”Eksklusivitas” Dakwah Kampus

Diposting oleh Sulatri on Senin, 29 Maret 2010

Suara Merdeka, 7 Februari 2009

JIKA Anda mahasiswa, tahukah dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK)? Banyak mahasiswa yang merasa awam ketika ditanya mengenai keberadaan LDK di kampusnya. Lembaga Dakwah Kampus adalah lembaga yang bergerak di bidang dakwah Islam. Kampus merupakan inti kekuatannya dan warga civitas aka-demika adalah obyek utamanya.  

Ditinjau dari struktur sosial kemasyarakatan, mahasiswa dan kampus merupakan satu kesatuan sistem sosial yang mempunyai peranan penting dalam perubahan sosial peri-kepemimpinan di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan dari potensi manusiawi, mahasiswa merupakan sekelompok manusia yang memiliki taraf berpikir di atas rata-rata.  

Dengan demikian, kedudukan mahasiswa adalah sangat strategis dalam mengambil peran yang menentukan ke-adaan masyarakat di masa depan. Sejak awal, keberadaan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) turut menjadi tonggak pembentukan karakter mahasiswa dengan sandaran nilai-nilai keagamaan. Dengan berbagai potensi strategis kampus, maka penanaman pemikiran religius di dalam kampus melalui dakwah diharapkan dapat menyebar secara efektif ke tengah-tengah masyarakat. 

Sebenarnya LDK memiliki peran cukup vital bagi civitas akademika. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini yang kebanyakan mahasiswa moralnya amburadul telah terkikis oleh budaya hedonisme. De-ngan adanya dakwah kampus diharapkan dapat berperan dalam mencerahkan sebanyak-banyak objek dakwah agar mereka dapat menjadi bagian dari unsur perbaikan bangsa di masa yang akan datang.  

Namun, selama ini justru masyarakat kampus kurang populer dengan keberadaan lembaga ini. Bagaimana dapat memberikan manfaat jika kaderisasinya tidak berjalan dengan baik? Masyarakat awam kampus cenderung melihat lembaga ini terkesan “eksklusif”. Secara tampilan, biasanya laki-lakinya berpakaian baju koko dengan celana panjang gantung di atas mata kaki. Perempuannya memakai jubah dan jilbab lebar.

Padahal Kadang-kadang ada mahasiswa yang ”sensitif” duluan melihat sesuatu yang Islam banget lalu mahasiswa pasti akan malas untuk mengikutinya.  

Mahasiswa awam di kampus menganggap pegiat LDK seolah hanya mau bergaul dengan sesama pegiat LDK atau mereka yang memiliki orientasi moral secara dominan. Pegiat LDK biasanya menutup diri dari persinggungan dengan orang atau kelompok yang dianggap “salah” berdasarkan nilai-nilai agama. Tentunya dapat dibayangkan bagaimana wajah aktivis masjid kampus atau LDK yang begitu kaku, dan formal.  

Padahal jika ingin mempunyai banyak kaderisasi tentunya seharusnya LDK dapat berbaur, dan dakwah seharusnya menyentuh semua objek tanpa membedakan orang yang benar dan salah.  

Jika cara-cara yang dilakukan cenderung tradisional misalnya dengan pengajian di masjid tanpa menjemput bola, tentu agak sulit untuk merangkul mahasiswa karena mahasiswa sekarang cenderung lebih suka hura-hura daripada aktif di kampus. 
 
Mahasiswa yang keimanannya pas-pasan akan berpikir dua kali untuk mengikuti lembaga ini, mereka akan bergumam, ’’Apakah aku cukup alim ya untuk ikut LDK?’’  

Padahal seharusnya mahasiswa yang pas-pasan itu tadi merupakan target utamanya, tapi LDK sendiri yang memberikan kesan bahwa lembaga ini merupakan lembaga yang dikhususkan buat orang alim. 
 
Namun, sebenarnya hal itu seharusnya bukan dijadikan hambatan kaderisasi bagi para pegiat LDK. Sekarang  ini sudah tidak zamannya lagi pegiat LDK hanya duduk berpangku tangan menunggu massa datang dengan sendirinya.  

Diperlukan inovasi, kreasi dan teknik menjemput bola yang sesuai dengan arus globalisasi sekarang ini. Pada perkembangannya, pendekatan dakwah harus dapat meluas dan semakin bervariasi tergantung inovasi dan kreativitas pegiat LDK.

Tak dimungkiri, muncul tuntutan kesesuaian dakwah agar senantiasa bisa menjangkau targetnya. Pendekatan dakwah melalui pengajian taklim, ceramah di masjid, tentu sudah tak sesuai lagi, yang tak jarang membosankan bagi sebagian anak muda. Cara tersebut tidak salah, namun terkadang mahasiswa kurang suka mengkaji suatu topik dengan serius, tak terkecuali topik tentang agama.  

Di sinilah perlunya keberadaan diskusi interaktif atau talkshow. Jika perlu dilengkapi dengan kuis dan doorprize, yang pelaksanaannya tak melulu harus di lingkungan masjid.  

Dengan demikian masyarakat awam akan dapat berpikir bahwa LDK bukan merupakan kumpulan orang saleh, melainkan orang yang belajar saleh. Pegiat LDK yang aktif di masjid kampus harusnya bisa menyambut hangat beragam lapisan mahasiswa, sekalipun ia tidak berjilbab hingga belum bisa membaca Alquran dengan lancar. (Dela Sulistiyawan Yunior - 80)

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?