Oleh : Sulatri
“Kenapa kita ini dimasukkan di FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik)” ujar teman-teman penulis ketika awal-awal kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi di Kota Bengawan Solo. “Masa maunya kita jadi reporter, pembawa berita, penyiar, pembuat film, pembuat iklan dll meski belajar tentang politik yang erat hubungannya dengan kekuasaan! Emang hubungannya apa?”, tanda tanya kami saat itu. Hal itu mulai terjawab ketika kami sudah mulai duduk di semester yang lebih tinggi dimana berbagai mata kuliah harus kami ikuti begitu banyak memberikan referensi bagi para mahasiswa akan pentingnya media massa dengan dunia politik.
Media massa merupakan salah satu pilar demokarsi yang saat ini harus juga diperhatikan. Sebenarnya dalam geopolitik sendiri media massa atau pers sudah cukup lama disebutkan sebagai salah satu unsur yang akan mempengaruhi kekuasaan. Disamping eksekutif, legislative, yudikatif, tokoh masyarakat, Civil Organization Society, pemilik modal dan sebagainya.
Pers merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi politik. Terlebih dengan era kemajuan teknologi informasi saat ini. Mau tak mau dalam kehidupan disekitar kita sudah terbiasa dengan kehadiran berbagai sajian-sajian berita yang dikemas oleh media massa dengan berbagai sudut pandang.
Sebagai kalangan audiens kita kadang hanya menyatap berbagai sajian-sajian yang disajikan oleh media massa tanpa ambil pusing. Apakah berita yang disajikan itu benar-benar memang sesuai dengan konsep-konsep pembuatan berita atau hanya semata-mata sajian mengejar dead line dimana kedalaman dan kebenaran dari berita itu belum kurang mendalam. Publik dengan mudahnya digiring dengan tema-tema yang sedang menjadi sorotan publik.
Alkhasil khalayakpun juga merespon berbagai sajian media dan tidak heran terkadang merekapun berani mengeluarkan justifikasi persoalan terhadap suatu pemberitaan yang benar salah belum jelas. Dengan beramai-ramai media massa berhasil membawa opini publik akan suatu berita yang terus menerus disajikan oleh media.
Apa Sebenarnya Public Opinios?
Dari Wiki media menerangkan bahwa Public Opinios adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pendapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan. Agregat dari sikap dan kepercayaan ini biasanya dianut oleh populasi orang dewasa.
Dalam menentukan opini publik, yang dihitung bukanlah jumlah mayoritasnya (numerical majority) namun mayoritas yang efektif (effective majority). Subyek opini publik adalah masalah baru yang kontroversial dimana unsur-unsur opini publik adalah: pernyataan yang kontroversial, mengenai suatu hal yang bertentangan, dan reaksi pertama/ gagasan baru.
Maka kita tidak asing jika suatu kasus contohlah penahanan dari pimpinan non aktif KPK Candra dan Bibit yang menjadi sorotan public semakin mendapatkan porsi yang lebih sajiannya dalam sebuah berita, seiring dengan ketertarikan dari kalayak yang semakin meningkat. Khalayak mendapatkan berbagai liputan yang bertemakan kasus tersebut dari berita yang ditayangkan dengan berbagai referensi.
Pemberitaan yang kontraversial tersebut semakin mendapat perhatian besar dari kalangan masyarakat pemirsa. Orang-orang dan istitusi yang berkaitan kasus tersebut juga tak lepas dari perhatian masyarakat. Maka tidak heran mediapun mencoba menggali berita dan juga menghadirkan orang-orang yang terkait didalamnya sebagai para nara sumber agar unsure keseimbangan berita tetap terjaga dan audienpun rasa keingintahuannyapun terpenuhi..
Opini public tidak boleh hanya dipandang sebelah mata. Berbagai persoalan terlebih yang cukup mendapat sorotan dari masyarakat tidak bisa hanya diselesaikan begitu saja hanya semata-mata mengandalkan pengadilan. Hal ini jika diabaikan begitu saja akan berpengaruh terhadap dunia perpolitikan kita.
Jika katakanlah para penegak hukum sudah mendapatkan pandangan negative dari masyarakat. Maka suatu persoalan tidak akan selesai begitu saja sepanjang opini masyarakat masih beranggapan bahwa kasus tersebut masih penuh dengan ketidakadilan didalamnya dan tidak memenuhi harapan masyarakat. Kalau di Negara kita para pemegang kekuasaan sudah tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat, lalu bagaimana dengan pandangan Internasional terhadap NKRI?
Maka pembetukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang di bentuk presiden yang diharapkan bisa lebih independen dalam mencari fakta itu patut kita acungi jempol. Dalam mengatasi persoalan yang didalamnya terdapat berbagai institusi penegak hukum dan sorotan publik Presiden diharapkan segera bisa mengambil kebijakan dari berbagai masukkan dari TPF yang diakui masyarakat sudah terdiri dari personel-personel yang mumpuni.
Opini public memang tidak diharapkan hanya menjadi justifikasi terhadap persoalan. Di Indonesia sebagai Negara hukum masih ada institusi-institusi yang diharapkan bisa menyelesaikan kasus ini secara transparan dan sesuai dengan keadilan. Adanya opini public yang berkembang ditengah masyarakat terhadap persoalan tersebut sekali lagi hendaknya bisa dijadikan sebagai masukan untuk kebebasan masyarakat beraktuialisasi untuk menghidupkan pilar-pilar demokrasi di Indonesia. Masyarakatpun berhak untuk berpendapat dan bersuara mengenai persoalan negeri ini bukan hanya para pejabat saja yang mempunyai jabatan.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?