oleh: Irfan Zamzami,
Alumni PMII Solo Pada sidang kabinet paripurna pertama, di periode kedua pemerintahannya, SBY menyampaikan tiga semboyan untuk wejangan para menteri. "Change and Continuity", "De-bottlenecking, Acceleraton, and Enhancement", dan "Unity, Together We Can." Ini memang tahun bagi Pak Bos: ia menang mutlak satu putaran Pilpres. Tetapi agaknya bukan tahun bagi Bahasa Indonesia. Betapa tidak, bahkan orang nomor satu di Indonesia mempercayakan semangat berjuangnya pada bahasa negara lain. Jangan-jangan, nama kabinetnya yang sering ditulis KIB II itu sebenarnya terbaca oleh yang punya sebagai KIB The Second. Nahasnya, kecenderungan Inggris ini juga nyaris rata di kalangan masyarakat. Anda tentu masih ingat saat bom Kuningan meledak, ada sebuah gerakan solidaritas yang ramai pendukung baik di Twitter maupun Facebook. Solidaritas itu ingin menyatukan Indonesia melawan terorisme, dan ia dinamai: Indonesia Unite! Penganut sosiolinguistik mungkin bisa menjelaskan dengan sederhana. Orang, atau kelompok orang, yang memilih menggunakan kode bahasa tertentu selalu punya motif sosial. Dalam hal ini, memilih bahasa Barat yang dianggap lebih maju (meminjam gaya analisis masyarakat pasca-kolonial) adalah kesadaran untuk memperoleh pengakuan. Tetapi menurut saya ujung-pangkalnya tidak demikian. Mari kembali pada pelajaran linguistik paling dasar, bahwa bahasa mengandung dua tegangan: "langue" dan "parole". Langue adalah pengetahuan penutur bahasa tentang hubungan sistematis antara bunyi dan makna. Parole adalah bahasa yang dituturkan dalam kenyataan. Ferdinand de Saussure, bapak Linguistik, yang mengatakan ini. Pada langue itulah, menurut saya, terjadi sedikit kegagalan pada sebagian masyarakat Indonesia untuk menghayati sistem Bahasa Indonesia. Dominasi Bahasa Inggris yang besar telah membuat penutur Bahasa Indonesia menjadi tidak lengkap dalam menyusun sistem Semantik (makna kata), Sintaksis (struktur kata), dan perangkat linguistik lain dalam ide bahasa mereka. Akibatnya, banyak orang yang "tidak percaya" pada kekuatan kata yang dimiliki Bahasa Indonesia. Seperti "Indonesia Unite" yang mungkin dirasa lebih berkarakter ketimbang "Indonesia Bersatu". Atau "Change and Continuity"nya SBY yang agaknya dianggap lebih punya kekuatan daripada "Perubahan dan Keberlanjutan" . Akan tetapi, tentu saja, semoga "ketidakpercayaan" pada Bahasa Indonesia yang melanda sebagian masyarakat kita tidak juga berarti melemahnya kepercayaan kita pada bangsa kita sendiri. Dirgahayu Bahasa Indonesia! (Ah, saya hampir saja berseru Long live Bahasa Indonesia! :p)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?