibantu dengan paradigma gerakan yang kebanyakan berupa teori analisis wacana, baik teori +filsafat dan sosial kritis Barat yang positivistik-eksistensialistik maupun pengetahuan Islam kritis dan kiri ala Hasan Hanafi, al-Jabiri, Arkoun, dll. Di samping itu wacana kapitalisme, geo-politik, geo-ekonomi, geostrategi, juga kita pelajari. Kalau merefleksikan berbagai pengetahuan PMII tersebut, baik aswaja sebagai manhajul-fikri, paradigma, maupun yang lain, memang bisa menjadi salah satu perspektif yang membantu kita dalam membaca dan menyikapi persoalan. Berbagai basis pengetahuan tersebut hari ini sedang menjadi bahan diskusi mayoritas di kalangan sahabatsahabat kader PMII secara nasional. Namun kini mulai muncul kegelisahan di beberapa sahabat yang berpandangan bahwa pengetahuan tersebut umumnya masih sebatas pengetahuan an sich atau nilai-nilai abstrak yang belum menyetubuh dalam laku atau amaliyah sehari-hari (habitus), sehingga di sini ditemukan banyak keambiguan. Bagi sebuah institusi pergerakan, tentu hal itu menjadi problem serius. Sebagai salah satu contoh dari puncak pergulatan tersebut, adalah dalam Kongres PMII ke-16 di Batam, Maret 2008, kemarin, di mana isu soal paradigma PMII menjadi perdebatan hangat di Sidang Komisi B. Antara yang ingin mempertahankan paradigma kritis transformatif dengan yang menyuarakan paradigma relasional atau paradigma berbasis kenyataan (menggiring arus).
More aboutMemantapkan kerja kaderisasi

