Nasionalisme dalam Kritik Iklan

Diposting oleh admin on Selasa, 01 Juli 2008

Oleh : Munawir Aziz*
Beberapa waktu yang lalu Irwan Hidayat, bos PT Sidomuncul, perusahaan jamu besar negeri ini mencanangkan langkah positif. Irwan merancang iklan kebudayaan bertajuk "Indonesia : Truly Indonesia", yang mengusung spirit nasionalisme dengan frame positif. Iklan yang dibintangi Butet Kertarejasa dan Agnes Monica ini, awalnya muncul dari keprihatinan Irwan akan khazanah budaya bangsa yang direnggut bangsa lain. Iklan dengan budget hampir Rp. 1 Miliar ini diproduksi oleh tim kreatif Sidomuncul hanya dalam tenggat waktu 4 hari. Dan pada 18/12/07 lalu, iklan ini didiskusikan di Flame CafĂ©, Cipete, Jakarta yang dihadiri oleh pakar budaya, aktifis dan wartawan media massa nasional. Iklan ini lahir dari sikap prihatin akan budaya bangsa ini yang semakin hilang dan diklaim bangsa asing. Pesan yang terkandung dalam iklan ini, berupa kritik dengan nada elegan atas ulah Malaysia yang mendapuk lagu "Rasa Sayange" menjadi hits kampanye "Malaysia : Truly Asia" dan icon priwisata negeri jiran. Iklan Sidomuncul ini menjadi kritik dinamis di tengah unjuk rasa bangsa kepada Malaysia dengan nada radikal dan penuh luapan fanatisme. Sejatinya, iklan ini tak hanya mengkritik negeri Jiran, tetapi juga berusaha memberi kesadaran bangsa ini akan pentingnya menjaga dan memelihara khazanah budaya bangsa yang eksotik serta beragam macamnya. Iklan ini menayangkan beragam kesenian khas tanah air, seperti Tari Pendet Bali, musik Anglung khas Jabar, Reog Ponorogo, batik Jogja dan Pekalongan, tari Holaya dari Kalimantan serta sederet karya budaya bangsa. Iklan ini juga ditutup dengan jamu tradisional, sebagai herbal medicine, khas Indonesia.Mengikis Krisis Identitas Iklan yang digagas PT Sidomuncul ini berusaha menyampaikan pesan penting, tentang spirit mengikis krisis identitas bangsa. Negeri ini harus bangkit menjaga dan mengeksplorasi khazanah budaya, dengan merawat karya kesenian sebaik-baiknya. Hal ini untuk membentengi gelombang krisis identitas bangsa yang akut, akibat hilangnya spirit percaya diri bangsa. Dalam jagad kehidupan, negeri ini semakin terbenam dalam krisis harga diri, Indonesia tak lagi menjadi panutan negara lain. Ketika dahulu Malaysia berani mengimpor guru Indonesia untuk mendidik generasi muda, sekarang negeri jiran hanya mau menerima kiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang dipaksa sebagai buruh yang tak kuasa menerima ancaman tuannya. Kriris harga diri semakin memuncak, seiring dengan lenyapnya budaya bangsa ini karena diklaim sebagai milik negara jiran. Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, menggenapi rentetan krisis diplomasi bangsa ini dengan Malaysia serta negara lain. Beberapa bulan yang lalu, wasit Donald Luther Kolopita juga mendapat getahnya. Ketua Dewan Karateka ini dihajar oleh empat polisi Malaysia. Reaksi bermunculan, beragam LSM, organ olahraga, ormas, dan tokoh masyarakat mengecam keras ulah polisi Malaysia. Seruan "Ganyang Malaysia" menjadi letupan emosi warga, dan akhirnya Malaysia meminta maaf kepada pemerintah, walaupun masih menyisakan rasa geram. Dalam lanskap politik global, bangsa ini semakin terhimpit oleh agenda bangsa lain yang menghendaki eksploitasi kekayaan alam. Negeri ini semakin terbenam dalam ekspansi dan teror ekonomi negara asing. Di tengah isu perbaikan ekonomi, datang berbagai pemimpin bangsa yang menunjukkan wajah teduh, sebagai mitra kerja dalam