Pendidikan Vs Reality Show

Diposting oleh diam on Minggu, 20 Juli 2008

Oleh : Nur Rokhim

Kader PMII Solo

Arus globalisasi telah menyentuh berbagai sendi kehidupan manusia di dunia. Cepatnya arus globalisasi menurut William K.Tabb (2003) mampu membentuk rezim perdagangan dan keuangan dunia serta mendefinisikan ulang kesadaran pada tingkat yang paling dekat dan lokal, mempengaruhi bagaimana orang memandang dirinya, ruang gerak anak-anak mereka dan entitas mereka sehingga mengalami perubahan akibat kekuatan globalisasi ini. Krisis multidimensional di Indonesia telah menggiring kehidupan masyarakat Indonesia dalam ranah-ranah pragmatis dan ironisnya, untuk memperoleh itu semua masyarakat kita terjebak dalam tatanan global yang dinamakan jalan pintas atau untuk memperolehnya dengan instan tanpa ada sebuah perjuangan.

Dampak globalisasi media ini membuka arus informasi semakin bebas dan cepat sehingga membuat benturan-benturan budaya di Indonesia dan luar negeri, yang notabene tak dikenal di Indonesia. Jadi kekhawatiran bangsa terasakan benar adanya ancaman, penaklukan, serbuan dan pelunturan nilai-nilai luhur dalam paham kebangsaan.

Imbasnya adalah makin maraknya reality show yang ditayangkan di hampir semua stasiun televisi swasta dimana pada acara tersebut menjanjikan kehidupan enak berlimpah materi dengan setting panggung yang menghebohkan dengan tujuan akan lahirnya seseorang artis yang bertalenta yang minimal laku di pasaran.

Ironinya, acara tersebut ditayangkan pada waktu jam dimana anak- anak sekolah diharuskan belajar yaitu pada pukul 19.00-21.00. Dan penayangannya pun hampir setiap hari. Bayangkan, 7 hari dalam seminggu anak-anak kita dihadapkan pada sebuah reality show yang hanya menjanjikan kesenangan sesaat dan menciptakan mimpi-mimpi semu. Sementara dunia pendidikan tak tersentuh sama sekali. Penulis mencatat setidaknya ada bebarapa reality show yang mengisi layar kaca televisi.

Judul Acara

Stasiun TV

Kondang-In

Indosiar

Akademi Fantasi Indosiar

Indosiar

Akademi Fantasi Indosiar Junior

Indosiar

StarDut

Indosiar

Mamamia Show

Indosiar

Supermama Seleb Concert

Indosiar

Superstar Show

Indosiar

Popstars

Trans TV

Bintang Cari Bintang

Trans TV

Indonesian Idol

RCTI

Bintang Cilik

RCTI

Idola Cilik

RCTI

Dan mungkin akan bertambah lagi, semisal reality show yang bergenre social, asmara, kuis dsb. Bayangkan, setiap hari kita disuguhi acara –acara yang selain tidak memiliki efek menghibur sama sekali, malah cenderung membuat kita semakin terbuai dengan mimpi yang melambung.

Lantas apa yang harus dilakukan oleh Negara Indonesia yang saat ini masih dicap sebagai negara berkembang dalam mengatasi tranformasi media yang pada akhirnya akan merubah perilaku dan budaya manusia?

MEMAKSIMALKAN PERAN PENDIDIKAN

Dari tahun ketahun dunia pendikan Indonesia menunjukkan peningkatan secara kuantitatif. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi, dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Data tersebut belum untuk tingkat SMP dan SMA, dipastikan untuk tahun 2008 lebih dari itu. Sungguh hal yang patut disyukuri. Akan tetapi, peningkatan secara kuantitatif tidak diimbangi dengan peningkatan pendidikan secara kualitatif, sehingga muncul banyak ketimpangan-ketimpangan pendidikan di dalam masyarakat kita. Yang paling menonjol adalah: a) kualitas out put pendidikan dengan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Sering kita jumpai di dunia kerja seseorang bekerja akan tetapi lepas dari background pendidikannya, b) ketimpangan kualitas pendidikan di desa dan di kota, di luar Jawa dan Jawa, antara si miskin dan si kaya. Disamping itu juga muncul permasalahan-permasalahan terkait dunia pendidikan kita . Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-book sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan

Di Indonesia, pendidikan acap kali dijauhkan dari permasalahan-permasalahan realitas yang ada didalam kehidupan, murid-murid lebih dikenalkan pada penghapalan teoritis, bukan diajarkan bagaimana cara mempraktekkan pemecahan suatu problem, kegagalan pendidikan ketika murid-murid hanya dijadikan objek pendidikan yang tidak memiliki daya tawar menawar. Penekanan pada proses menghapal ketimbang melatih berpikir juga membentuk murid-murid lebih pada kesenangan bersikap dogmatis ketimbang kritis, manusia yang terbiasa menghapal adalah manusia mekanis dan itu sesungguhnya menjauhkan manusia pada proses eksistensialisnya, dimana proses penemuan eksistensi lebih mudah pada proses kegelisahan intelektual ketimbang kebekuan intelektual.

Perjelas Paradigma Pendidikan Indonesia untuk membentuk karakter bangsa

Pembaharuan dibidang pendidikan harus segera dilakukan, bila selama ini pendidikan hanya memfokuskan seorang guru sebagai pusat pendidikan (pedagogic) harus diganti dimana peserta didik sebagai pusat pendidikan dan pendidikan persekolahan nasioanal juga harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.

Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo mengatakan dalam lokakarya pendidikan di UPI (19/4/2005), paradigma sumber daya manusia tidak lagi relevan dipergunakan dalam bidang pendidikan. Menu-rutnya, yang sekarang menjadi acuan bagi dunia pendidikan adalah paradigma manusia seutuhnya. Terkait dengan perubahan peserta didik dijadikan sebagai subjek ada perubahan paradigma pendidikan dari pengajaran menjadi pembelajaran sehingga akhirnya output pendidikan akan tercipta ruang krativitas, enterpreunership yang pada akhirnya akan membentuk karakter bangsa yang mandiri. Pun sama yang diucapkan presiden Indonesia Susilo Bambamg Yudoyono bahwa pendidikan harus membentuk karakter bangsa, hal yang sama dan pernah dilakukan oleh Presiden RI Ir. Sukarno adalah pembangunan “character dan nation building”, namun pertanyaan selanjutnya adalah kenapa harus pendidikan? Diakui atau tidak pendidikan merupakan motor penggerak utama dalam perubahan peradaban manusia. Pendidikan merupakan proses berpikir secara sadar dan terencana mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat serta melatih cara-cara berpikir dengan metode yang disepakati dalam ranah ilmiah. Pada hakekatnya pendidikan bukan menciptakan manusia menjadi tahu dan terampil akan tetapi mampu untuk berpikir secara sistematis, bisa memilh mana yang baik dan buruk. Pada dasarnnya menciptakan manusia yang bermoral, secara idealisnya menciptakan manusia baru yang dapat memecahkan permasalahannya dengan berpikir, berbicara dan bertindak.

System pendidikan formal persekolahan juga harus lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Pendidikan harus mempunyai system dua arah yang saling melengkapi. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat dua arah menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan kata lain pendidikan jangan hanya dipandang sebagai dunia tersendiri melainkan bagian dari keseluruhan yang ada di masyarakat, oleh karena itu proses pendidikan harus mempunyai keterakitan dan keseimbangan yang mendasar sebagai satu kesatuan dengan dunia kerja sehingga tercipta “right mens in the right jobs” benar adanya. Memandang pendidikan sebgai satu kesatuan merupakan langkah awal untuk menyelesaikan problematika yang ada di masyarakat.

Reality show merupakan problematika masyarakat, imbas dari globalisasi yang hanya berinterest terhadap perdagangan dan kapitalisme. Mengutip perkataan negarawan afrika selatan Nelson Mandela “ pendidikan merupakan senjata menaklukan dunia” . untuk itu peran masyarakat dan pemerintah sangat menentukan pembentukan karakter bangsa indonesia, apakah pendidikn ini akan dibawa untuk mengikuti arus globalisasi atau menentangnya?

{ 1 komentar... read them below or add one }

Anonim mengatakan...