Saat Hukum dan Demokrasi Mati

Diposting oleh Perisai Jateng


Dirilis Ulang Dari SM By PMII Putri Jepara
PEMILU legislatif tinggal menghitung hari. Kampanye terbuka sudah dimulai. Bagaimana kesiapan perempuan calon anggota legislatif (caleg) yang akan meramaikan pesta demokrasi? Siapkah mereka berlaga dalam situasi kebijakan sistem pemilu yang membingungkan? Dalam diskusi ”Peluang Perempuan di Parlemen dalam Pemilu 2009” yang diadakan JPPA (Jaringan Peduli Perempuan dan Anak) di Ruang Serbaguna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, 12 Maret 2009 terungkap para perempuan caleg sungguh dalam posisi yang sangat sulit. Faktor utama yang memicu adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah pengisian kursi legislatif Pemilu 2009 dari berdasar nomor urut caleg menjadi suara terbanyak. Ini berarti sudah tidak berlaku lagi affirmative action quota 30 persen bagi perempuan caleg. Keterwakilan perempuan politik sejak reformasi telah bergeser dari isu akademik dan gerakan sosial menjadi agenda kerja politik. Agenda kerja yang terus-menerus didesakkan kepada penguasa oleh para aktivis perempuan menghasilkan pasal 65 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang membicarakan kuota 30 persen bagi perempuan caleg di lembaga legislatif dan kemenguatan desakan terhadap partai untuk memberi peluang khusus bagi perempuan caleg. Hasilnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif meningkat sungguhpun belum sampai 30 persen. Di DPR RI meningkat dari 8,5 persen menjadi 11,,6 persen, sedangkan ditingkat provinsi/kabupaten/kota meningkat antara 3-10 persen. Adapun di Jawa Tengah meningkat dari 6 persen menjadi 10 persen. Sejarah panjang telah dilalui untuk meraih penambahan menjadi 10% tersebut. Diawali pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama untuk Pemilu 1999, dengan dukungan seluruh lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jawa Tengah yang sadar gender (tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Jawa Tengah), maka terpilih tiga orang tokoh perempuan dari lima orang anggota KPU. Dari sinilah kekuatan perempuan politik dipacu dan dikuatkan. Akan tetapi mekanisme ini hancur berkeping-keping setelah ada Keputusan MK yang mengubah nomur urut menjadi jumlah suara untuk menentukan kursi di DPR. Afirmative action bagi perempuan sebetulnya bukan hanya kebutuhan tetapi sudah merupakan keharusan seperti; kuota politik 30 persen di legislatif maupun jajaran birokrasi, perekrutan pejabat yang sensitif gender; akses-akses khusus bagi perempuan terhadap kebijakan publik, dan gender budgeting.
Demokrasi Hiperealis
Apakah Keputusan MK sudah sesuai dengan asas demokrasi dalam UUD 45? Apakah demokrasi berarti ”universalitas warga negara” terutama dalam negara berkembang seperti Indonesia yang masih muda dalam berdemokrasi? Inilah perdebatan yang kemudian muncul. ”Demokrasi” tidak tumbuh dalam ruang hampa sehingga steril terhadap kondisi sosial, ekonomi-budaya, dan politik. Warga negara yang termarjinalisasi (orang miskin, perempuan, anak dan penduduk minoritas, budaya yang patriarkat) memiliki akses dan informasi yang tidak sama dibanding penduduk lain. Hukum akhirnya menjadi pembenar sebuah keserakahan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Dan ini semua di luar realitas yang ada. Hukum menopengi kebenaran. Hukum telah mati karena tercerabut dari realitas. Jika demokrasi bekerja tanpa memperhatikan kondisi sosial, ekonomi-budaya, dan politik, akan terjadi ketidakadilan karena sejumlah penduduk yang termarjinalisasi akan terus tertinggal. Sadarkah MK bahwa keputusannya menyebabkan ketidakadilan dan bertentangan dengan Pembukaan UUD 45? Affirmatif action harus diberikan pada masyarakat yang tertinggal sehingga demokrasi dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan MK yang telah menjadi hukum tertulis akhirnya bersifat hiperealis. Hukum akhirnya menjadi pembenar sebuah keserakahan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Dan ini semua di luar realitas yang ada. Hukum menopengi kebenaran. Hukum telah mati karena tercerabut dari realitas. Tujuan utama pemilu adalah pelaksanaan demokrasi dalam pemilihan wakil-wakil rakyat. Karena keputusan MK menyebabkan demokrasi tercerabut dari realitas maka demokrasi juga mati. Dalam keadaan demikian orang lebih percaya pada realitas demokrasi tiruan (hiperealitas) sungguhpun sebetulnya mereka tidak meyakini, tetapi hanya karena tidak ada alternatif lain. Situasi yang sulit ini dihadapi oleh para perempuan caleg. Mereka kini berhadapan dengan demokrasi yang telah mati atau sesuatu yang menjelma sebagai demokrasi simulakra. Menurut Jean Baudrillard situasi ini telah menggiring hukum dalam aroma kematian, aroma bangkai, dan aroma bau busuk.
Berjuang Sendiri
Untuk melawan semua bau busuk itu para perempuan caleg harus berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari para penguasa maupun partai, karena sebetulnya sikap penguasa maupun partai (juga penguasa) masih setengah hati mendukung perempuan caleg. Hanya rakyat yang bisa diharapkan. Itu pun bisa terjadi jika perempuan caleg maupun yang sudah duduk di legislatif dan birokrasi tidak mengeluarkan bau busuk dan bereforia dengan wajah simulakra atau tiruan. Inilah kekuatan perempuan politik yang bisa ditawarkan kepada konsituen. Sayang budaya patriarkat masih menjadi kendala yang tidak dapat diabaikan. Karena itu simak kata-kata tokoh perempuan dari Yordania, Tujan Al-Faysal. Ia mengatakan, ”Perempuan yang mendapat kesulitan tidak harus mengatakan bahwa hal itu sulit.” Pelajaran yang dapat dipetik adalah perempuan dapat memilih untuk tidak menyerah dan tidak diremehkan hanya karena mereka perempuan. (35)
More aboutSaat Hukum dan Demokrasi Mati

