Bencana kembali menggempur alam kesadaran bangsa ini. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan ancaman gelombang laut membuat rakyat kecil kembali merintih dan menangis. Duka kemiskinan yang dialami sehari-hari bertambah berat, karena rumah dan sisa harta terendam banjir yang mengganas di beberapa daerah. Inilah duka yang mengawali perjalanan panjang bangsa ini di tahun 2008. Era baru yang dinantikan sebagai tahun harapan. Di Jawa Tengah, bencana lingkungan membuat rakyat semakin letih. Korban bencana yang mengungsi dan membuat tenda darurat bertambah banyak. Sementara, mendung tebal dan hujan deras justru membuat warga cemas, banjir semakin meluas. Solo, Blora, Kudus, Purwodadi, Semarang, dan beberapa daerah lainnya dilanda bencana. Akibatnya, korban semakin bertambah, jalanan rusak, harta penduduk hanyut dan kerugian lain dalam angka yang relatif besar. Musibah awal tahun ini mengalirkan banjir air mata dan kesedihan warga. Kondisi ini diperparah dengan badai di lautan mengganas, curah hujan tinggi, meluasnya kawasan hutan yang gundul, hingga tanggul sungai jebol akibat derasnya banjir. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jateng, curah hujan diperkirakan mencapai 500 milimeter perbulan. (Kompas/02-01-08). Hal ini menjadi pertanda banjir besar masih menjadi ancaman serius. Apabila tak secepatnya ditangani, korban bencana alam akan semakin menumpuk dan merugikan negeri ini. Selama ini, antisipasi bencana alam sering dikampanyekan. Pemerintah dan LSM lingkungan dengan getol memberi pembinaan kepada warga untuk sadar bencana dan menghargai lingkungan. Akan tetapi, ketika bencana melanda, semuanya terhenyak dan menangis dalam kesedihan. Kerusakan lingkungan negeri ini semakin parah, hutan dibabat tanpa memikirkan dampak negatif yang terjadi. Tindakan pejabat korup menyuburkan tindakan illegal loging yang marak terjadi dewasa ini. Pada titik ini, semua perhatian beralih pada pemerintah. Pemegang otoritas negeri ini dinilai tak peduli pada masa depan bangsa. Pemerintah—dalam analisis Franz Magnis-Suseno (1999)—kurang memiliki etos kerja berlandaskan tanggung jawab dan penghargaan moralitas. Koruptor, mafia peradilan dan pengrusak dibiarkan melenggang bebas. Sementara, rakyat kecil harus menanggung bencana di sekujur hidupnya. Memang, pemerintah tak bisa disalahkan seutuhnya, bukankah rendahnya etos kerja pejabat adalah cermin karut marut moralitas bangsa ini. Karena, pemerintah dipilih dan menjadi wakil dari rakyat. Terlepas dari sistem politik yang menyelimuti kehidupan demokrasi negeri ini. Bangsa ini juga mengidap cara pandang yang keliru dalam memperlakukan alam. Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa alam, dan bebas melakukan eksploitasi. Paradigma negatif ini—dalam bahasa A. Sony Keraf (2002)—berasal dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, alam dan segala isinya sekedar alat pemuasan kepentingan manusia. Inilah yang menyebabkan maraknya eksploitasi lingkungan dewasa ini. Antisipasi Bencana Bangsa ini telah berkali-kali tertimpa bencana, akan tetapi tak mampu memetik pelajaran berharga. Setiap bencana merenggut kebebasan, hanya sisa penyesalan yang ada dalam raut wajah warga. Hikmah bencana tak mampu kita raih, karena kita terlalu sibuk memikirkan bantuan dan proyek kemanusiaan ketika banjir menyeruak, bencana menggugah kesadaran kita. Bangsa ini hanya mampu terperangah, memikirkan hikmah, akan tetapi tak banyak bertindak mencipta inovasi antisipasi bencana. Inilah yang menjadikan "pendidikan sadar bencana" menjadi penting untuk diaktualisasikan. Aplikasi konsep antisipasi bencana dan gerakan penyelamatan lingkungan dalam ranah pendidikan akan lebih mengena ruang kesadaran bangsa. Potret ironis pendidikan negeri ini, menjadikan wajah bangsa semakin suram. Dalam jagad kehidupan negeri ini, pendidikan selalu menjadi elemen yang