MUSWIL & Gerakan Anak Muda NU

Diposting oleh admin on Senin, 14 Juli 2008


Oleh : Zayinul Fata *
Dalam usianya ke-82 tahun, NU masih di persimpangan jalan. Komitmen Khitah 1926 masih belum menjadi tindakan dan sikap organisasi. Karena selama ini produk NU hanya berkutat pada ruang-ruang politik, sosial dan agama, namun ruang ekonomi yang sejatinya menjadi tumpuan kehidupan warga NU nyaris sama sekali tidak tersentuh baik dalam forum muswil maupun muktamar NU. Padahal proses lahirnya NU salah satunya dimulai dengan munculnya gerakan kebangkitan kaum pedagang (Nahdlatut Tujjar) pada tahun 1918 selain juga kebangkitan politik (Nahdlatul Wathon) 1924, serta Kebangkitan para kaum intellektual (Tashwirul Afkar) 1922.
Untuk itu, Muswil NU Jawa Tengah, yang akan dilaksanakan 13 Juli 2008 di Brebes nanti, selain harus melahirkan pemimpin yang bisa membawa jam’iyyah NU keluar dari kemelut dan problem ke ummatan seperti kemiskinan dan pengangguran, juga harus melahirkan produk aturan dan pemikiran cemerlang yang tidak hanya mengkaji dan merumuskan problem-problem sosial keagamaan, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana warga NU selaku warga mayoritas bangsa Indonesia terlepas dari penyakit kemiskinan dan kebodohan, menyemangati khitah NU adalah menyelamatkan NU dari problem kemiskinan, khususnya warga NU yang hidup diwilayah pedesaan. Oleh karena itu , revitalisasi gerakan ekonomi ummat NU harus menjadi perhatian khusus dalam forum muswil tersebut dan menjadi momentum bagi NU untuk kembali mencetak kader-kader muda nya yang senantiasa peduli dan komitmen terhadap pembangnunan ekonomi ke-ummatan. Selain itu, refleksi kritis dan nalar rekonstruktif harus menjadi cara pandang anak muda NU untuk menata kembali visi dan misi NU yang lebih strategis, produktif, dan populis. Sehingga dengan demikian, di pundak anak muda lah, masa depan NU dipertaruhkan. Akankah muswil ini mampu menghadirkan produk bagi kebangkitan dan kemajuan warga NU.
NU dan Kebangkitan Kaum Pedagang
Bahwa tujuan Nahdlatut Tujjar, salah satu embrio Nahdlatul Ulama adalah untuk mengangkat perekonomian kaum Muslimin. Lemahnya kemampuan ekonomi ulama kurang mendukung suksesnya dakwah yang dijalankan, sehingga mau tidak mau harus dibentuk sebuah lembaga ekonomi yang mendukungnya. Alasan lain pendirian adalah pendidikan yang didominasi sekolah Belanda yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak memberi nilai apa-apa bagi ibadah syariah sehingga perlu dibentuk lembaga pendidikan Islam yang mampu dibiayai sendiri oleh kalangan pribumi.
Setelah berdirinya NU, pada tahun 1937 muncullah koperasi Syirkah Muawanah. Namun demikian dalam perkembangan berikutnya usaha ini terbengkalai. Mungkin hal ini disebabkan konsentrasi NU yang sangat dalam terhadap politik praktis. Dalam periode selanjutnya kegiatan ekonomi warga NU dibangkitkan kembali melalui pembentukan LPNU pada tahun 1992.
Sebagai organisasi ekonomi NU, Nahdlatut Tujjar sesungguhnya kurang begitu dikenal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Nahdlatut Tujjar jarang sekali termaktub dalam catatan sejarah resmi. Ini terjadi karena tiga sebab. Pertama, sejarah Nahdlatut Tujjar tidak pernah terdokumentasikan secara rapi, baik oleh para pendiri ataupun penerusnya. Kedua, ketidaktahuan kalangan peneliti mengenai keberadaan Nahdlatut Tujjar dan pengaruhnya terhadap perekonomian nasional saat itu. Ketiga, kemungkinan adanya distorsi penulisan sejarah.
Membaca Konteks Nahdlatut Tujjar lahir sebagai ekspresi para ulama di tiga jalur strategis Jawa Timur, yaitu Surabaya, Kediri, dan Jombang, yang didorong oleh dua hal penting. Pertama, para ulama kebanyakan belum banyak berbuat dalam upaya pemberdayaan rakyat. Padahal, kemiskinan dan kemaksiatan sudah sampai pada tahap yang sangat memprihatinkan kala itu. Kedua, kolonialisme Belanda sudah merontokkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk tradisi perdagangan. Proses lahirnya Nahdlatut Tujjar diprakarsai oleh 45 saudagar santri yang berada di tiga jalur strategis di Jawa Timur. Di antara 45 orang pendirinya, hanya ada dua tokoh ulama yang sangat disegani, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, sementara yang lainnya adalah para saudagar santri biasa yang memiliki kesamaan visi dan misi untuk mengangkat kualitas kehidupan masyarakat di satu sisi, dan memerangi kolonialisme yang telah melahirkan aneka bentuk eksploitasi dan penindasan di sisi lainnya.