PMII CABANG Jepara Gelar Aksi Pesan Moral Kepada Caleg Saat KAmpanye

Diposting oleh Perisai Jateng


Aksi demo damai mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jepara dibubarkan polisi, Senin (16/3). Aksi mahasiswa ini berlangsung cukup singkat, saat para caleg dan parpol melintas di depan Tugu Kartini dalam kegiatan pemilu damai “Siap Kalah Siap Menang”. Sepuluh mahasiswa yang membawa berbagai poster antara lain berbunyi “Pemerintah sebagai Pengayom Masyarakat”, “Money Politik Haram”, “Janjiku Terjual”, dan “Pilih yang Terbaik” menggelar poster dan melakukan orasi. Beberapa saat kemudian, para pendemo ini didatangi Kasat Intelkam Polres Jepara AKP Hari Jatmiko terkait izin aksi tersebut. Koordinator lapangan dalam aksi tersebut, Ahmad Kholiq mengatakan, pihak mahasiswa hanya sebentar menyambut para caleg dan parpol dalam konvoi pemilu damai. Namun, polisi tidak menggubrisnya, demo harus segera dibubarkan karena tidak berizin. “Seharusnya, mereka mengajukan izin ke polres. Saat ini aksinya tidak berizin, padahal dilakukan di depan publik dan menganggu masyarakat yang melintas. Kami harus tegas menertibkan mereka,” tegas Kasat Intel. Sebelum dibubarkan, sekitar lima menit antara mahasiswa dengan pihak kepolisian terlibat dalam dialog terkait izin. Dipastikan tidak mengantongi izin, akhirnya mahasiswa membubarkan diri dengan tertib. Dalam aksi itu, mahasiswa menyuarakan sikap pergerakan terkait dengan Pemilu 2009 mendatang. Dengan membawa kendi sebagai simbol kehausan masyarakat tentang kebijakan yang memihak masyarakat dalam pemerintahan sekarang ini. “Kami merasa prihatin yang mendalam terhadap masa depan yang tidak jelas. Kami semakin miris ketika dihadapkan pada sebuah proses pemilu, wakil rakyat yang duduk sekarang tidak lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat, namun hanya mementingkan diri sendiri,” ujar Kholiq.
Kedepankan Pendidikan

Mahasiswa mencatat empat isu penting setelah melihat realitas dan refleksi saat ini, yakni dalam hal politik kebangsaan perlu adanya konsensus nasional yang menegaskan tentang kemandirian bangsa, dalam hal politik kenegaraan, dikarenakan adanya geger konstitusi. Perlu segera adanya penataan konstitusi atau perundangan, dalam hal politik kebijakan, menolak segala bentuk perampokan aset dan kekayaan negara, dan dalam hal politik keseharian, untuk menjaga kewibawaan dan kedamaian proses pemilu, perlu ketegasan sikap untuk menolak segala bentuk money politics. “Kami jelas-jelas menolak adanya politik uang pada pemilu mendatang. Isu pendidikan harus lebih dikedepankan, tidak hanya janji-janji politik belaka. Kami berharap, pada caleg yang berjuang pada pemilu nantinya lebih mengedepankan kepentingan rakyat,” imbuh Kholiq.  (Irfan Rose ; SM)
More aboutPMII CABANG Jepara Gelar Aksi Pesan Moral Kepada Caleg Saat KAmpanye

Mengenal Ideologi Dunia

Diposting oleh Perisai Jateng on Senin, 16 Maret 2009


Diringkas dan disajikan oleh Irfan Rosyadi
Sekretaris Bidang Orgabisasi dan kaderisasi
PKC PMII Jawa Tengah 2006-2008

