Ahlu Sunnah wal Jama’ah

Diposting oleh admin on Selasa, 06 April 2010


Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya membutuhkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.

Asal Kata
Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.
Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.

Pengertian
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:
Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik. Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.
Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti “dan”. Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.

Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau. Kata aljamaah berarti juga para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui: sebab musabab sesuatu hadits timbul, situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.

Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.

Dengan demikian secara literal, Ahlussunnah wal-Jama’ah berarti “Pendukung Sunnah (Nabi Saw) dan Jama’ah.” Para pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi Saw dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan keislaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya goyang, bahkan bisa jadi hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, maka dia bukan lagi bagian dari masyarakat Islam.


Firqah-Firqah dalam Konteks Sejarah
Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul  orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.
Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini juga terjadi sebagai akibat bercampurbaurnya urusan keagamaan dengan urusan pemerintahan.

Hal yang mendasari kelahiran berbagai golongan dalam Islam ialah setelah munculnya masa fitnah, yakni terbunuhnya khalifah Usman bin Affan RA. Saat itu para sahabat memilih Ali bin Abi Thalib RA untuk menggantikan Usman sebagai khalifatul mukminin. Namun, pengangkatan Ali bin Abi Thalib melahirkan perlawanan dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Aisyah, Thalhah dan Zubair bin Awwam. Mereka menuntut agar khalifah Ali menangkap dan memberlakukan Qishash kepada para pembunuh Usman. Muawiyah memerangi Ali karena ia adalah kerabat dekat Usman, dan juga karena ingin berkuasa.

Aisyah istri rasul, memerangi Ali bin Abi Thalib dan kemudian berhasil dikalahkan (perang tersebut dinamakan perang jamal, karena Aisyah mengendarai unta). Setelah itu pasukan Ali bertempur melawan pasukan Muawiyah. Ketika pasukan khalifah Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah, maka panglima Muawiyah, Amar bin Ash, melancarkan siasat Tahkim (mengangkat al-Quran) agar mereka tidak di bunuh. Sebagai gantinya mereka menawarkan perundingan. Khalifah Ali kemudian menerima usul itu. Dalam perundingan, Khalifah Ali diwakili Abu Musa Al-Asy’ari, sedang Muawiyah diwakili Amar bin Ash. Ternyata hasil perundingan merugikan pihak khalifah Ali, karena Abu Musa tertipu siasat Amar yang memberhentikan Ali dan mengangkat Muawiyah sebagai khalifah yang baru. Kelompok yang mendukung Ali disebut kaum Syiah. Lambat laun, Syiah tidak hanya berkembang sebagai sebuah gerakan politik. Bahkan mereka juga menjadi suatu kelompok dalam Islam dan memiliki penafsiran keagamaan tersendiri. Kaum Syiah mengkultuskan Ali bin Abi Thalib, sebagai penerus keimaman pasca rosulullah SAW, bahkan mewariskannya hingga beberapa garis keturunan Ali. Paham keagamaan mereka tertuju kepada beberapa figure, seperti: bidang fiqh mereka merujuk kepada Imam Ja’far shodiq, bidang Hadits mereka mengikuti al-Kulaini, bidang tasawuf mereka bersumber kepada Mulla Shadra, sedangkan teologi mereka lebih dekat kepada Mu’tazilah.

Diantara para pendukung Ali, juga terdapat golongan yang memisahkan diri, karena menolak diadakannya perundingan dengan kelompok Muawiyah. Mereka menganggap keimaman Ali, dikalahkan oleh urusan politik, sehingga tidak perlu lagi diikuti. Golongan ini populer disebut dengan istilah Khawarij. Ciri umum kelompok ini adalah terlalu kaku, radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur. Golongan ini adalah golongan yang gemar mengkafirkan muslim lainnya, karena mereka menafsirkan Al-Quran secara kaku sebagaimana yang tertulis dan terkadang meninggalkan As-sunnah. Padahal dalam memahami Al-Qur’an sebagai hukum saja, harus dimengerti dengan bantuan asbabul nuzul, wurud dan kaidah-kaidah lainnya. “Al-Qur’an itu terlalu umum sehingga apapun yang kamu sampaikan akan ada bantahannya yang juga diambilkan dari al-Qur’an. Berargumenlah dengan Sunnah,”demikian kata Ali bin abi Thalib. Jadi walaupun al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam, pada prakteknya Sunnah inilah yang paling sering dirujuk.

Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu’tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.

Ahlu Sunnah Wal-Jamaah
Adapun Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah (Aswaja) tidaklah lahir dari suatu pertikaian politik, karena aswaja sebuah golongan yang meneruskan konsep jamaah sepeninggal Rosulullah SAW. Setelah Sunnah, otoritas yang bisa menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus menjadi pedoman masyarakat Muslim adalah Jama’ah. Bagi orang Sunni (pengikut Aswaja), sepeninggal Nabi otoritas jatuh ke tangan masyarakat Islam, yang disebut Jama’ah. Jama’ahlah yang menjadi ‘wakil’ Tuhan di bumi. Jama’ahlah yang menentukan siapa yang akan memegang otoritas politik dan agama. Pemimpin umat dipilih oleh Jama’ah. Keputusan-keputusan apapun yang menyangkut masyarakat Muslim ditentukan oleh Jama’ah lewat musyawarah.