FORUM KOMUNIKASI LINTAS CABANG PMII SE-JAWA TENGAH
(PMII Cab. Purwokerto, PMII Cab. Cilacap, PMII Cab. Kab. Tegal, PMII Cab. Tegal Kota, PMII Cab. Purbalingga, PMII Cab. kebumen, PMII Cab. Sukoharjo, PMII Cab. Blora dan PMII Cab. Kudus)

Reorganisasi atau konfrensi koordinator Cabang (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) PMII Jawa Tengah yang ke XVII yang berlangsusng pada tanggal 25 Juli – 28 Juli di Pekalongan merupakan salah satu wujud tanggung jawab sosial dalam menciptakan regenerasi kepemimpinan di internal organisasi dan sebagai proses evaluasi yang melibatkan seluruh cabang PMII di Jawa tengah sebanyak 22 cabang.
Evaluasi kinerja organisasi bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap penataan kinerja organisasi selama 2 tahun masa kepengurusan yang dapat dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki kinerja organisasi ke depan. Didalam proses yang berlangsung selama 4 hari, berjalan tidak maksimal yang disebabkan kurang adanya keterbukaan dari peserta sidang dalam mengevaluasi terutama mengkritisi kinerja-kinerja kepengurusan yang secara hukum telah melakukan penyimpanagan terhadap konstitusi AD/ART PMII, dengan kata lain peserta telah dikondisikan. Selain adanya pembohongan publik yang merugikan segenap kader, alumni dan pihak luar. Sehingga ruang dinamika dalam membetuk iklim ilmiah tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi adalah proses tarik ulur kepentingan untuk menghegemoni peserta konfrensi.. Perlu diketahui iklim ilmiah tidak tercipta karena di sebabkan oleh bentuk intervensi dari kelompok luar.
Proses yang seharusnya menekankan prinsip-prinsip demokrasi dan toleransi justru tercoreng oleh perilaku segelintir kelompok yang menginginkan PMII untuk terus berada dalam kontrol kepentingannya, dimana organisasi ini dijadikan alat untuk mewujudkan dan menjalankan tujuan kepentingan tersebut. Sehingga organisasi digunakan sebagai tameng untuk memepertahankan kekuasaan kelas tertentu.
Dalam ruang demokrasi dan toleransi yang semakin meluas di kehidupan masyarakat justru nilai-nilai fundamental tersebut tidak dapat dilaksankan yang disebabkan oleh perilku kelompok kepentingan yang dikomandani oleh aktor yang berinisial AR. Dalam melanggengkan pengaruhnya kelompok tersebut tidak segan-segan melakukannya dengan cara mengintimidasi peserta dan calon kandidat sebelum berangkat ke lokasi tujuan atau dilokasi dan melakukan money politik terhadap peserta. Jika dalam proses dinamika organisasi, ada kelompok dari luar organisasi untuk ikut campur atau melakukan intervensi terhadap kader yang sedang melakukan proses, maka akan berdampak pada tidak terwujudnya kemandirian kader terutama didalam mengambil sikap dan kebijakan. Kader merasa terkooptasi karena tidak ada pilihan lain untuk melakukannya.
Dampak dari proses yang tidak sehat tersebut adalah adanya walk out oleh sebagain peserta sidang. Logika hukum adalah sandaran yang harus ditegakan, jika tidak maka terdapat cacat secara hukum. Jika mengingat konstitusi persidangan bahwa sahnya persidangan harus diikuti minimal 2 /3 dari peserta sidang atau pemilih. Di Jawa Tengah terdapat 22 cabang penuh, yang diikuti tahap pemilihan sebanyak 22 cabang, tetapi pada tahap pengajuan calon peserta yangw walk out sebnayak 8 Cabang, jumlah bilangan 22 dari 2/3-nya adalah 15. Jika peserta sidang yang ikut sebanyak 14 peserta maka secara hukum dan konstitusi tidak sah. Berarti proses yang berlangsung dan produk-produk yang dihasilkan tidak sah dimata hukum. Untuk itu sebagai bentuk empati dan solidaritas dalam penegakan konstitusi persidangan maka kami yang tergabung dalam forum komunikasi lintas Cabang PMII Se-Jawa Tengah menuntut:

1. Menolak hasil persidangan dan produk-produk hukum yang dihasilkan karena tidak memenuhi sahnya persidangan atau pemilihan calon ketua.
2. Menolak adanya praktik money politik terhadap peserta sidang yang dapat memepengaruhi indepensinya pemilih dan integritas PMII Jawa Tengah.
3. Menyesalakan keterlibatan dari pihak luar PMII yang di komandani oleh inisial AR.
4. Tersumbatnya proses kaderisasi kepemimpinan PMII Jawa Tengah.
5. Tercorengya independensi PMII Jawa Tengah dari kelompok kepentingan.

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?