oleh Irfan Ryosadi*
Sepanjang sejarah kemerdekaannya, Indonesia belumlah benar-benar merdeka. Kenapa? Karena yang menentukan arah dan kebijakan pemerintah Indonesia bukanlah kepentingan rakyat dan bangsanya sendiri tetapi kepentingan kekuatan-kekuatan lain yang lebih berpengaruh. Pendek kata, kita adalah bangsa yang setengah merdeka. Secara fisik merdeka, tetapi jiwa dan pikiran kita dikuasai oleh nalar kolonialisme. Dan ini jauh lebih berbahaya daripada penjajahan fisik. Dewasa ini, kehadiran kolonialisme dalam bentuk barunya sudah tidak dapat ditutup-tutupi lagi walaupun hadir melalui wajah ideologi ekonomi-politik yang dijalankan oleh aparatur negara. Negara, dengan kata lain, telah kehilangan perannya sebagai pelindung rakyat. Dengan dalih, bahwa konsep negara-bangsa telah berakhir (lihat bacaan-bacaan yang menarasikan tentang the end of nation-state atau the end of welfare state) karena tekanan globalisasi yang menuntut dihapuskannya territorial borders antar negara, maka negara tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti kehendak komunitas global. Tantangan kita ke depan adalah bergerak di antara tekanan dari komunitas global dan ketidakmampuan komunitas lokal dalam merespons berbagai perkembangan yang tidak dapat dihindarkan.
Selama ini, cara kita memandang kepulauan Nusantara cenderung bersifat kontinental, mengabaikan kenyataan bahwa kepulauan itu terpisah oleh selat-selat dan lautan. Jika selama ini kita menganggap bahwa negara-bangsa Indonesia adalah sebuah konsep yang taken-for-granted, maka kita harus menyadari nalar konstruksi nation-state tersebut. Dalam memandang Indonesia, kita menganggapnya sebagai sebuah konsep yang baku yang tidak meniscayakan adanya perubahan, sementara dalam realitasnya, ada banyak sekali unsur-unsur sub-nation yang dipaksakan masuk dalam wadah sebuah komunitas yang dibayangkan sebagai Indonesia ini. Komunitas yang disebut sub-nation adalah realitas sementara komunitas nasional yang bernama Indonesia adalah imajinasi. Justru, ketika proses character and nation building belum tuntas, muncul konsep globalisasi yang memporak-porandakan bangunan negara-bangsa kita yang tiang-tiangnya belum kokoh. Konsep negara-bangsa adalah konsep yang berasal dari Barat sebagai tawaran bagi bangsa-bangsa yang baru lepas dari penjajahan bangsa-bangsa Barat. Artinya, bangsa-bangsa eks koloni tidak akan dibiarkan menuntaskan agenda yang justru merupakan blue-print dari negara-negara maju. Lihatlah, mulai dari konsep negara-bangsa, pembangunan, sampai liberalisasi semuanya tidak berjalan sepenuhnya, dibiarkan mengambang pada level quasi-state (atau quasi-nation).
Sementara itu, pada aras produksi pengetahuan semuanya berbasis pada nalar orientalisme, meminjam alat dan hasil baca ‘orang lain’ untuk melihat diri sendiri. Ada satu kuasa yang menentukan jenis dan trend wacana yang harus dikonsumsi pada saat tertentu, yang menentukan mana pengetahuan yang diakui dan mana yang subversif. Wacana-wacana yang diakui adalah produk dari sebuah rangkaian skenario yang berlatar dominasi dan hegemoni. Inilah yang dimamah-biakkan di kampus-kampus kita, sehingga produk dari pendidikan kita sudah dapat ditebak hasilnya: munculnya generasi-generasi yang asing dari permasalahan bangsanya, dari jati diri dan suasana batin kebangsaannya.
Pada aras gerakan dan ormas, semuanya terjebak pada mainstream, tidak mampu keluar dari jebakan-jebakan wacana dan kuasa yang menebarnya. Ambillah contoh semisal, dikotomi tradisional-modern yang membelah Islam pada paruh kedua abad XX. Sekarang terlihat dalam drama Islam Radikal dan Islam Liberal. Pada pihak Islam, tersebar wacana ancaman sekularisasi yang dibawa oleh kaum nasionalis, sementara pada pihak nasionalis yang beredar adalah ancaman Islamisasi atau politik Islam. Itu semua karena kita tidak mampu menjelaskan diri kita sendiri dengan bahasa dan kosa-kata kita sendiri. Agar dibilang modern kita mencocok-cocokkan istilah Barat dengan fenomena domestik yang lain sama sekali urutan dan duduk perkaranya.
Oleh karena itu, PMII sebagai organisasi kader yang menyadari dengan sepenuhnya permasalahan kebangsaan ini perlu untuk membuat semacam “Kader Pelopor” di bidang pengkaderan agar mampu mengatasi jurang pemisah yang begitu dalam antara pengetahuan yang diakui dengan kenyataan bangsa Indonesia ini. Secara simplistis dapat diuraikan bahwa tujuan “Kader Pelopor” yang kita maksud ini adalah untuk: Pertama untuk menciptakan kader-kader yang memahami berbagai masalah kebangsaan dan mengetahui retakan-retakan dan patahan-patahan sejarah bangsanya; Kedua memperkuat loyalitas dan integritas kader terhadap visi-visi kebangsaan dari organisasinya; dan Ketiga mendidik kader-kader yang siap bekerja serta mempunyai pandangan jauh kedepan untuk kepentingan dan masa depan bangsanya.
Memang, ini bukan hanya tugas pengkaderan yang ringan karena kita harus mampu bergerak di luar mainstream, atau di wilayah yang marginal secara publisitas dan kewajaran, bahkan mungkin dipandang sebagai sesuatu yang gila dan aneh, Tetapi bukankah sejarah akan berubah oleh kegilaan? apa yang bisa kita lakuakan tentunya bukan perkara yang mudah untuk PMII mampu menghadirkan kader kader kita yang mampu memecahkan masalah dalam bangsa ini.
(earfund)
Sekretaris Bidang Pengembangan Organisasi dan Kaderisasi PMII Jawa Tengah
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?