LIBERALISME

Sesungguhnya liberalisme tidak memiliki suatu teori yang koheren untuk menerangkannya. Liberalisme adalah kumpulan dan pergulatan berbagai teori. Kalau melihat benang merah sejarahnya maka ideologi ini diilhami semangat gerakan aufklaerung (pencerahan) yang memberi tempat utama bagi akal budi dan kebebasan individu dalam bidang politik-ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, dan tindakan-keyakinan spiritual. Tidak boleh ada satupun otoritas yang berhak membelenggu kebebasan selain keterbatasan manusia dan kuasa alam. Bahkan alam dipandang sebagai obyek yang harus dikuasai demi kepentingan manusia bersenjatakan ilmu pengetahuan. Kalaupun negara merupakan salah satu otoritas dalam penataan masyarakat secara normatif (fungsi negara pada dimensi hukum) dan panataan masyarakat efektif (fungsi negara pada dimensi politik-ekonomi) maka negara wajib menjamin kebebasan warganya. Revolusi Perancis pada abad XVII mendorong lebih kencang lagi tuntutan akan kebebasan apalagi dengan semboyannya liberte, egalite, dan fraternite. Gema revolusi ini akhirnya melanda eropa dan sempat mengancam otoritas-otoritas lama yang dirasakan mengekang kebebasan. Semangat kebebasan yang digenggam Revolusi Perancis sesungguhnya adalah bersumber dari semangat kaum borjuis dalam bidang ekonomi dan semangat kebebasan kaum cendekiawan dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Di bidang ekonomi lahirlah kapitalisme. Sepertinya kebebasan di bidang ekonomi ini adalah sistem politik ekonomi yang dibanding ekonomi feodalistik atau ekonomi merkantilis ternyata pekerjaan upahan dalam ekonomi kapitalis menurut Karl Marx (1818-1883) menjadikannya exploitatif terhadap buruh, akumulasi modal pada pemilik dan cara produksi expansif. Kapitalisme sejarah perkembangannya dapat dibagi menjadi tiga tahap

Kapitalisme Awal (1500-1750)
Kapitalisme awal bertumpu pada industri sandang di Inggris selama abad XVI sampai abad XVIII, ketika praktek pemintalan benang mulai menggunakan perlengkapan masinal sederhana. Meskipun menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan, namun industri sandang di wilayah pedesaan Inggris berkembang pesat selama abad XVI dan XVII. Penggunaan surplus sosial secara produktif merupakan prestasi istimewa yang menjadikan kapitalisme mampu mengungguli sistem ekonomi sebelumnya. Surplus tersebut tidak tidak digunakan untuk membangun piramida-piramida atau katedral lambang kemegahan feodal, melainkan dipergunakan dalam pelbagai usaha perkapalan, pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan pelbagai bentuk kekayaan lainnya. Dengan demikian , surplus sosial telah berubah menjadi perluasan kapasitas produksi. Hal ini ditopang oleh dukungan agama untuk kerja keras dan hemat, pengaruh logam mulia dari dunia baru dan peranan negara yang membantu dan secara langsung melakukan pembentukan modal.

Kapitalisme Klasik (1750-1914)
Revolusi industri atas industri merupakan transisi dari dominasi modal perniagaan ke dominasi modal industri atas modal perdagangan. Penerapan praktis ilmu pengetahuan teknis didorong kapitalisme karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan pelbagai penemuan baru yang tidak mungkin diwujudkan dalam masyarakat miskin. Fase kapitalisme ini memakai ideologi laissez-faire et laissez-passer (berarti biarkan hal-hal berlangsung tanpa campur tangan, biarkan orang berbuat sekehendak hatinya) yang diturunkan dari ajaran Adam Smith. Sukses ekonomis melahirkan pelbagai kebijakan yang menguntungkan proses kapitalisme itu sendiri. Pada fase ini lahir kapitalisme liberal secara definitif.

