Pemimpin

Diposting oleh admin on Selasa, 01 Juli 2008

Oleh Latri
Saat ini kita sudah tidak asing dengan adanya proses kegiatan Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah secara Lansung) oleh masyarakat. Dibeberapa daerah sudah melakukan Pilkada baik dari daerah tingkat satu, provinsi hingga daerah tingkat dua baik kabupaten maupun kota. Dengan adanya Pilkada langsung rakyat diberikan kebebasan untuk memilih sendiri siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Partai juga diberikan kebebasan untuk mencalonkan siapa yang akan diajukan dalam pemilihan. Akan tetapi rakyat sendiri juga tidak jarang yang tidak mengetahui siapa sebenarnya yang akan dia pilih. Meskipun sosiliasasi, kampanye banyak dilakukan ke tengah masyarakat, ternyata hal tersebut belum bisa menjawab ketidaktahuan masyarakat tentang semua calon secara keseluruhan mengenai kualitas maupun kapabilitasnya. Akibatnya masyarakat ketika memilih hanya mengadalkan siapa yang sekiranya paling populer atau terkenal semata. Disamping itu masyarakat memilih seseorang karena yang tersedia hanya itu dan hanya calon-calon tersebut yang mereka kenali. Unsur ke populeran seorang calon terkadang lebih menonjol dari pada kriteria yang lain untuk layak dijadikan seorang pemimpin. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan masyarakat semata jika suatu ketika calon yang terpilih justru hanya mengadalkan kepopuleran sementara mengenai kinerja dan berbagai kriteria lain kurang diperhatikan. Hal ini juga tidak lepas dari partai. Dalam proses pengajuan calon pimpinan daerah sendiri saat ini banyak partai yang mengandalkan ketenaran semata. Entah itu keternaran karena uang atau keseringannya muncul di media massa. Memang ketika suatu pilkada seseorang yang mengandalkan ketenaran itu berhasil mendulang suara terbanyak. Akan tetapi kita juga harus ingat bahwa tugas yang berkenaan dengan kepentingan publik tidak hany membutuhkan ketenaran semata. Disana juga dibutuhkan berbagai keahlian, stakeholder untuk mengelola dan mengentaskan berbagai kepentingan orang banyak. Mau tak mau seorang kandidat juga harus melek politik. Jika partai sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk mengajukan kandidat pemimpin daerah hanya mengandalkan rekruetmen calon berdasarkan ketenaran semata. Lalu apa fungsinya kaderisasi di partai selama ini. Kenapa ketika mengajukan calon mereka lebih banyak mencalonkan orang dari luar partai? Mengapa justru orang-orang baru yang kapablitas dan kuantitasnya masih dipertanyakan yang bisa melenggang dalam kursi pemilihan? Lalu kemana orang-orang yang sudah berkecipung lama di partai tersebut? Kemana larinya orang-orang yang sudah gila-gilaan mengabdikan dirinya di partai? Apakah mereka tidak ada yang layak jual di publik? Kalau hal tersebut terus terjadi hal ini menggambarkan bahwa kaderisasi dipartai itu sudah tidak berfungsi lagi. Atau boleh dikatakan mati. Proses berpartai, training dan berbagai kegiatan yang ada di partai hanya merupakan rutinitas kegiatan semata. Mereka belum mampu memberikan kadernya yang bisa layak dijual untuk publik. Akhirnya kegiatan-kegiatan dipartai hanya dilakukan untuk menggugurkan program. Yang lebih parah lagi hanya untuk menghabiskan anggaran. Tentunya hal ini patut kita sayangkan. Partai yang merupakan salah satu agen of change untuk bisa membawa negeri ini lebih baik masih jauh dari harapan. Apa yang mereka cita-citakan masih hanya jadi impian semata. Rakyat biasa yang katanya jika ingin jadi pemimpin harus mau terjun dan rajin berorganisasi, turut terjun dalam kancah politik hanya dijadikan kaki tangan untuk melajunya seseorang yang punya modal maju kepemilihan meskipun ia tidak harus bergelut di partai. Ini menunjukkan betapa susah sekali masyarakat biasa untuk menduduki posisi strategis meskipun ia sudah berkecipung di organisasi seperti di partai. Berjuang di partai bukan jaminan bisa mendapatkan posisi strategis. Meskipun di era reformasi paska runtuhnya Orde Baru rakyat sudah berkembang dan tidak takut-takut dan mempunyai kebebasan untuk ikut dan memilih organisasi. Mempunyai kebebasan untuk menentukan dan berkiprah dipartai politik dan menentukan mandat politiknya. Pada kenyataanya masyarakat masih susah sekali mendapatkan posisi strategis. Meskipun mereka sudah lama di partai mereka juga tersingkirkan oleh orang yang mempunyai ketenaran. Belum lagi para agen of change yang masih banyak menggunakan paradigma lama yang sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang. Apalagi kalau bukan kerja berorientasi pada proyek semata. Akhirnya hanya perjuangan untuk ego atau kelompoknya sendiri yang justru semakin kelihatan. Maka tidak heran didalam internal partai sendiri justru sering berkonflik sehingga mandat rakyat yang seharusnya dia perjuangkan hanya jadi jargon saat kampanye saja.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?