oleh Sulatri*
Tentu kita masih ingat peristiwa beberapa waktu lalu ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiri suatu ceremonial di Maluku disuguhi tarian Cakalele yang ternyata disusupi pengarakan bendera RMS (Republik Maluku Selatan). Hal itu jelas-jelas membawa kegemparan pada saat itu dimana seorang presiden diberi sambutan dengan simbul RMS yang ingin menunjukkan eksistensinya meskipun sudah berdiri Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Demikian juga dengan adanya penurunan bendera merah putih di Nagroe Aceh Darussalam. Tentu hal tersebut merupakan suatu penghinaan terhadap negara. Belum kegiatan lainnya yang juga mengisyaratkan separatisme di negeri ini.
Satu hal yang menjadi keheranan kita kenapa NKRI yang sudah memperingati hari lahirnya yang ke-62 yang selama ini dinilai tenang-tenang saja masih sering menemui kejadian seperti itu, apalagi kalau bukan gejala separatisme. Meskipun itu baru sebatas dalam bentuk sajian budaya yang beruntung segera diketahui namun hal itu juga tidak bisa dianggap remeh. Kegiatan-kegiatan serupa bisa saja berkembang menjadi kegiatan separatisme yang tentu akibatnya bisa membahayakan berdirinya NKRI ini jika tidak segera ditanggulangi dari awal.
Memang jika kita mau menengok sejarah gejolak separatisme di Indonesia bukan hal yang baru lagi. Sejak di proklamasikan NKRI sudah menemui berbagai permasalahan serupa. Bahkan kalau dahulu para pendahulu kita terpaksa harus angkat senjata meski dengan sesama bangsa sendiri. Sejak tahun 1950-an misalnya disana banyak para pejuang kita sudah berjuang mati-matian untuk mempertahankan negeri ini dengan memikul senjata menghadapi gejolak perpecahan diberbagai daerah. Belum menghadapi serangan-serangan dari pihak asing yang tidak menginginkan NKRI ini berdiri.
Tentunya situasi saat itu sangat genting sekali, Negara yang baru saja menyatakan merdeka harus siap menghadapi berbagai tantangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan juga memakmurkan rakyatnya. Menjaga keamanan negeri saja sudah menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran bukan hanya dari kalangan militer saja. Tapi juga masyarakat sipil yang sebelumnya tidak tahu menahu dunia peperangan diajak bersama-sama memanggul senjata menghadapi para musuh NKRI.
Meski bangsa Indonesia pada 17 Agustus 2007 lalu sudah memperingati kemerdekaan yang ke-62 tahun namun kondisi bangsa ini juga masih cukup memprihatinkan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa di Negara kita masih banyak ketimpangan yang masih mengiringi pembangunan yang senantiasa didengung-dengungkan. Kemiskinan masih merajalela, penduduk masih kesusahan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Pengangguran disana-sini, belum masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang pada akhir orde baru banyak disorot justru di era reformasi ini kasusnya semakin melangit. Kalau dahulu musuh itu bisa diidentikan dengan lawan yang harus dihadapi dengan senjata maka untuk saat ini justru lawan yang ada itu sudah sangat komplek. Permasalahan yang ada tidak bisa hanya diselesaikan dengan angkat senjata tapi juga menuntut kepiwaian bangsa kita semuanya untuk bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Berbagai macam persoalan yang muncul itu bukan hanya semata-mata karena bangsa Indonesia itu orangnya susah diajak maju bersama. Akan tetapi kita juga tidak bisa melupakan bahwa negara yang memiliki ciri geografi, demografi dan sosiobudaya, sosiopolitik seperti NKRI ini mempunyai potensi pengeroposan integrasi nasionalnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Suara Merdeka, (21/7/07). Banyak Negara yang memiliki ciri seperti Indonesia juga mengalami permasalahan yang sama seperti Cekoslawakia menjadi Republik Ceko dan Sovakia, Ethiopia merupakan pemisahan dari Eritrea dan sebagainya.