Berkaitan dengan pendirian Nahdlatut Tujjar ini, KH. Hasyim Asy’ari menguraikan tentang problem-problem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH. Hasyim Asy’ari kemudian memelopori dan menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basis-basis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh negara.
Problem lainnya adalah pengaruh penyebaran Islam sufistik yang telah meracuni pola pikir masyarakat Islam Indonesia. Kedatangan kelompok-kelompok sufi ke tanah air jelas menggoyahkan konstruksi Islam yang telah dibangun oleh para penyebar Islam sebelumnya. Dampak yang paling nyata adalah pergeseran orientasi dari fiddunya hasanah (harapan akan kebaikan dunia) ke fil akhiroti hasanah (harapan akan kebaikan akhirat). Dengan pergeseran semacam itu, banyak saudagar muslim yang tidak lagi memiliki etos kerja dan kepedulian terhadap bidang ekonomi.
Sejak awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan manajemen organisasi modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing, dan pengawas keliling sudah dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan Syafi’I sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan.
Selain itu, konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana, yang di era sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial, lebih dari itu, Nahdlatut Tujjar juga memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan.
Peranserta Anak Muda NU
Potensi ekonomi yang dimiliki warga Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya sangat besar, tetapi sampai saat ini potensi itu belum dikelola secara baik. Padahal jika potensi itu dikapitalisasi, maka NU akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Sehingga yang harus segera dilakukan adalah penguatan jam’iyyah dan jama’ah-nya. NU harus menggiatkan dan mendesain kembali ruh Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar serta pemberdayaan generasi muda dalam menghadapi kekuatan jaringan keduanya. Nahdlatut Tujjar merupakan ide awal berdirinya NU, saat ini kurang mendapatkan perhatian sehingga wagra Nahdliyyin tertinggal dari segi ekonomi. Karena itu perekonomian saatnya menjadi program prioritas.
Dalam konteks Tashwirul Afkar sebagai gerakan garis tengah perlu melakukan desain ulang untuk menemukan kembali pemikiran-pemikiran progresif Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah yang tidak hanya sebagai metode penetapan hukum (manhaj al-fiqh) tetapi juga metode berpikir (manhaj al-fikr) untuk mengimbangi pemikiran-pemikiran radikal terutama dengan konsep formalisasi syari’at dan konsep khilafah.
Dengan demikian, NU harus menyadari penggiatan kembali Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar memerlukan SDM yang memiliki personality kuat dan kredibel, khususnya dari generasi muda. Mereka merupakan lapisan baru gerakan yang dinamis dan progresif dari NU. Mereka perlu diberi kesadaran pentingnya membuat sinergi kekuatan intelektual dan perekonomian umat. Namun, gerakan generasi muda ini harus selalu dibimbing dan diarahkan nilai-nilai NU agar tetap terkoordinasi secara sinergis dengan kepentingan NU kedepan. Saatnya sekarang ini kaum Nahdliyyin baik yang ada dalam struktur maupun kultur melangkah bersama membangun jam’iyyah dan jama’ah NU dalam langkah dan setrategis yang sinergis, terpadu dan terarah untuk mencapai tujuan NU, yaitu izzu al-Islam wa al-muslimin dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan realitas di atas, Khittah NU tidak seharusnya dipahami secara sempit, yaitu sekedar melepaskan diri dari semua kekuatan politik, tetapi yang paling hakiki adalah membangkitkan ummat (Nahdlatu al-Ummah) dalam konteks rahmatan lil’alamin. Walhasil NU (Nahdlatul Ulama) berjuang mewujudkan NU (Nahdlatul Ummah).
* Penulis adalah Staf Ahli Pengurus Pusat Lembaga perekonomian Nahdlatul Ulama (PP-LPNU).

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?