Hasil putusan Jama’ah disebut Ijma’. Sekali diputuskan, Ijma menjadi sumber hukum yang harus diikuti oleh semua anggota Jama’ah. Umar RA pernah mengatakan bahwa “Tangan Allah itu di atas Jama’ah.” Apa yang baik menurut Jama’ah pasti baik menurut Tuhan. Orang Islam yang keluar dari Jama’ah dianggap bukan Islam. “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan lepas dari Jama’ah, maka matinya adalah mati Jahiliyyah,” demikian kata Nabi. Jahiliyyah adalah keadaan seseorang atau suatu masa sebelum Islam.

Identifikasi yang sangat jelas antara Jama’ah dengan Islam ada pada masa Nabi. Waktu menyeru kepada Islam, Nabi kadang-kadang mengggunakan kata-kata “Masuklah Anda ke Jama’ah.” Maksudnya, masuklah Anda ke dalam Islam. Tetapi perlu diingat bahwa Madinah pada masa Nabi juga dihuni kalangan non-Muslim (antara lain, Yahudi). Pembuatan Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisi hak dan kewajiban masing-masing angggota masyarakat Madinah, tentu saja melibatkan kelompok-kelompok non-Muslim. Analisa terhadap dokumen itu menunjukkan bahwa piagam ini tidak dibuat sekali jadi, tetapi dalam beberapa tahapan melalui negosiasi yang alot.

Sebagai produk dari sebuah negosiasi, tidak semua apa yang ditulis di dalam dokumen itu sesuai dengan keinginan Nabi dan orang-orang Islam. Nabi, misalnya, dalam dokumen itu tidak meletakkan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi lebih sebagai kepala suku. Demikian juga, tidak semua kepentingan orang-orang non-Muslim diakomodasi oleh dokumen tersebut. Masing-masing bergeser dari posisi awal dan berusaha menemukan kesepakatan.

Berasal dari bahasa Arab, jama’ah berarti ‘persatuan’ atau ‘kebersamaan.’ Sembahyang berjama’ah artinya sembahyang bersama-sama. ‘Ijma’ adalah keputusan bersama. Menekankan aspek kebersamaan, Jama’ah lebih dari sekedar persoalan mayoritas minoritas, sehingga simple majority bukanlah mekanisme yang diadopsi untuk memperolah keputusan. Ia adalah instrumen dimana hubungan kemanusiaan, pengakuan adanya perbedaan, partisipasi semua pihak, dan kelegaan bersama dipelihara. Kebersamaan tidak dicapai dengan cara menghilangkan kelompok lain, tetapi dengan cara dialog.

Ahlu Sunnah Wal-Jamaah memiliki metoda, haluan atau pedoman yaitu meliputi:
Nash Qath’iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan. Nash qath’iy harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran, karena memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.

Ar-Ra’yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath’iy atau tidak ada /nash/nya. Penggunaan ar-ra’yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat. Ar-ra’yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz  bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra’yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.

Penggunaan ar-ra’yu harus dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ketat, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Keharusan bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri adalah mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad dan bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Diantaranya yang dapat diikuti yaitu para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid. Firman Allah dalam al-Anbiya’ ayat 7 yang artinya: “Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu”.

Dalam mempermudah jalan mempelajari dan memahami al-Islam, para ulama salaf, shalihin, yang menjadi rujukan dalam paham ahlu sunnah Wal-Jama’ah ialah mereka yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Secara umum para ulama itu antara lain: Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy’ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy. Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’iy, dan Imam Hambali. Dalam bidang tasawuf: Al-Ghazali.

Prinsip Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi rujukan bagi tingkah laku sosial dan pemahaman keagamaan. Prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah, yang bersumber kepada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas ini telah menjadi paradigma sosial-kemasyarakatan yang terus dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat Islam dan pemikirannya.

Prinsip-prinsip dasar ini meliputi :
Pertama, prinsip tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Tasawuth dapat berarti Moderasi, yakni menengahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara Qadariyah (free-willism) dan Jabariyah (fatalism), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi. Sikap moderasi Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbâth) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula dalam berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y). Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab empat serta generasi lapis berikutnya dalam menghasilkan hukum-hukum.

Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka : (1) Memahami ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus sepantasnya diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi’in sampai para imam dan ulama mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.

Kedua, prinsip tawâzun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini Ahlussunnah wal Jama’ah ingin menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat.

Dalam politik. Ahlussunnah wal Jama’ah tidak selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrim). Akan tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Jadi, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawâzun.

Ketiga, prinsip tasâmuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islâmiyyah).

Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat.  Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam diskursus sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama’ah banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek  kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi’ah atau bahkan Hinduisme.

keempat, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbauatan yang baik dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat  menjerumuskan kehidupan ke lembah kemungkaran.

Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmah li al- ‘âlamîn).

Berijtihad vs Bermazhab
Berbicara tentang Ahlus Sunnah wal Jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra’yuqath’iy, pasti. adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau

Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath’iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma’ atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah: 1) Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala  kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain. 2) Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua hal ini harus dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenarkan kecenderungan selera dan hawa-nafsu. Dengan demikian, tidak sulit memastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad.

Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen. Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi’iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

Ada alternatif lain yang disebut ittiba’, yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya.Namun mewajibkan ittiba’ atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba’? ittiba’ hanyalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba’ tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?