Negara-negara tersebut juga sering mendapatkan berbagai macam hambatan untuk tetap mempertahankan Negara nasionalnya. Banyak daerah-daerah yang menganggab wilayahnya tidak diperhatikan justru lebih suka bekerjasama dengan pihak asing untuk memerdekakan wilayahnya sebagai Negara yang merdeka terpisah dari Negara nasionalnya meskipun bisa jadi negara tersebut akhirnya juga tidak dikenal dunia. Kerja sama tersebut pada awalnya hanya sebagai bentuk kebebasan dari pemerintah pusat untuk memberi kebebasan pada wilayahnya untuk lebih memajukan daerahnya. Akan tetapi pada akhirnya daerah yang diberi kepercayaan untuk memajukan wilayahnya justru malah melawan pemerintah pusat yang tentunya ini membuat permasalahan sendiri bagi Negara tersebut.
Tentunya kondisi seperti itu juga harus diperhatikan oleh bangsa ini. Apalagi dengan adanya otonomi daerah yang tercantum dalam PP No 32 tahun 2004 yang diharapkan bisa mampu meningkatkan kemajuan daerah sesuai dengan kelebihan dan ciri khas daerahnya jangan sampai justru menjadi alat suatu daerah untuk memisahkan diri dari NKRI. Dilihat dari geografinya saja misalnya, Indonesia itu mempunyai banyak pulau yang tentu juga satu dengan yang lainnya berbeda-beda dalam perkembangan dan budayanya.
Jika satu pulau hanya cenderung akan menonjolkan berbagai ciri kas dari daerahnya sendiri dan sudah tidak peduli lagi dengan berbagai peraturan yang ada di pemerintah pusat maka bisa saja separatisme itu akan berkembang subur di Indonesia. Dalam temuan United Nation Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR), lembaga dibawah naungan United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan angka kematian akibat konflik sosial di Indonesia tahun 1990-2003 mencapai 10.758 jiwa. Sementara insiden yang terjadi akibat kekerasan kolektif sebanyak 3.608 kasus, Suara Pembaruan (9/7/07). Ini merupakan hal yang patut kita cermati dan perlu kita tanggulangi.
Perubahan Sosial Budaya
Kita tidak menampik bahwa saat ini memang dimana-mana sedang terjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah baik terhadap eksekutif maupun legislatif. Berbagai permasalahan yang ada dimasyarakat ketika diajukan ke pemerintah tidak segera dituntaskan akan tetapi justru hanya diiyakan begitu saja tanpa ada solusi yang jelas. Akibatnya masyarakatpun enggan untuk mempercayakan suatu penyelesaian masalah terhadap pemerintah. Apalagi dengan perubahan sosial budaya yang terjadi saat ini begitu cepat. Berbagai macam alat teknologi yang muncul semakin mempermudah pola komunikasi antar individu bukan hanya satu negara tapi juga dengan bangsa asing. Berbagai informasi yang ada baik dalam negeri maupun di manca negara segera mudah diakses oleh bangsa ini. Tentunya masyarakatpun juga bisa membandingkan bahkan ikut meniru berbagai budaya asing yang kadang juga berpengaruh negatif bagi kelangsungan berdirinya NKRI.
Kita tidak bisa menghalangi berbagai pengaruh dari perubahan sosial budaya yang ada di masyarakat. Perubahan sosial budaya sudah merupakah hal yang lumrah terjadi dalam suatu masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari definisi perubahan sosial budaya sendiri yang merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat yang selalu dan selalu ada. Hal ini tidak lepas dari sifat dasar manusia yang ingin selalu mengadakan perubahan. Bahkan Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia merupakan penyebab perubahan. Disana ada tiga faktor yang mempengaruhi perubahan sosial. Pertama, tekanan kerja dalam masyarakat. Karena adanya berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonominya maka secara sengaja maupun tidak sengaja akhirnya masyarakatpun berupaya mempertahankan hidupnya agar hidupnya tetap bisa eksis bersama keluarganya. Mau tak mau perubahan sosialpun terjadi disini.