investasi bidang ekonomi dan industri. Beberapa pemimpin negara lain singgah dengan muka bersahabat, tetapi menyimpan "agenda tersembuyi" yang berorientasi jangka panjang. Negara asing berlomba menjadi partner dan investor yang menggarap proyek nuklir. Luka pedih yang telah dipahat bangsa lain di hati negeri ini hendaknya menjadi pengingat sejarah, betapa kekayaan alam negeri ini hanya dikuras dan dipompa melalui selang bisnis ke negara asing. Menjadi Bangsa Linglung Di lingkup ASEAN, negeri ini tak lagi bernyali. Indonesia seakan kehabisan energi ketika mengejar pesatnya pertumbuhan tekhnologi Jepang, kemajuan ekonomi di Tiongkok, perkembangan India, dan kemajuan militer Korea. Negeri ini hanya menempati gerbong akhir lokomotif perubahan dunia. Master plan pembangunan yang telah ditetapkan, dibongkar oleh penguasa baru karena tak sejalan dengan kepentingan politik. Keadilan hanya memihak konglomerat, pengusaha, pejabat dan golongan lain yang memiliki atribut elit, akan tetapi rakyat kecil yang kelaparan akan dihajar habis-habisan apabila ketahuan melakukan kesalahan kecil.Krisis yang terjadi seperti ini, akan menjadikan bangsa ini kehilangan karakter dan orientasi masa depan. Warga negeri ini mudah tersulut emosi. Dalam analisa Sindhunata (2000: 181), bangsa ini menjadi "bangsa linglung", yang kehilangan orientasi penyelesaian problem utama bangsa; kemelut ekonomi. Oleh rakyat biasa, kemelut ekonomi dialami secara kongkret sebagai makin beratnya beban hidup dan makin mahalnya kebutuhan hidup harian. Seharusnya pemerintah menangani masalah pokok ini. Akan tetapi sungguh ironis, yang terjadi kita semakin tenggelam dalam pertengkaran politik dan masalah pokok semakin kabur. Esensi Kesatuan Nasional Kebijakan pemerintah tak lagi mencerminkan pemihakan pada rakyat kecil. Politik hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan pejabat dan mengamankan kekayaan pengusaha. Silang sengkarut dan keriuhan politik membawa dampak buruk bagi masyarakat bawah. Rakyat kecil hanya menjadi korban dari kesewenangan penguasa. Akibatnya, rasa kesatuan warga menjadi goyah, simbol yang mengikat persaudaraan terhempas oleh gelombang kepentingan kelompok elit. Hal inilah yang ditentang oleh Jaqques Benigne Bossuet (1627 – 1704), rohaniawan yang menjadi guru bagi putra mahkota Prancis. Bossuet mengimpikan kesatuan kokoh yang menjadi penopang berdirinya kedaulatan negara. Spirit kesatuan yang telah dibangun selama puluhan tahun dan menjadi latar kemerdekaan negeri ini hendaknya dipertahankan dalam kondisi apapun. Nilai kesatuan bangsa harus dilindungi dari gempuran kekuatan politik yang membajak demokrasi, mengatasnamakan kebijakan politik untuk kepentingan pribadi. Keadilan dan penegakan hukum dapat menjadi penopang kokohnya persatuan bangsa. Bangsa ini harus segera keluar dari krisis identitas yang merenggut jati diri bangsa. Kekayaan budaya bangsa yang melimpah harus dijaga dan dilestarikan. Tentu harus dibarengi dengan iklim politik positif, spirit law enforcement, dan political will pemerintah. Pejabat, pengusaha, politisi dan warga negeri ini harus memiliki komitmen utuh untuk menjaga khazanah budaya bangsa. Inilah yang menjadi social capital bangsa ini dapat bebas dari jeratan krisis identitas dan krisis lain yang membawa bencana. Iklan "Indonesia : Truly Indonesia", menjadi tonggak bangsa ini untuk menyampaikan kritik kepada bangsa lain dengan bingkai positif.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?