Oleh : Munawir Aziz*
Dalam jagad kehidupan negeri ini, pendidikan selalu menjadi elemen yang dipersalahkan. Dunia pendidikan selalu menyisakan drama tragis, tersisih dan alpa dari gelegar penghargaan. Ketika bangsa ini terbenam dalam berbagai lubang krisis, pendidikan selalu dituding sebagai biang keladi. Di saat beberapa daerah di negeri ini dihantam bencana akibat kerusakan lingkungan, dunia pendidikan menjadi kambing hitam, karena tak mengajarkan sikap antisipasi bencana. Pendidikan negeri ini didakwa tak mampu membawa angin perubahan terhadap "nasib" bangsa. Dunia pendidikan menjadi ruang yang selalu terselimuti kabut kegelapan, tak pernah jelas orientasi masa depannya. Master plan yang dirancang untuk menegaskan orientasi, hanya kokoh mengakar di atas kertas. Di tingkat praksis, pelaksanaan kerja kreatif reformasi pendidikan hanyalah omong kosong belaka. Reformasi pendidikan yang disuarakan secara nyaring hanya menjadi lagu sumbang di tengah penderitaan bangsa. Dunia pendidikan negeri ini seakan tertatih menyangga beban berat berupa kompleksitas permasalahan bangsa. Segala problem kemanusiaan negeri ini akan bermuara pada ruang pendidikan. Di negeri ini, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mencerdaskan bangsa, tapi juga diimpikan menjadi ruang teduh bagi keringnya kebahagiaan warga. Maka, ketika elemen pendidikan tak mampu melaksanakan fungsinya secara optimal, bangsa ini seakan tak mampu untuk menahan umpatan dan pernyataan bernada skeptis; dunia pendidikan selalu dipersalahkan!Pada konteks ini, benarkah krisis kemanusiaan yang terjadi sekujur tubuh bangsa ini apakah murni berasal dari disfungsi pendidikan?, apakah model pendidikan negeri ini memang tak bisa shahih likulli zaman (kontekstual dengan dinamika zaman)?. Kedua pertanyaan satir ini selalu menjadi bahan kajian ketika pendidikan dinilai tak mampu menjalankan peran fundamental sebagai pemantik gelora intelektual umat manusia. Pendidikan di berbagai momentum, hanya menjadi "kambing hitam umpatan" atas noda hitam yang ada di tubuh bangsa ini. Ketika alternatif pemecahan tak mampu digapai, dunia pendidikan menjadi sasaran empuk melempar tanggung jawab. Miskin KreatifitasStagnasi pendidikan yang terjadi di berbagai pihak dibarengi dengan kemiskinan kreatifitas guru dan murid. Potensi ketajaman berfikir bangsa ini dibungkam oleh sistem kekuasaan yang buta dengan kemajuan pemerintahan. Selama orde baru, pembungkaman kreatifitas berupa otoriarianisme penguasa, yang tak pernah "rela" melihat generasi muda berbekal intelektual tinggi muncul membawa spirit perubahan. Di era mutakhir, krisis kreatifitas terjadi karena political will penguasa yang membungkam alur berfikir bangsa. Rakyat negeri ini hanya menjadi penonton yang dipaksa terpukau dengan akrobat politik pemerintah. Penguasa negeri ini hanya disibukkan dengan program pengukuhan partai, politik tebar pesona, safari politik, dan merancang strategi agar bebas dari jeratan hukum. Di saat bangsa sedang berduka, daripada merancang agenda masa depan memulihkan kejayaan bangsa, pemerintah lebih suka meredam kepedihan dengan menciptakan lagu-lagu berirama syahdu. Ketika harga minyak dunia naik drastis, pemerintah dengan tergopoh-gopoh mengumumkan kepada khalayak bahwa negeri ini akan mengalami kerugian. Padahal, logikanya sebagai produsen minyak, Indonesia akan mendapat laba besar, bukannya terperosok pada kerugian. Di saat perusahan minyak negeri lain ramai membangun stasiun pom bensin di berbagai tempat strategis, dengan pelayananan efisien dan maksimal, Pertamina sebagai perusahaan pengolahan minyak dengan susah payah melakukan reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan konsumen, biarpun jejak korupsi masih menggurita. Ketika digempur gelombang persaingan dengan negeri tetangga, bangsa ini hanya bisa jatuh tersungkur. Langkah progresif pemerintah tak lagi diharapkan. Pemerintah dinilai lemah dalam mempertahankan harga diri bangsa ini. Hal ini semakin menjadikan negeri serumpun menganggap remeh bangsa ini. Kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini, dijarah habis-habisan dan dilarikan ke negara lain. Khazanah budaya dan tradisi negeri ini juga diklaim sebagai milik negeri lain. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika wayang kulit, batik, karya sastra, lagu Rasa Sayange dan kesenian Reog diklaim sebagai hak milik negara Malaysia. Indonesia seakan menjadi bangsa yang miskin identitas dan mengalami krisis kreatifitas serta harga diri. Bangsa ini menjadi silent nation di tengah riuhnya kontestasi negara di jagad pertarungan perekonomian dunia. Pada titik ini, kreatifitas menjadi sesuatu yang mahal harganya. Padahal, sebenarnya bangsa ini memiliki potensi intelektual yang sejajar dengan bangsa lain. Modal intelektual (intelectual capital) bangsa ini tak pernah diasah dan dikembangkan. Modal intelektual sebagai modal "intangible" seakan tak pernah disentuh, dan pada akhirnya menjadi usang. Guru dituntut menjadi lokomotif perubahan dengan menggenggam spirit pencerahan. Hal ini senada degan yang diungkapkan Prof Qodry Azizy, bahwa guru harus berperan sebagai care giver (pengayom), mentor dan uswah bagi anak didiknya. Kreatifitas akan memberikan pencerahan di setiap desahan nafas pembelajaran. Kreatifitas yang selalu menghablur dalam setiap momentum pembelajaran akan membawa spirit pencerahan. Guru tak hanya melulu ikut pada pakem metode pembelajaran dari pemerintah, akan tetapi menjawab tantangan yang ada di ranah lokal dengan kreatifitas diri dan kepekaan sosial yang kokoh. Dalam bahasa Khalid Abou el-Fadl (2002), kabut yang menyelimuti pemikiran akan terbuka dengan konsistensi belajar. Konsistensi dan kreatifitas akan menyibak tirai kejahilan. Membangun Etos Kemanusiaan Bangsa ini perlu merevitalisasi etos kemanusiaan yang saat ini seakan runtuh. Sikap yang—dalam bahasa Franz Magnis Suseno (1999)—diambil berdasarkan tanggung jawab moral diperlukan oleh warga negeri ini untuk menggapai kemajuan. Dunia pendidikan negeri ini hendaknya menjadi "mesin produksi" manusia cerdas dan produktif. Selain membangun iklim pendidikan positif dengan memberi akses siswa potensial dan cerdas, alokasi dana pendidikan proporsional dan sistem kerja yang kondusif bagi warga berprestasi untuk mengaktualisasikan ilmu di negeri ini. Anggaran pendidikan bangsa ini tak boleh kalah dari dana pembiayaan sepak bola, karena keduanya menaikkan prestise dan prestasi negara.Revitalisasi etos kemanusiaan itu menjadi penting agar bangsa ini dapat keluar dari kemelut krisis multidimensi. Kokohnya etos kemanusiaan bangsa—dalam analisis Gunnar Mirdal dalam Asian Drama, New York (1968)—tercipta dengan tumbuhnya efisiensi, kerajinan, sikap tepat pada waktunya, kesederhanaan, sikap mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, siap bekerja secara energetis, sikap bersandar pada kekuatan sendiri, sikap mau bekerja sama, kesediaan untuk memandang jauh ke depan. Inilah yang akan menjadikan negeri ini dipenuhi dengan manusia kreatif yang menjunjung etos kemanusiaan kuat. Bangsa ini membutuhkan generasi baru yang menggenggam kreatifitas dan memiliki etos kemanusiaan utuh. Spirit pendidikan berbasis pencerahan akan mampu mengobati dahaga kesejahteraan negeri ini.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?