Kapitalisme Lanjut (1914 - …)
Perang Dunia I dan diikuti depresi ekonomi dunia pada awal abad XX menggoncangkan ekonomi kapitalis tradisional. Tantangan selanjutnya datang dari Revolusi Bolshevik di Rusia dan perlawanan bangsa-bangsa terjajah terhadap kolonialisme-imperialisme. Kapitalisme bisa bertahan tetapi berubah wajah menjadi kapitalisme monopolis. Ekonom Jhon Maynard Keynes menelurkan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan laissez-faire et laissez-passer dan ikut merubah wajah kapitalisme klasik. Negara ikut berperan dalam rangka menghidupkan gairah berusaha dan melindungi usaha dalam negeri masing-masing. Penghisapan menjadi berjenjang, negara-negara pusat (negara maju) menghisap negara peripheral dan negara peripheral menghisap negara very peripheral. Di negara-negara maju muncul negara-negara kesejahteraan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang diusung liberalisme. Namun demokrasi juga banyak diklaim negara-negar non liberal macam Negara-Negara komunis dengan sentralisme demokrasi (demokrasi terpimpin) hanya saja dalam ciri yang paling umum dari demokrasi liberal adalah kebebasan individu yang sangat utama. Trias politika benar-benar dijalankan dengan konsekuen dengan adanya pemisahan yang tegas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif
B. SOSIALISME
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok. Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Mateialisme Dialektik. Filsafat Hegel yang begitu ideal bahkan mencapai pengetahuan yang absolut sedemikian sehingga saat itu filsafat identitas Hegel seakan menjadi puncak dan akhir filsafat, tetapi kenapa tidak pernah bisa dipraktekkan di Negara Prussia yang reaksioner. Marx memandang bahwa filsafat Hegel tidak bersifat praxis karena karena hanya selesai dan bersifat total di alam fikiran dan tidak menyentuh realitas. Pengetahuan absolut Hegel pun menjadi sebab, bahwa ketika semua realitas sudah difahami, dimengerti dan dimaafkan karena aku berada bersama realitas, tentu saja ketidakadilan dan penindasanpun akan dibiarkan. Kegeraman Marx mendapat tempat ketika mendapati tulisan Ludwig Feurbach “The Essence of Christianity” yang mengemukakan tentang materialisme berlawanan dengan Hegel yang idealis. Feurbach beranggapan bahwa manusialah yang nyata dan bukan ruh dunia-nya Hegel. Dari materialisme Feurbach dan metode dialektika Hegel, Marx mendasari alam filsafatnya, materialisme dialektika. Sebagaimana diterangkan D. N Aidit (1963), Engels mensistematikan filsafat Marx menjadi Materialisme Dialektik. Ada beberapa hal yang terkandung dalam Materialisme Dialektik ini. Pertama, sebagai materialisme, materialisme dialektik menyatakan 3 hal yaitu : (1) Pengetahuan kita tidak menciptakan dunia luar yang kita lihat melainkan hanya mencerminkan melalui panca indera kita, (2) Tidak ada Tuhan dan materi itu abadi-jadi meterialisme yang bersifat Atheis, (3) Dalam manusia badan merupakan primer dan roh sekunder.Kedua sebagai dialektika, materialisme dialektik juga menyatakan 3 hal pokok, yaitu : (1) Hukum persatuan dan perjuangan unsur-unsur yang saling bertentangan., (2) Hukum loncatan dialektik atau perubahan dari kuantitatif ke kualitatif, (3) Hukum negasi dari negasi (apa yang dinegasi atau ditolak tidak begitu saja ditiadakan).
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970-an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Kegagalan Marxisme
Banyak diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan-kecenderungan demikian terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian-varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti ‘menemukan air ditengah dahaga ideologi’ dengan teori-teori pembebasannya.
Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif. Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan-tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat factor-faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut. Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak-hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis. Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
C. ANARKISME
