Bulan Mei terasa istimewa bagi bangsa ini, satu sejarah momentum kebangsaan yang tidak selayaknya dihilangkan dari kolektif memeori bersama kita. Satu momentum sejarah peradaban yang telah dilakukan oleh mereka, para mahasiswa angkatan 90-an guna memberikan kontribusi pembangunan dan pembentukan ”national character building” yang bebas dari penindasan yang gandrung keadilan dan berbahasakan bahasa kebenaran. (Begitulah salah satu bunyi teks Sumpah Mahasiswa yang selalu dibacakan dalam setiap kali aksi disepanjang tahun 90-an). Sebuah generasi yang memperoleh keistimewaan dalam konteks sejarah sosial masyarakat kita dikarenakan peran dan kontribusinya semenjak awal pembentukan Indonesia modern. Mereka yang telah merelakan waktu, tenaga dan pikiran bahkan sebagian dari mereka telah dihilangkan secara paksa oleh penguasa-dikarenakan komitmen dan keberpihakannya kepada masyarakat.
Sejarah kebangsaan yang kelam tengah berlangsung saat itu-dimana jutaan buruh dan petani dikorbankan atas nama pembangunan, peran dan fungsi militer (TNI AD) disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Tiada tempat bagi mereka yang berbeda dengan penguasa dan tak lupa pengibiran Partai Politik atas nama stabilitas, persatuan dan kesatuan. Meskipun, saat ini kita masih melihat segala bentuk ketidakadilan, namun sedikit banyak ruang demokrasi dan kebebasan lebih terbuka dibandingkan dengan sebelumnya.
Negara tidak lagi semena-mena memperlakukan petani dengan ganti rugi yang tak layak, buruh semakin bebas berorganisasi, begitu juga keterlibatan militer dalam ranah sipil semamkin diminimalisir. Dalam makna demokrasi dan kebebasan sedikit banyak sudah kita lihat dan rasakan. Namun dalam makna ekonomi dan kesejahteraan dengan kata lain demokrasi ekonomi, terasa jauh panggang dari api. Proses reformasi yang sudah berjalan hamipr 12 tahun ini, tidak memberikan ruang ”demokrasi ekonomi” bagi rakyat.
Meskipun demikian, kepada mereka para pejuang yang gagah berani kita harus tetap berterimakasih, teutama kepada mereka yng hingga saat ini tak tahu dimana keberadaannya. Apakah mereka masih hidup dan merasakan hasil dari apa yang mereka perjuangkan saat itu. Ataukah mereka sudah tidak melihat dan merasakan hasil dari apa yag mereka perjuangkan saat itu. Ataukah mereka sudah tidak melihat dan merasakan terhadap proses reformasi yang telah 12 tahun lamanya berjalan.
Gerakan Mahasiswa 90 Melapangkan Neolibralisme?
Dalam kurun waktu hapir enam puluh tahun semenjak merdeka di tahun 1945, tercatat dua kali gerakan mahasiswa mampu mempengaruhi dan merubah arah kebijakan pembangunan kita, yaitu tahun 66 dan 98. kedua angkatan atau generasi tersebut, masing-masing telah melahirkan sejarah sendiri-sendiri, angkatan 66 melahirkan Orba dengan (alm) Jend.Soeharto sebagai pusat kekuasaan, sementara angkatan 90 melahirkan Orde Reformasi dengan segala keterbukaan yang dinikmati sekarang.
Meskipun kedua gerakan/angkatan tersebut memiliki karakter dan wataknya masing-masing, namun ada satu benang merah sejarah yang kita tarik bersama. Gerakan 66 yang berkolaborasi dengan angkatan darat merupakan ”pembuka pintu dan tuan rumah” yang ramah dengan modal internasional, sementara Angkatan 90 yang pada awal mula pergerakannya mengangkat isu-isu kerakyatan, merupakan pendobrak yang ”ditunggangi dan dimanfaatkan” oleh elite-elite politik reformis gadungan. Apa yang terjadi sekarang mungkin tak pernah terbayangkan dan tergambarkan sama sekali oleh mereka ketika itu.
Dalam periode gerakan mahasiswa 66 yang dianggap sebagai anti tesis dari kepemimpinan Soekarno yang anti modal asing gerakan mahasiswa 66 pada akhirnya melahirkan sebuah pemerintahan yang akomodatif dan permisif terhadap modal asing. Setahun sesudah Soekarno dilengserkan dan kemudian digantikan oleh Soeharto, lahrlah sebuah UU yang permisif dan bersahabat dengan modal asing yaitu UU PMA th 1967 dan digantikan dengan UU th 1970.
Lewat UU ini, pemerintah memberikan kesempatan yang begitu besar bagi mereka untuk mengeskploitasi segala sumber kekayaan alam yang ada. Berbagai bentuk insentif dan kemudahan bagi ”modal asing” diberikan kepada mereka. Jaminan keselamatan dan kepastian hukum agar mereka bisa mengesploitasi segala sumber daya alam juga diberikan. UU ini masih membatasi rentan waktu perpajanjangan kontrak karya (selama 30 tahun) dan sektor-sektor yang bisa dijadikan sebagai obyek investasi. Sesuai dengan ketentuan Bab III pasal 6 ayat 1.a-f, investasi asing tersebut bebas masuk kecuali pada sektor pelabuhan, kelistrikan, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api, pembangkit tenaga listrik tenaga atom dan mas media.
