Oleh : Munawir Aziz*
Warga Jawa Tengah (Jateng) sedang memimpikan pemimpin yang visioner dan mampu mengentaskan kemiskinan, serta memberi solusi atas beragam masalah yang terjadi di Jateng. Masyarakat Jateng sedang menanti pesta demokrasi yang sebentar lagi digelar. Event yang mengusung nilai luhur demokrasi itu mentahbiskan seorang gubernur baru. Ya, ajang "kondangan" demokrasi Jateng itu bernama "Pemilihan Gubernur" (Pilgub). Tokoh masyarakat yang berkeinginan untuk maju sebagai calon Gubernur sudah bersiap diri. Tim relawan pendukung calon tertentu juga sudah mulai direkrut, untuk memperkuat konsep kampanye mendatang. Intelektual, tokoh parpol, tokoh agama, aktivis LSM bahkan aktivis mahasiswa direkrut untuk membangun tim kampanye yang solid dan kuat. Di kalangan intern partai politik (parpol) sudah mulai terbaca peta "dukungan" terhadap salah satu calon. Beberapa partai bahkan masih bergelut dengan tawar-menawar "harga" tiket dukungan. Tentu, dengan beragam konsekuensi dan persyaratan khusus. Tetapi, di tengah hiruk-pikuk tawar-menawar kepentingan calon gubernur dengan parpol, muncul peta politik baru yang menghentak banyak pihak. Parpol merasa wilayah permainan politiknya dibatasi, otoritas mengusung calon dikebiri. Bagaimana tidak, ketika parpol bersiap mengusung nama tokoh sebagai calon gubernur, Mahkamah Konstitusi (MK) melontarkan kebijakan baru, membolehkan calon independen maju dalam pesta demokrasi tanpa menggunakan "tumpangan" partai. Hal ini mengakibatkan, parpol yang getol mengusung nama tokoh sebagai andalannya terhenyak, peta politik pun berubah drastis. Tokoh masyarakat yang berkeinginan maju sebagai calon gubernur Jateng, tak pelu memikirkan "tiket" dukungan kepada parpol. Banyak kalangan yang gembira dengan hal ini, karena melihat kinerja parpol yang memprihatinkan. Parpol dinilai tidak lagi mementingkan aspirasi masyarakat, tetapi lebih mementingkan pemilik modal dan golongannya. Warga kecil yang terhimpit dengan beragam masalah pelik, tak tersentuh oleh program parpol. Bahkan, aspirasi rakyat miskin cenderung dianggap sebagai angin lalu. Potret Gagalnya Parpol Potret gagalnya parpol dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat terekam dalam berbagai momen politik yang menggelisahkan. Beragam masalah di Jateng menjadi potret buram yang menggelisahkan, penolakan PLTN Muria, kekeringan di berbagai daerah, rentetan kasus kecelakaan yang terjadi, sampai keinginan munculnya provinsi Banyumas menjadi masalah pelik yang harus diselesaikan. Di wilayah lain, Kasus lumpur Lapindo yang tak pernah selesai, nasib buruh pabrik sepatu Nike yang mengenaskan, nasib guru yang terlunta dan beragam masalah lain, menegaskan bahwa kinerja parpol belum optimal, bahkan cenderung dibawah bayang-bayang intervensi kekuasaan. Interpelasi yang diajukan untuk menggugat pemerintah tak menuai hasil, karena sikap parpol yang tidak konsisten. Parpol bahkan dinilai sebagai calo politik, hal ini terlihat dalam beberapa pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung. Parpol menetapkan biaya yang mahal, sekedar untuk membeli tiket dukungan. Hal ini juga terjadi di Pilgub Jakarta yang sekarang sedang berlangsung. Disinyalir, tiket dukungan parpol untuk mengusung calon bernilai ratusan miliar, sehingga banyak calon yang terlempar dari "arena politik" melihat mahalnya tiket dukungan parpol. Praktek money politics ini mengisyaratkan kegelisahan yang mendalam, parpol yang seharusnya mengayomi warga tidak mampu menjalankan amanah yang diberikan rakyat. Warga kecil hanya menjadi komoditas politik yang disapa ketika masa kampanye tiba. Selebihnya, tokoh parpol lupa dengan janji dan sumpah yang telah diungkapkan. Sungguh moralitas politik yang mengenaskan. Padahal, sebenarnya Parpol berfungsi sebagai wadah yang menampung aspirasi warga dan menfasilitasi keinginan politik rakyat. Hal ini senada dengan yang dikatakan Machpherson (1978), parpol berfungsi sebagai tempat mewadahi upaya setiap warga negara untuk memperebutkan sumber daya langka. Keinginan masyarakat dalam kenyataan bersifat tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan terbatas. Parpol sebenarnya, menjadi muara kepentingan warga dalam menjalani kehidupan berbangsa. Intitusionalisasi kepentingan untuk menyelesaikan beragam permasalahan, penyaluran aspirasi dan penghentian konfik, seharusnya melalui parpol. Warga yang mengalami beragam masalah dalam hidup dan mengalami himpitan politik, menyalurkan aspirasinya melalui partai politik. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, kepercayaan masyarakat kepada parpol sudah mulai berkurang, karena tokoh politik tidak mencerminkan pembelaan kepada kepentingan rakyat. Calon Independen yang Membebaskan Melihat peraturan baru yang mengagetkan sekarang ini, beberapa parpol berupaya menempuh jalur lain, untuk membangun kekuatan politik. Memang, parpol tidak lagi berpeluang menggugat keputusan MK, namun mencoba menghambat dengan cara mengajukan pembatasan. Mereka usulkan dukungan minimal sebagai syarat ikut pilkada. Partai Golkar, PPP, dan PKS, misalnya, mengusulkan minimal calon independen memiliki dukungan 15 persen suara penduduk di daerah yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan peran parpol sebagai penggerak utama dalam demokrasi. Alternatif dengan memperbolehkan calon independen maju dalam Pilgub dan Pilkada tentu dapat mengikis calo politik yang berkeliaran. Tak ada lagi tiket dukungan parpol yang mahal, sehingga besar kemungkinan pilgub Jateng mendatang lebih demokratis. Kebijakan MK yang secara tiba-tiba memperbolehkan calon independen menjadi pertaruhan politik yang sulit diraba. Apakah hal ini akan memutus mata rantai money politics yang terjadi pada pilgub dan pilkada, ataukah mengakibatkan politik kepentingan yang dibumbui dengan aroma suap menjadi lebih subur? Tentu tak mudah memprediksi hal ini. Tetapi, hal ini perlu direspon sebagai langkah politik yang positif. Calon independen dapat menjadi alternatif solusi di tengah kerinduan rakyat terhadap pemimpin yang visioner, pro-rakyat dan memegang teguh janji politiknya. *Penulis adalah Pemred LPM Paradigma STAIN Kudus dan KAder PMII Kudus. HP. 085229704687.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?