Anarkisme sendiri sering disalahartikan sebagai kekacauan (chaos) yang berdampak penghancuran kepada masyarakat. Hal ini dimaklumi bahwa orang jarang mengenal gagasan-gagasan anarkisme yang dibawa oleh Pierre Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Piotr Kropotkin dan lainnya. Ini disebabkan anarkisme memang bukan ideologi terstruktur seperti halnya sosialisme atau komunisme. Pada awal abad ke-19 anarkisme tumbuh dan menjadi lawan bagi Marxisme, karena klaim anarkisme yang libertarian berhadapan dengan Marxisme yang otoriterian. Baik anarkisme maupun Marxisme pada masa itu sepakat bahwa sebuah revolusi dibutuhkan untuk menumbangkan pemerintah borjuis. Akan tetapi para pengikut Marx menginginkan Negara digunakan sebagai sarana kediktatoran proletariat dan baru akan dibubarkan bila fase komunisme yakni masyarakat tanpa kelas sudah terwujud. Kaum anarkis justru menginginkan Negara harus dibubarkan sedari awal. Mereka berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dengan membiarkan Negara berdiri hanya akan melestarikan dan membuat kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk ditumbangkan. Kaum anarkis mengkiaskan negara sebagai polisi (instrumen pemaksa).
Inti pandangan anarkisme adalah keunggulan individu dan kebaikan otonomi moral, dan dalam pandangan ini kaum anarkis menyimpulkan bahwa hanya individu yang bear-benar bebas yang akan melahirkan moralitas yang bernilai dan layak dihormati. Menurut Kropotkin (1842-1921), pekerjaan adalah kebiasaan, berpangku tangan adalah pertumbuhan semu, pendek kata, manusia tak perlu dipaksa untuk menjalankan kesepakatan yang diawali secara bebas. Setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaan apapun yang sesuai dengan bakat dan kecenderungan alami mereka. Manfaat dinilai berdasarkan keinginan untuk berguna secara sosial. Lakukan sesuatu kepada orang lain seperti apa yang Anda ingin orang lain melakukannya untuk Anda. Walau berpendapat “kepemilikan adalah pencurian”, Proudhon mendukung kepemilikan pribadi. Lebih lanjut William Godwin (1756-1836) menyimpulkan bahwa kepemilikan harus didstribusikan sesuai dengan klaim kebutuhan (pemerataan kekayaan).
Menurut kaum anarkis, demokrasi adalah hal yang terbaik diantara semua yang terburuk. Demokrasi, kalau pun mau digunakan, haruslah dalam bentuk langsung dan partisipatoris. Artinya, demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh peran warga masyarakat dalam menjalan fungsinya. Anarkisme memberikan kritik terhadap demokrasi --khususnya seperti yang diungkapkan oleh George Woodcock (1912-…) dan Noam Chomsky pada dekade akhir abad ke-20--. Pertama, pemilu sebagai sarana demokrasi dianggap melenyapkan hak-hak individu. Sebagai contoh, orang akan memilih wakil wakilnya yang tidak dikenal dan belum tentu menjalankan aspirasi si pemilih. Hal ini akan terus berulang dalam setiap pemilu berikutnya dan menjadi suatu kebiasaan yang buruk bagi kesadaran setiap orang. Oleh karena itu kaum anarkis menolak bentuk perwakilan (representation) dan menyukai bentuk pendelegasian bagi setiap keputusan atau kepentingan karena dirasa lebih menyeluruh. Kritik kedua, demokrasi mengandung ancaman berupa kediktaturan mayoritas. Bagi kaum anarkis tidak ada jaminan bagi para pemeluk demokrasi terhadap golongan minoritas atau kelompok kecil. Hal ini seringkali terjadi berupa pengabaian hak-hak minoritas suara baik dalam bentuk populasi suku, agama, ras, maupun kebudayaan. Kritik ketiga, demokrasi mengandung bahaya kongkret yakni diterimanya kembali kelompok-kelompok otoriterian seperti partai komunis untuk mendapat peluang menang secara demokratis dalam pemilu. Hal ini terbukti dalam pemilu di Polandia dan Ceko dimana partai komunis kembali memerintah dengan suara mayoritas. Jika demikian, ancaman yang akan terjadi adalah penumbangan demokrasi itu sendiri oleh kelompok-kelompok otoriterian.
Anarkisme terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon (1809-1865) dan Piort Kropotkin (1842-1921), anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin (1814-1876), anarko-kapitalisme yang diusung oleh kaum anarkis Amerika yaitu Benyamin Tucker (1854-1939) dan Lysander Spooner (1808-1887). Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939. Sebagai sebuah gerakan massa/revolusi anarkisme telah mati. Namun, sebagai kelompok atau jaringan masih hidup sampai sekarang. Di Inggris, misalnya, Class War (organisasi kaum anarkis yang lebih dipengaruhi oleh subkultur punk dengan kampanyenya yang terkenal “Hantam Si Kaya” (Bash the Rich). Juga muncul kaun anarkis “jaringan” seperti Earth First (komunitas aksi langsung pecinta lingkungan). Kelompok musik pp Chumbawamba menyatakan diri sebagai anarkis, pernah menjadi berita utama di media karena melempar seember air kepada Deputi Perdana Menteri Inggris, John Prescott, pada tahun 1998. Semangat anarkis paling tidak masih bertahan.
More aboutMengenal Ideologi Dunia