Sebagai sebuah gambaran awal bagi membanjirnya modal asing, dalam sebuah artikel yang berjudul ”Neoliberalisme dan Pengalaman Indonesia, Anto Sangaji menyebutkan bahwa nilai investasi Kontrak Karya antara Indonesia dengan perusahaan asinganatara tahun 1968-1990 mencapai US $ 2,339 juta, tahun 1994 mencapai US $ 861 juta dan setahun sebelum krisis pada tahun 1997 mencapai @ 1,922 juta. Dalam artikel lain, Tulus Tambunan dari Pusat Studi Industri dan UKM Universitas Trisakti dan Kadin Indonesia menyatakan bahwa dampak dari membanjirnya arus modal asing ke Indonesia adalah mampu meningkatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 % per tahun selama periode 1980’an. Dari perkapita awal Indonesia yang hanya sebesar US $ 60 pada tahun 1968 meningkat tajam hampir 10 kali lipat menjadi US $ 800 pada tahun 1993. selain Freeport Indonesia yang memperoleh Kontrak Karya pada tahun 1968, pada tahun-tahun selanjutnya berbagai perusahaan besar mulai masuk menjamah dan mengekploitasi segala sumber kekayaan alam Indonesia, antara lain Rio Tinto, Newmont Gold Company dsb.
Selain mengeruk segala sumber kekayaan yang ada, berbagai pertambangan seringkali menghasilkan kerusakan lingkungan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya. Konflik masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar seringkali terjadi. Yang lebih parah, masyarakat sekitar seringkali tidak mendapatkan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut. Keuntungan mengalir ke elite-elite Jakarta dan daerah yang korup. Apa yang terjadi di Aceh hingga muncul pemberontakan bersenjata dan apa yang saat ini terjadi di Papua berkaitan dengan penambangan emas PT Freeport, merupakan gambaran konflikyang muncul akibat investasi modal internasional yang dijaga dan diberi kemudahan oleh pemerintah.
Konflik pertanahan antara petani dan ”pemilik modal” yang kemudian terjadi pasca Soekarno lengser merupakan kata lain dari ”kapitalisme” yang mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pembangunan semata-mata dilihat dan diukur dari pertumbuhan ekonomi, tidak menjadi soal siapa yang memperoleh manfaat dari pertumbuhan tersebut. Pembangunan hanya sekedar dilihat sebagai usaha Negara untuk memasok segala komoditi yang dibutuhkan pasar internasional tidak dilihat dan ditempatkan sebagai usaha untuk memperkuat pasar dalam negeri. Orientasi eksport.
Situasi yang demikian inilah yang menjadi lahan subur bagi penguatan idiologi dan politik para mahasiswa angkatan 90. bacaan dan teori-teori kritis atas idiologi alternatif yang tidak didapat dari ”bangku kuliah” melainkan ”oleh-oleh” dari mereka yang berkesempatan melakukan perjalanan idiologi ke luar negeri maupun dari membongkar arsip-arsip lama yang terlarang saat itu, semakin menajam teori mereka. Menyatunya mahasiswa dengan rakyat, petani, kaum miskin perkotaan dan buruh sebagai obyek pembanguanan yang bersifat kapitalistik mengejar pertumbuhan semata-mata merupakan prototype awal mula gerakan mahasiswa 90-an.
Mahasiwa angkata 90-an telah berhasil menyemai benih-benih perlawanan terhadap kolaborasi antara Negara dengan pemilik modal, namun ketiga gerakan dihantam oleh Soeharto pada tahun 1966 dalam kasus 27 Juli. Gerbong tersebut terpaksa tertinggal dibelakang. Ketika pada akhirnya Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, segala kebijakan ekonomi politik sudah diarahkan dan diabdikan dengan kesepakatan tersebut. Indonesia dipaksa untuk semakin ramah terhadap masuknya modal asing. Bukan lagi sekedar apa yang ada dalam dapur rumah. Disahkannya UU no 25 th 2007 tentang penanaman modal dan diikuti dengan perpres Ri No 77 th 2007, semakin memperluas masa kontrak dari 30 tahun sesuai dengan UU PMA tahun 1967 bisa diperpanjang hingga 90 tahun sesuai dengan UU yang baru.
Kemerdekaan dan kebebasan untuk menyatakan pendapat terfasilitasi tanpa was-was seperti halnya pada masa Orba. Sementara disisi lain serangan modal asing semakin menggerus kedaulatan nasional dan kesejahteraan masyarakat terancam. Masyarakat semakin dijuhkan dengan hak-hak dasar yang seharusnya dijamin oleh negara, yaitu kesehatan dan pendidikan.
Negara tidak lagi berfungsi sebagai penyeimbang dan pelindung bagi kepentingan nasional berhadapan dengan kepentingan asing. Namun lebih memposisikan dirinya sebagai fasilitator dan pelindung kepentingan mereka. Tugas kesejarahan belum usai. Kejatuhan Soeharto bukanlah akhir perjuangan. Tugas sejarah baru untuk mengembalikan kedaulatan nasional sesuai dengan UU 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya dukuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk sebesar-bersarnya kemakmuran rakyat” telah menanti. Sehingga kedaulatan nasional untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan cita-cita para founding fathers kita akan senantiasa terjaga. Selamat berjuang!!
Oleh: Kelik Ismunanto (aktifis mahasiwa 90-an)
Telah dipresentasikan dalam diskusi interaktif LPH YAPHI, 19 Mei 2010
Di tulis ulang & di edit oleh Latri
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?