Kedua, keefektifan komunikasi. Saat ini yang namanya hand phone (HP) dengan berbagai kecanggihan teknologinya sudah menjadi barang yang umum dipakai oleh para penduduk Indonesia. Barang yang semula dianggab elit kini sudah menjadi barang kebutuhan hampir setiap penduduk dewasa di Indonesia baik yang tinggal didaerah perkotaan maupun pedesaan. Demikian juga pesawat TV bahkan sarana untuk mengkases internet seperti laptop dan komputer juga sudah merambah kedaerah pinggiran. Masyarakatpun semakin dipermudah untuk melakukan komunikasi yang efektif dengan siapa saja yang diinginkan melalui berbagai alat yang ada. Dengan demikian tidak terasa orangpun tidak merasakan bahwa sebenarnya dirinya sudah bisa dipengaruhi melalui berbagai alat teknologi tersebut yang akhirnya bisa membentuk pribadi yang berbeda dengan yang ada sebelumnya bahkan masyarakat disekitarnya yang itu bisa saja bersifat negatif. Itu baru personal individu, yang ditakutkan jika itu sampai berpengaruh negatif bagi kelompok yang juga bisa mengorganisir masyarakat lainnya menjadi kelompok separatisme di Indonesia.
Ketiga, perubahan lingkungan alam, kondisi lingkungan alam yang terus berubah mau tak mau juga ikut mempengaruhi budaya dari masayarakat setempat. Misalnya suatu daerah urban yang kemudian penduduknya semakin ramai, berbagai macam fasilitas cukup tersedia maka mau tak mau masyarakatpun sedikit demi sedikit akan berubah mengikuti budaya yang ada disekitarnya. Masyarakat kitapun sering kurang waspada terhadap berbagai perubahan sosial budaya yang ternyata itu cenderung menjadi gerakan separatisme.
Motivasi Separatisme
Gerakan separatis tidak begitu saja muncul dari masyarakat bawah begitu saja dengan sendirinya. Berbagai gerakan separatis juga tidak lepas dari orang intelektual dibelakangnya. Hal ini tentunya bahayanya justru akan lebih besar. Kita bisa melihat bagaimana acara kunjungan presiden yang agendanya cukup tertata rapi bisa dimasuki pengibaran bendera RMS begitu saja dari orang yang katakanlah hanya orang biasa. Tentu ada aktor dibelakangnya, entah itu murni dari bangsa Indonesia sendiri maupun kekuatan asing yang didanai dari luar negeri yang menginginkan perpecahan di negeri ini.
Ada beberapa hal yang memotivasi gerakan separatisme. Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius. Disamping itu separatisme juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok. Maka tidak heran jika di Indonesia yang merupakan negara kepulauan daerah yang wilayahnya jauh dari Ibu Kota Negara sering mengalami ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat kemudian menggalang penduduknya untuk lebih memilih merdeka.
Penanganan Separatisme
Ada dua langkah penanganan separatisme yang bisa dilakukan di Indonesia. Pertama adalah pendekatan persuasi, salah satu hal yang dilakukan dalam pendekatan persuasi adalah melakukan berbagai pembangunan sesuai dengan kapasitas lokal selama tidak mengganggu eksistensinya NKRI. Misalnya saja dengan dikeluarkannya UU No 32 tentang otonomi daerah untuk bisa mewadahi aspirasi lokal sesuai dengan daerahnya. Disana dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemajuan daerah misalnya saja dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Disamping itu juga melakukan pengembangan budaya lokal selama tidak mengarah ke hal separatisme. Adanya berbagai perkembangan budaya yang ada hendaknya tetap dimonitoring sehingga nantinya tetap terpantau perkembangannya sehingga tidak akan menyulitkan esistensi NKRI di kemudian hari. Pemantauan ini bukan berarti ingin membatas kreatifitas masyarakat akan tetapi hendaknya berbagai budaya yang ada Indonesia itu walaupun berbeda-beda tetap satu dalam wadah NKRI. Atau dalam istilah yang lebih familiernya adalah Bhineka Tunggal Ika.
Kedua adalah pendekatan agresif, pendekatan ini dilakukan jika pendekatan persuasi tidak bisa maka para aparat penegak hukum dalam hal ini militer harus tegas menindak terhadap siapa saja yang ingin menganggu eksistensinya NKRI. Disini pihak penegak hukum harus pandai-pandai untuk melihat dan mewaspadai separatisme yang memang sudah tidak bisa ditolerir maka harus ditindak tegas.
*Sulatri
Biro Pers & Informasi PMII PKC Jawa Tengah
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?