dipersalahkan. Dunia pendidikan selalu menyisakan drama tragis, tersisih dan alpa dari gelegar penghargaan. Ketika bangsa ini terbenam dalam berbagai lubang krisis, pendidikan selalu dituding sebagai biang keladi. Di saat beberapa daerah di negeri ini dihantam bencana akibat kerusakan lingkungan, dunia pendidikan menjadi kambing hitam, karena tak mengajarkan sikap antisipasi bencana. Pendidikan negeri ini didakwa tak mampu membawa angin perubahan terhadap "nasib" bangsa. Dunia pendidikan menjadi ruang yang selalu terselimuti kabut kegelapan, tak pernah jelas orientasi masa depannya. Master plan yang dirancang untuk menegaskan orientasi, hanya kokoh mengakar di atas kertas. Di ruang nyata, pelaksanaan kerja kreatif reformasi pendidikan hanyalah "pepesan kosong". Pendidikan Sadar BencanaReformasi pendidikan yang disuarakan secara nyaring hanya menjadi lagu sumbang di tengah penderitaan bangsa. Dunia pendidikan negeri ini seakan tertatih menyangga beban berat berupa kompleksitas permasalahan bangsa. Segala problem kemanusiaan negeri ini akan bermuara pada ruang pendidikan. Di negeri ini, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mencerdaskan bangsa, tapi juga diimpikan menjadi ruang teduh bagi keringnya kebahagiaan warga. Maka, ketika elemen pendidikan tak mampu melaksanakan fungsinya secara optimal, bangsa ini seakan tak mampu untuk menahan umpatan dan pernyataan bernada skeptis; dunia pendidikan selalu dipersalahkan. Stagnasi pendidikan yang terjadi di berbagai pihak dibarengi dengan kemiskinan kreatifitas guru dan murid. Potensi ketajaman berfikir bangsa ini dibungkam oleh sistem kekuasaan yang buta dengan kemajuan pemerintahan. Selama orde baru, pembungkaman kreatifitas berupa otoriarianisme penguasa, yang tak pernah "rela" melihat generasi muda berbekal intelektual tinggi muncul membawa spirit perubahan. Di era mutakhir, krisis kreatifitas terjadi karena political will penguasa yang membungkam alur berfikir bangsa. Rakyat negeri ini hanya menjadi penonton yang dipaksa terpukau dengan akrobat politik pemerintah. Penguasa negeri ini hanya disibukkan dengan program pengukuhan partai, politik tebar pesona, safari politik, dan merancang strategi agar bebas dari jeratan hukum. Pada titik inilah, revitalisasi pendidikan sadar bencana menjadi penting dilakukan. Tak hanya dengan membentuk lembaga kajian lingkungan, atau riset tentang bencana. Akan tetapi, pemahaman bencana alam dan kesadaran lingkungan hendaknya ditransformasikan dalam ruang kesadaran anak didik. Bahkan, bila perlu disisipkan dalam kurikulum yang menjadi kiblat pendidikan negeri ini. Hal ini dilakukan, agar kesadaran cinta lingkungan terekam dalam kehidupan bangsa ini. Tentu, kampanye lingkungan dari pemerintah dan LSM tetap berjalan optimal. Gerakan sadar lingkungan harus dilaksanakan secara utuh. Pertama, pemerintah menjadi penggerak utama gerakan cinta lingkungan dan mendukung aplikasi "pendidikan sadar bencana". Pemerintah harus memberi contoh dengan membersihkan pejabat yang terbukti korup dan membela pengrusakan lingkungan. Kedua, elemen pendidikan negeri ini harus kreatif menjawab dinamika zaman dengan mencipta inovasi kreatif. Pendidikan sadar bencana merupakan alternatif untuk menggugah kesadaran bangsa lewat lorong pendidikan. Ketiga, masyakat ambil bagian dalam gerakan penyelamatan lingkungan. Kesadaran warga akan membantu suksesnya pendidikan antisipasi bencana. Komitmen LSM diperlukan untuk mengawal kinerja pemerintah dan mengadvokasi warga. Kinerja kreatif dari berbagai elemen inilah yang diperlukan untuk mengentaskan bangsa ini dari jeratan bencana yang berkepanjangan. *Penulis adalah Analis Problem Lingkungan dan Sosial-Budaya, Aktifis PC PMII Kudus, Wakil Direktur Lembaga Kajian Al-Hikmah Pati. HP. 085229704687. No rek : 9604239-2 BNI 46 Cab. PATI a.n MUNAWIR AZIZ
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?