Oleh: Nur Rokhim*
Krisis multidimensional selama kurun waktu hampir tiga dasawarsa yang melanda bangsa Indonesia membuka mata kita tentang mutu sumber daya manusia Indonesia, ketika ngomong tentang SDM berarti juga memebicarakan mutu dunia pendidikan bangsa Indonesia. Factor penyebab krisis memang banyak akan tetapi pondasi atupun factor yang sangat berperan adalah kurang bermutunya SDM kita. SDM kita kurang professional dan terkadang berbuat secara amoralitas.. Cita-cita awal didirikan bangsa Indonesia salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dalam kenyataannya dan seiring berjalannya waktu mencerdaskan kehidupan bangsa hanya sekedar retorika yang termaktub dalam pembukaan UUD1945.
Ketika diruntut latar belakang permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan ada beberapa permasalahan bagi penulis yang menjadi penyebab kemunduaran dunia pendidikan indonesia,yaitu: tata kuasa pendidikan,tata kelola pendidikan dan tata guna pendidikan. Dalam tata kuasa pendidikan Indonesia yang berperan untuk menentukan kebijakan bukan Negara akan tetapi kekuasana supra struktur yang mengendalikan kebujakan-kebijkan pendidikan, ataupun ketika ada sebuah perubahan dibidang pendidikan tak lepas dari sebuah settingan pasar, banyak kebijakan yang hanya dijadikan sebagai hidden project/ proyek terselubung sebagai suatu contoh perubahan kurikulum pendidikan dari kurikulum yang pertama (1968) hingga yang kelima (2004/kurikulum berbasis kompetensi), praksis pendidikan bukannya sebagai bagian dari nation and character building sebagaimana dirintis Perguruan Tamansiswa (1922), tetapi malah digunakan sebagai impuls kepentingan politik praktis.
Tidak salah kalau berbagai fase kurikulum itu hanya bisu sebagai hidden curriculum, kurikulum yang belum dipraktikkan sebagai pedoman kegiatan belajar di sekolah. Dari sini terlihat jelas, praksis pendidikan kita tidak visioner, mandek, dan sering ditelikung oleh kepentingan sesaat sehingga tidak mengherankan walaupun dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 telah ditetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, tetap saja sampai sekarang belum terealisasi, tersendat di persimpangan jalan yang berliku. Bukan tidak mungkin itu hanya akan menjadi lipstik politik dalam melanggengkan kekuasaan. Padahal, 20% belumlah signifikan, terlebih negara-negara ASEAN saat ini sedang marak-maraknya meningkatkan taraf kualitas pendidikan. Kalau 20% masih sebatas wacana, bagaimana nasib pendidikan di masa depan? Pasti lebih mengenaskan. Karena persoalan pendidikan di orde reformasi sekarang sangat kompleks. Apalagi di tingkat universitas. Terjadinya komersialisasi dan macdonalisasi pendidikan membuat kaum miskin pinggiran terlempar di jurang kepedihan. Walaupun mereka lolos SPMB, karena tidak mampu membayar biaya pendaftaran yang selangit, akhirnya harus angkat kaki dari lingkungan kampus. Inilah malapetaka yang akan menjebol dan memorak-porandakan kemajuan bangsa.
Permasalahan yang kedua dalam tata kelola pendidikan yang masih carut marut, memang dalam kurun waktu hampir tiga dasawarsa ada peningkatan secara kuantitatif dalam dunia pendidikan yang berkembang pesat Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999) coba bayangkan unutuk saat ini pasti lebih dari itu,akan tetapi peningkata secara kuantitatif tidak disertai dengan peningkatan kualitas dan tata kelola pendidikan yang mengakibatkan munculnya ketimpangan- ketimpangan dalan dunia pendidikan dimasyarakat dan yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kulifikasi lapangan pekerjaan; b) ketimpangan antara kulitas pendidikan yang di kota dan di desa, yang jawa dan yang luar jawa antara si miskin dan si kaya.
Selain tata kuasa pendidakn ,tata kelola pendidikan masih ada satu lagi penyebab merosotnya kualitas pendidikan di Indonesia yaitu tata guna pendidikan, sistem persekolahan kita yang cenderung mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik apa yang disebut dengan the dead knowledge yaitu pengetahuan yang bersifat text-bookish atau dengan kata lain peserta didik hanya mereproduksi pengetahuan dari gurunya bukanya memberikan kebebasan kretivitas pada peserta didik.
Berbagai daya dan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidkan Indonesia telah dilakukan akan tetapi belum signfikan memperbarui pendidikan yang kian terpuruk. Secara co-vadis pendidikan indoneisa mencetak bangsa mandiri yang membentuk karakter bangsa Indonesia. Sebenarnya pembaharuan pendidikan yang masih gagal tidak hanya terletak pada system pembaharuan kurikulum yang bongkar pasang akan tetapi lebih mendasar pada penentu kebijakan yang masih mengekor pada kebijkan yang sudah usang yang memfokuskan guru (pedagogic) sebagai pusat pendidikan bukannya memfokuskan pada peserta didik (andragogik). Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo mengatakan dalam lokakarya pendidikan di UPI (19/4/2005), paradigma sumber daya manusia tidak lagi relevan dipergunakan dalam bidang pendidikan. Menu-rutnya, yang sekarang menjadi acuan bagi dunia pendidikan adalah paradigma manusia seutuhnya. Terkait dengan perubahan peserta didik dijadikan sebagai subjek ada perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran menjadi pembelajaran sehingga akhirnya output pendidikan akan tercipta ruang krativitas, enterpreunership yang pada akhirnya akan membentuk karakter bangsa yang mandiri yang dapat berdidekari seperti cta-cita awal pemimpin bangsa Indonesia. AMIN
Tangan Terkepal dan Maju
*Ketua Bidang II PC PMII Solo
Masa Khidmat 07-08
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?